Penulis
Intisari-online.com -Gerakan ekstremis internasional dengan tujuan membangun kekhalifahan global dikenal dengan ISIS telah terpukul lagi untuk ketiga kalinya.
Tercatat dalam sejarah, sebelum kematian pemimpin ISIS yang mengklaim dirinya sebagai Khalifah Ibrahim, Abu Bakr al-Baghdadi pada 27 Oktober 2019 silam, dua pukulan lain terjadi pada tahun 2017 dan 2018.
Pukulan pada 2017 adalah saat ISIS harus kehilangan ibu kota de facto-nya, Raqqa di Suriah Utara dan kota bersejarahnya, Mosul, di Irak Utara.
Dengan ketiga kekalahan ini, daerah kekuasaan mereka satu per satu lepas dari genggaman, dan cita-cita ISIS untuk membangun kekhalifahan global pun hancur.
Tentang kekhalifahan global ini diuraikan oleh Dr KH Ma’ruf Amin yang kini menjadi Wakil Presiden Indonesia dalam “Seminar Nasional Fenomena ISIS bagi NKRI dan Islam Rahmatan Lil’alamin”, 9 Agustus 2014 silam.
Ma’ruf Amin, menyatakan, para ulama dan pemimpin Islam banyak yang tidak setuju dengan cita-cita pendirian kekhalifahan Islam secara global.
Karena menurut mereka cita-cita tersebut saat ini tidaklah realistis dan juga tidak ada justifikasinya dalam ajaran Islam.
Saat ini umat Islam berada di setiap negara yang berbeda, yang masing-masing Negara mempunyai sejarah dan kebijakannya sendiri terkait umat Islam.
Bahkan banyak dari para ulama dan pemimpin Islam yang secara sadar melakukan ijtihad untuk memperkuat negaranya masing-masing, seperti umat Islam di Indonesia.
Kini masyarakat diresahkan dengan permintaan WNI eks-ISIS yang memintah dipulangkan ke Indonesia, sedangkan Presiden Jokowi sendiri tidak mengabulkan permintaan tersebut.
Dilansir dari South China Morning Post, Indonesia telah memutuskan tidak memulangkan 689 warga yang telah bergabung dengan ISIS.
Repatriasi para WNI eks-ISIS membawa ancaman serangan teroris di Indonesia, sesuatu yang merupakan isu panas dalam sejarah bangsa Indonesia.
Semenjak kematian Abu Bakr al-Baghdadi oleh tentara Amerika, militan dari berbagai belahan dunia telah berada di kamp konsentrasi di Suriah bersama keluarga mereka.
Nasir Abas, mantan pemimpin Jemaah Islamiah (JI), kelompok yang berhubungan dengan al-Qaeda, mengatakan, "aku tidak setuju dengan repatriasi karena mantan eks-ISIS membawa virus menyerang ideologi Indonesia yang sangat berbahaya jika mereka masuk ke Indonesia."
Kembalinya para WNI eks-ISIS juga dapat memicu grup lain untuk melakukan tindakan teror serupa dengan mengajak para WNI eks-ISIS, dan repatriasi juga dapat memunculkan serangan balas dendam oleh para simpatisannya di Indonesia.
Anggota ISIS memang sangat banyak, ketika sedang jaya-jayanya pada tahun 2014 silam, ISIS menguasai wilayah di Irak dan Suriah seluas 41.000 mil persegi dan memerintah lebih dari 11 juta orang.
Mulai Oktober 2016, ISIS menguasai sembilan dari 14 provinsi di Suriah, menurut buku A Review of ISIS ini Syria 2016 – 2019, Regional Differences and an Enduring Legacy The Carter Center Syria Project, March 2019.
Sepak terjang ISIS mampu menarik lebih dari 40.000 petarung asing dari 120 negara (termasuk Indonesia).
Selain itu juga memobilisasi lebih dari 25.000 orang baik dari Irak maupun Suriah.
Secara ekonomis, pada masa itu, ISIS mampu mencukupi dirinya sendiri dari minyak, pajak, penyelundupan, penjarahan, penculikan, dan pemerasan. Rata-tata setiap bulan pada tahun 2015 penghasilannya, menurut The Washington Institute for Near East Policy, mencapai 70 juta dollar AS.
Bahkan disebutkan, setiap harinya kekayaan ISIS bertambah 3 Juta USD atau Rp 41 Miliar yang berasal dari penyelundupan minyak mentah, penyelundupan manusia, perampokan dan pemerasan.
Pejabat intelijen AS yang tidak mau disebutkan namanya menyebut sumber daya mereka saat itu melebihi kelompok teroris manapun sepanjang sejarah.
Mengutip Bloomberg dan India Today, minyak mentah yang mereka hasilkan itu didapatkan dari kekuasaan mereka di sebagian besar wilayah Suriah dan Irak serta mengendalikan sebanyak 11 ladang minyak di kedua negara tersebut.
