Penulis
Intisari-online.com -Industri kelapa sawit Indonesia sedang mengalami kesurutan yang cukup signifikan.
Mengutip Kompas.com, mulai akhir tahun 2019 lalu produk perkebunan kelapa sawit Indonesia telah ditolak oleh Eropa.
Hal tersebut membuat guncangan besar dalam industri kelapa sawit yang sedang tumbuh di Indonesia.
Baru-baru ini, beredar kabar jika penolakan kelapa sawit Indonesia mencapai tahap referendum.
Referendum tersebut sampai masuk ke Mahkamah Konstitusi (MK) Swiss.
Halaman depan dihiasi air mancur. Sejuk muncratan airnya, mengundang warga untuk mendekat.
Halaman belakang ada jalan paving stone. Auto frei, bebas kendaraan bermotor.
Tak ada polisi. Tanpa pagar kawat verduri.
Aman, damai, dan teratur.
Begitulah suasana sehari sehari Bundeshaus, Gedung Parlemen Swiss.
Kedamaian itu terusik dengan datangnya mobil Peugeot kombi berplat nomor Jenewa.
Kendaraan berwarna metalik silver itu berhenti di samping gedung Bundeshaus.
Menurunkan beberapa kotak kardus, sekaligus meletakkan di depan pintu masuk Bundeskanzlei, Mahkamah Konstitusi Swiss.
Kotak tersebut berjumlah 26 buah, sesuai dengan jumlah kanton (provinsi) di Swiss.
Isinya, 59.200 tanda tangan.
"Jika disetujui, setelah diteliti keabsahannya, tentunya, referendum penolakan produk kelapa sawit Indonesia, hanya soal waktu,“ tutur Mathias Stalder, sekretaris Uniterre, kepada Kompas.com.
Mathias yakin, referendum, penentuan nasib pemasaran produk kelapa sawit, akan disetujui Makahmah Konstitusi Swiss.
Seperti biasa, ritual penyerahan kotak berisi tanda tangan untuk meminta referendum, diisi orasi dari Uniterre.
Isinya, bagaimana industri kelapa sawit menghancurkan lingkungan hidup.
Sekaligus tentang keberuntungan yang diperoleh perusahaan besar.
Ada puluhan wartawan, tidak terkecuali televisi Swiss dan kantor berita media arus utama.
Ronja Jansen, Presiden Juso (Jung Sozialdemokratische Partei Schweiz), berharap referendum ini akan menjadi kenyataan.
"Apa yang diakibatkan oleh Industri Kelapa Sawit sangat fatal.
"Lingkungan hidup di Indonesia rusak, dan juga pada akhirnya berpengaruh ke pemanasan global,“ katanya kepada Kompas.com.
Ronja sendiri berada dalam dilema, karena induk partai politiknya, Sozialdemokratische Partei Schweiz (SP), ikut meneken kontrak persetujuan perdangan dengan Indonesia.
"Tapi saya disini tidak mewakili SP,“ katanya.
Meski dalam perjanjian kerja sama itu ditekankan tidak ada lagi perusakan lingkungan, Ronja ragu pemerintah Indonesia bisa bersikap tegas.
"Bagaimana pengaturannya nanti.
"Dan bagaimana sanksinya kalau tidak ditepati perjanjiannya.
"Ini juga harus dipikirkan,“ imbuhnya.
Perjanjian kerjasama antara Indonesia dan Swiss, imbuh Ronja, hanya menguntungkan industri besar.
"Lebih banyak mudharatnya ketimbang keuntungannya.
"Saya berharap, referendum akan disetujui dan rakyat Swiss yang akan menentukan,“ katanya.
Masyarakat Swiss saat ini menggunakan minyak goreng dari perasan biji canola, yang sebagian besar diproduksi petani Swiss.
Lalu bunga matahari, kacang tanah dan buah zaitun.
Minyak canola saat ini dikampanyekan sebagai minyak paling sehat, bersama dengan minyak zaitun.
Baca Juga: Gawat Nih, Beredar Rumor Gojek Akan PHK Karyawan, Benarkah Begitu?
Sementara mentega yang ada di Swiss sebagian besar diproduksi dari susu sapi petani lokal.
Dalam kerja sama Swiss dan Indonesia, Swiss mendapatkan potongan harga 40 persen produk minyak sawit.
Duta Besar Indonesia untuk Swiss, Muliaman Hadad mengatakan, bahwa kerja sama antara Swiss dan Indonesia, akan menguntungkan kedua belah pihak.
"Ada 280 juta jiwa di Indonesia yang akan menjadi pangsa pasar Swiss,“ kata Muliaman Hadad seperti dikutip Swissinfo.
"Jika kita bicara Asia Tenggara, akan ada lagi 700 juta jiwa sebagai pangsa pasar lainnya,“ imbuhnya.
Dalam perjanjian kerjasama dagang tersebut, produk kelapa sawit yang akan masuk Heidiland dibatasi hanya 10 ribu ton.
Jumlah yang sebenarnya tidak banyak untuk keseluruhan ekspor produk kelapa sawit Indonesia yang mencapai 35 juta ton per tahunnya.
Menurut Nur Hasanah , Doktor lulusan ETH Zurich yang meneliti kelapa sawit, jumlah 16 juta hektar perkebungan kelapa sawit yang ada di Indonesia, tidak semua merupakan perambahan hutan.
Baca Juga: Rumor itu Nyata, Gojek PHK 430 Karyawan Dengan Pesangon Berikut Ini
"Hanya empat juta hektar hasil deforestasi. Sisanya, 12 juta hektar free deforestrasi,“ katanya kepada Kompas.com.
Saat ini, imbuh Nur Hasanah, pemerintah, lembaga swadaya masyarakat dan industri kelapa sawit sudah melakukan revisi dan terus berupaya dalam pencapaian industri kelapa sawit berkelanjutan.
"Ada penekanan transparansi di semua bidang, termasuk tanggung jawab ke pekerja dan lingkungan sosial.
"Tentu saja juga peningkatan pengelolaan biodiversitas dan sumber daya alam,“ tegas Nur Hasanah.
Baca Juga: Bagian Tergeli Wanita yang Selalu Jadi Fantasi Pria Untuk Menjelajah
Uniterre yang mengkampanyekan luasnya perusakan hutan tropis, kata Nur Hasanah, juga berlebihan.
Luas Swiss dan Indonesia sangat beda.
"Kutai Kertanegara saja, daerah industri kelapa sawit yang saya teliti, luasnya setengah dari Swiss,“ tegas Nur Hasanah.
Dalam kampanyenya, Uniterre menyebutkan bahwa ladang kelapa sawit yang berjumlah 13 juta hektar itu, sama dengan tiga kali lipat luas negara Swiss.
Baca Juga: Tanda-tanda Hamil 6 Minggu, Embrio Cepat Tumbuh di Rahim Anda
Uniterre menyebutnya sebagai green desert.
(Krisna Diantha Akassa)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Referendum Tolak Kelapa Sawit Indonesia Masuk Mahkamah Konstitusi Swiss"
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini