Penulis
Intisari-Online.com - Di tebing curam sepanjang perbatasan China dan India, pertempuran terjadi pada Senin (15/6) malam.
Pertempuran di wilayah Pegunungan Ladakh itu menjadi kekerasan yang terburuk dalam 45 terakhir.
Meski tidak menggunakan senjata, nyatanya pertempuran itu memakan puluhan korban dari kedua belah pihak.
Melansir The Guardian, penyerangan yang dilakukan oleh tentara Tiongkok tehadap pasukan patroli India tidak menggunakan senjata. Hal ini ditujukan untuk mengurangi kemungkinan sengketa teritorial yang sudah lama berkobar menjadi perang terbuka.
Sejumlah media India melaporkan, Tentara Pembebasan Rakyat China telah membendung aliran sungai dari gunung, yang kemudian akan mereka buka kembali blokirannya ketika pasukan India mendekat.
Aliran air tersebut membuat banyak pasukan India terjatuh. Di situlah kemudian serdadu China menyerang. Mereka mengacungkan tongkat dengan paku.
Kedua pasukan bertempur satu sama lain selama berjam-jam.
Sejumlah pasukan India terjatuh dari lereng gunung hingga akhirnya tewas.
Ketika pertempuran berakhir, setidaknya 20 tentara India menjadi korban, puluhan lainnya terluka dan beberapa ditawan.
China juga mengalami kerugian, meskipun belum mengungkapkan angka.
Mengutip The Guardian, konsensus rapuh yang disepakati selama hampir setengah abad juga ikut mati.
Sebelum pertempuran minggu lalu, tidak ada tentara dari kedua pihak yang tewas dalam pertempuran di perbatasan selama 45 tahun.
Dilihat dari sejarahnya, China dan India bertempur di perbatasan pada tahun 1962, dan bentrok lagi pada tahun 1967. Akan tetapi, kedua belah pihak berupaya ingin menghindari insiden yang bisa mengarah ke perang terbuka.
Kemudian ada penyergapan hari Senin, mengubah segalanya. Situasi ini berpotensi besar memicu perselisihan yang selama ini terpendam.
Pada hari Sabtu (20/6/2020), China menuduh India melakukan "aksi provokasi yang disengaja", dan mengkritik pembangunan infrastruktur di daerah tersebut.
Tetapi konstruksi India telah berada di dalam wilayah yang dikontrolnya.
"Ini tampaknya menjadi dorongan yang jauh lebih terpadu pada bagian China untuk mengubah status quo," kata Andrew Small, rekan senior di German Marshall Fund kepada The Guardian.
Dia memperingatkan bahwa informasi tentang daerah perbatasan itu terpisah-pisah, dan sebagian besar dari sumber-sumber India dilengkapi dengan gambar satelit. Akan tetapi, ada gambaran yang jelas tentang kehadiran pasukan China yang terus meningkat.
Small menambahkan, "Militer China telah memperkuat posisinya di banyak lokasi, tidak hanya melakukan patroli di seluruh LAC tetapi membangun infrastruktur dan mempertahankan kehadiran yang berkelanjutan."
Dia juga menilai, sangat mustahil bahwa para komandan di perbatasan akan merencanakan penyergapan mematikan semacam itu tanpa persetujuan diam-diam dari tingkat tertinggi.
China sendiri kini menghadapi banyak masalah dan tengah berjuang melawan beberapa krisis.
Ekonominya hancur oleh virus corona. Hubungan dengan Amerika Serikat berada di salah satu titik terendah sejak hubungan diplomatik dibangun kembali pada 1970-an.
Hong Kong dalam pemberontakan dan pengenaan Beijing atas undang-undang keamanan di sana telah memicu kemarahan internasional.
Pemerintah China juga telah melancarkan perang dagang dengan Australia mengenai tuntutannya untuk penyelidikan asal-usul Covid-19, dan berselisih dengan Kanada mengenai ekstradisi eksekutif senior dari raksasa teknologi Huawei.
Beberapa analis percaya bahwa agresi di perbatasan India adalah respons terhadap tekanan domestik ini, dari seorang pemimpin yang putus asa untuk tidak terlihat lemah pada kedaulatan nasional.
"Saya merasa umumnya ini merupakan respons terhadap tekanan yang dirasakan Xi," kata Taylor Fravel, direktur program studi keamanan di Massachusetts Institute of Technology.
“Karena Covid dan kritik yang dihadapi China secara internasional, krisis ekonomi di dalam negeri, dan kemunduran yang terjadi pada hubungan Tiongkok-AS, (Beijing) mengambil sikap keras terhadap sejumlah masalah kedaulatan sebagai cara memberi sinyal bahwa China tidak akan takut," kata Fravel kepada The Guardian.
India serukan boikot
Melansir Indian Express, Minggu (21/6/2020), pemerintah India tengah berupaya menekan Beijing dengan mendorong warganya melakukan boikot pada barang-barang buatan dari China.
Wacana memulai perang dagang dengan China juga mulai disuarakan publik India.
Menteri Persatuan India, Ramdas Bandu Athwale, meminta masyarakat tak pergi ke restoran yang menjual makanan China tanpa pengecualian, meski pemiliknya maupun kokinya adalah seorang warga negara India.
Seruan boikot juga menggema untuk mencegah warga India membeli barang elektronik dari pabrikan China.
Mungkinkah hal itu berdampak pada ekonomi China?
Masih mengutip Indian Express, ekonomi China lima kali lebih besar dari ekonomi India.
Dengan demikian, memboikot produk China di India dianggap banyak kalangan malah akan merugikan ekonomi nasional negara itu. Ini karena India begitu bergantung pada barang impor dari Tiongkok.
Sepanjang tahun 2019-2020, perdagangan dengan China berkontribusi sebesar 10,6% dari seluruh neraca perdagangan India, atau yang terbesar kedua setelah perdagangan dengan Amerika Serikat (AS).
Sebaliknya bagi China, perdagangan dengan India hanya menyumbang 2,1%, sehingga tak terlalu siginifikan pengaruhnya bagi China.
Bagi India, China juga merupakan patner dagang vital.
Sebaliknya bagi China, India tak memegang peran terlalu siginifikan dan komoditas impor dari India masih bisa digantikan negara lain.
Artikel ini telah tayang di Kontan.co.id dengan judul Serang India, analis: Xi Jinping putus asa untuk tidak terlihat lemah