Selanjutnya, jaring penjualan mereka adalah melalui jejaring penyelundupan yang telah ada turun-temurun, dan semua dilakukan di bawah hidung pemerintah yang sedang melawan mereka: Irak utara yang dikendalikan kaum Kurdi, Turki dan Yordania.
Minyak mentah curian itu biasanya diangkut menggunakan truk-truk tangki, kata para analis.
"Ada banyak yang bisa jadi uang," kata Denise Natali, yang bekerja di Kurdistan sebagai pejabat kelompok bantuan Amerika yang sekarang menjadi peneliti di National Defense University.
"Kaum Kurdi mengatakan bahwa mereka berupaya menutupnya, tapi ada saja yang menyogok penjaga perbatasan, menyogok sejumlah orang lainnya dan barang-barang diloloskan."
Kelompok IS menjual minyak selundupannya dengan potongan antara US$ 25 hingga 60 atau Rp 299 ribu hingga Rp 718 ribu untuk tiap barel minyak yang biasanya terjual dengan harga lebih dari US$100 dolar atau Rp 1,2 juta.
Namun demikian, keuntungan total dari minyak sudah lebih dari US$ 3 juta tiap harinya, kata Luay al-Khatteeb, seorang peneliti tamu di Brookings Institution yang berada di Doha Center di Qatar.
Kelompok itu juga meraup jutaan dolar lagi dari penyelundupan benda-benda antik keluar Irak untuk dijual di Turki, kata al-Khatteeb. Lalu ada jutaan dolar lagi dari penyelundupan manusia, yaitu jual beli wanita dan anak-anak sebagai budak-budak syahwat.
Pemasukan lain berasal dari pemerasan, uang tebusan dari para tawanan yang diculik dan penjarahan terang-terangan segala benda di kota-kota yang dicaplok kelompok itu, kata para analis.
Namun, menurut Mattisan Rowan dalam ISIS After the Caliphate yang dipublikasikan 28/11/2017, sejak November 2017, ISIS telah berantakan setelah kehilangan 98% daerah kekuasaan.
Lebih dari 60.000 petarungnya tewas dan 130 lebih dari pemimpinnya dibunuh.
Pendapatan mereka juga merosot menjadi 16 juta USD sebulan pada 2017.
Kejayaan ISIS berkunci pada kota Mosul, sebuah kota terbesar kedua di Irak yang kemudian dijadikan pusat kekuasaan.
Hal ini telah dijelaskan oleh Lina Khatib, penulis buku What the Takeover of Mosul Means for ISIS (2014) bahwa Mosul menjadi kemenangan moral dan taktis bagi ISIS, dan ia sudah memperingatkan negara Barat dan Arab untuk mengubah kebijakan mereka atas Suriah dan Irak sebelum ISIS menjadi teroris internasional.
Umpan
Layaknya orang-orang Troya yang menganggap patung kuda itu sebuah hadiah, saat ini orang-orang menganggap jika ISIS telah mati di Suriah dan Irak, sesuatu yang salah.
Meski telah dipukul dengan ketiga peristiwa besar, para anggota ISIS bagaikan lebah yang dihancurkan sarangnya: terbang ke segala penjuru membawa sengat.
Menurut Lina Khatib, ISIS akan mengikuti jejak al-Qaeda setelah Osama bin Laden dibunuh.
Akan terbentuk franchises al-Qaeda di berbagai tempat, negara dan masing-masing menentukan prioritasnya sendiri-sendiri.
Oleh sebab itu, ide melakukan serangan balasan, dalam berbagai bentuk, cara dan kekuatan masih ada.
Apalagi, menurut perkiraan Pentagon, dua wilayah kedua negara itu—Suriah dan Irak—ISIS meski sudah hancur-hancuran masih memiliki kekuatan antara 14.000 hinggga 18.000 anggota, yang 3.000 orang di antaranya adalah petarung asing (The Christian Science Monitor, 28 Oktober 2019), termasuk dari Indonesia.
The International Center for the Study of Radicalisation_ (ICSR) di King’s College London memperkirakan bahwa 41.480 orang--termasuk 4.761 wanita dan 4.640 anak-anak--dari 80 negara berafiliasi dengan ISIS. Beberapa tewas karena yakin akan ide-ide mereka. Yang lain berubah pikiran dan berhasil pulang untuk menghadapi keadilan.
Orang asing yang bertahan sampai akhir, sampai ISIS berhasil dibabat adalah pendukung ISIS yang paling bersemangat. Anak-anak di bawah umur dari luar Suiah dan Irak, menurut para peneliti, "memiliki komitmen ideologis dan keterampilan praktis untuk menimbulkan potensi ancaman saat kembali ke negara asal mereka" (The Christian Science Monitor, 26 April 2019).