Penulis
Kudapan Ini Bernama 'Bajingan', Siapa Sangka Merupakan Salah Satu Kudapan Merakyat nan Mantap di Pelosok Borobudur
Intisari-online.com -"Bajingan" biasanya digunakan sebagai kata umpatan bermakna kasar di Indonesia.
Namun, di sebuah dusun tidak jauh dari Candi Borobudur, tepatnya di Sendaren, Desa Karangrejo, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, bajingan adalah kudapan terbuat dari singkong yang dimasak menggunakan air nira kelapa.
Sebetulnya makanan bajingan sudah tidak asing bagi masyarakat di wilayah Kabupaten Magelang, Temanggung, dan sekitarnya.
Bahan dasar yang digunakan sama, yaitu singkong, tetapi ada beberapa modifikasi di setiap daerah.
Di Temanggung, misalnya, bajingan terbuat dari singkong yang direbus dengan air gula jawa, daun pandan, dan sedikit garam.
Seorang warga asal Sendaren, Sugiyo (67), menceritakan, konon nama "bajingan" berasal dari kata bajing atau hewan tupai yang sering mencuri air nira kelapa (badeg) saat masih di pohonnya.
Bajing memang menjadi musuh penderes nira kelapa kala itu ketika sebagian besar warga masih bertumpu kehidupan menjadi pembuat gula jawa.
Termasuk Sugiyo yang sampai saat ini masih bekerja menderes nira.
Baca Juga: Tidur di Luar Rumah Karena Kipas Angin Mati, Secara Mengerikan 1 Keluarga Tewas 'Dibunuh' Monyet
Akibat ulah bajing, pendapatan mereka berkurang.
Air nira yang sedikit otomatis memengaruhi jumlah gula yang diproduksi warga.
Jika air nira banyak, mereka bisa menghasilkan rata-rata 5 kilogram gula jawa sekali masak. Namun, karena sedikit, petani hanya menghasilkan 2 kilogram.
"Badeg-nya sedikit karena dicuri bajing, jadi kami hanya dapat sisanya saja, kami sebut dengan bajingan.
Singkongnya yang dimasak pakai air nira sisa bajing itu juga dibilang bajingan," ungkap Sugiyo menggunakan bahasa Jawa kepada Kompas.com, Minggu (19/7/2020).
Seorang warga lainnya, Agus Prayitno (35), memaparkan bahwa pembuatan bajingan sangat mudah.
Air nira direbus sebelum kemudian jadi gula jawa.
Saat nira mulai mendidih, singkong dimasukkan beberapa saat sampai air nira meresap.
Setelah itu baru diangkat dan disantap sebagai sarapan.
"Itu saja, tanpa ada tambahan apa pun karena kalau ditambah bahan lain akan memengaruhi rasa gula.
"Nah, saat itu spontan para petani itu menyebutkan kalau mereka makan makanan sisa dari si bajing atau bajingan," ungkap Agus.
Bajingan memang bukan makanan mewah.
Makanan ini justru identik dengan makanan rakyat jelata, khususnya pada petani atau penderes di kaki Pegunungan Menoreh itu.
Sekarang, bajingan tentu saja kalah dari makanan lain yang lebih kekinian.
Hal itu seiring dengan semakin langkanya profesi penderes nira kelapa dan populasi pohon kelapa itu sendiri.
Pohon kelapa semakin jarang karena tidak ada regenerasi setelah banyak ditebang untuk bahan bangunan.
Selain itu, bencana erupsi Merapi beberapa tahun lalu juga menyebabkan pohon kelapa rusak dan mati.
"Begitu juga dengan penderes nira yang sudah jarang, hanya ada sekitar 12 orang.
"Generasi sekarang tidak ada yang mau manjat pohon kelapa.
"Selain sulit, butuh keahlian tersendiri, juga gengsi lebih memilih pekerjaan lain," kata dia.
Agus kemudian mencoba membangkitkan kembali bajingan di tengah gempuran kudapan kekinian.
Dia menghadirkan kembali bajingan yang dikemas dalam satu paket wisata edukasi. Bajingan menjadi salah satu daya tarik dan sajian khas di sela-sela edukasi pembuatan gula jawa.
Tak hanya bajingan, dalam paket @gubugkopiborobudur milik Agus, juga ada berbagai kudapan variasi gula jawa, antara lain kluwo, kolak, ndolo, lemet dan sebagainya.
Sajian andalannya adalah kopi dan teh gula jawa klethus (kunyah).
(Ika Fitriana)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Mengulik Cerita Bajingan, Kudapan Merakyat di Pelosok Borobudur"
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini