Sepulang ke rumah, saya mencuci baju lalu mandi. Kebersihan pribadi penting sekali. Rasanya saya cuci tangan 20 sampai 30 kali sehari.
Saya masih bisa merasa terhubung ke dunia dengan bepergian ke luar rumah.
Susah membayangkan bagaimana rasanya orang tua yang hidup sendirian atau orang-orang dengan disabilitas.
Saya tidak ingin mengurangi makanan saya, karena ini adalah malam terakhir tahun babi.
Seharusnya masakan saya ini jadi makanan untuk perayaan akhir tahun.
Sambil makan malam, saya melakukan telepon video dengan teman-teman.
Tak bisa terhindar dari omongan soal virus.
Seorang batuk saat sedang video call.
Yang lain menimpali: tutup telepon kamu!
Kami berbincang tiga jam, dan riang rasanya. Kupikir tidurku bisa nyenyak karenanya.
Namun saat saya menutup mata, ingatan beberapa hari terakhir ini masuk ke benak saya.
Saya menangis. Rasanya tak berdaya, marah dan sedih. Saya juga berpikir soal kematian.
Saya tak menyesali hidup saya karena pekerjaan saya sangat bermakna. Namun saya tak mau hidup berakhir begitu saja.
Sabtu 25 Januari - Sendirian di Tahun Baru
Hari ini Tahun Baru Imlek. Saya tak terlalu tertarik merayakan, dan kini tahun baru terasa makin tak relevan.
Pagi hari saya melihat ada darah sesudah saya bersin. Saya ketakutan. Kepala saya penuh dengan pikiran soal penyakit. Saya bimbang apakah akan keluar rumah atau tidak.
Namun saya tidak demam, dan lapar. Maka saya memutuskan pergi.
Saya pakai dua masker meski kata orang tak ada perlunya. Saya khawatir kualitas masker yang mungkin saja palsu, maka saya pakai dua masker supaya merasa lebih aman.
Kota tetap masih sangat sepi.
Ada toko bunga yang buka dengan bunga krisan (yang biasa ada di pemakaman) di pintu. Tapi saya tak tahu mengerti maknanya.
Di toserba, rak sayuran kosong. Somai dan mi habis. Hanya sedikit orang mengantri.
Selalu ada dorongan untuk belanja banyak setiap kali ke toko.
Saya beli beras 2,5 kg, meski saya masih punya 7kg beras di rumah.
Saya tak tahan untuk tak membeli ubi, pangsit, sosis, kacang merah, kacang hijau dan telur asin.
Saya bahkan tak suka telur asin! Nanti saya kasih teman saja kalau isolasi kota sudah selesai.
Makanan saya cukup untuk sebulan. Belanja spontan begini rasanya ngawur. Tapi dalam keadaan begini, bisakah saya menyalahkan diri sendiri?
Saya berjalan di tepi sungai. Ada dua toko kudapan buka. Orang-orang membawa anjing jalan-jalan.
Bahkan ada yang membawa kereta bayi. Rasanya mereka juga tak ingin merasa terpenjara.
Saya belum pernah lewat jalan ini. Rasanya dunia saya seperti meluas sedikit.
Minggu 26 Januari - membuat suaramu terdengar
Bukan cuma kota ini yang terkurung, suara orang di dalamnya juga.
Di hari pertama penutupan, saya tak bisa menulis apapun di media sosial (karena sensor). Bahkan juga tak bisa di WeChat.
Sensor internet sudah lama ada di China, tapi sekarang rasanya lebih kejam.
Ketika hidup tiba-tiba jungkir balik begini, susah rasanya membangun hidup sehari-hari lagi.
Saya olah raga tiap pagi memakai aplikasi, tapi tak bisa fokus karena otak saya sibuk.
Saya keluar rumah lagi hari ini dan menghitung jumlah orang yang saya temui. Ada delapan orang sepanjang 500 meter dari rumah sampai ke toko mi.
Saya tak ingin langsung pulang. Baru dua bulan saya pindah ke Wuhan. Saya tak punya banyak teman dan tak terlalu kenal kota ini.
Rasanya saya melihat 100 orang hari ini. Saya harus terus membuat suara saya tetap terdengar, dan mematahkan belenggu ini.
Semoga semua tetap punya harapan. Teman-teman, saya harap suatu hari kita bisa bertemu dan ngobrol-ngobrol lagi.
Sekitar jam 8 malam saya dengar teriakan "Tetap semangat Wuhan!" dari jendela orang-orang. Teriakan ini jadi penyemangat bagi diri sendiri.
Selasa 28 Januari - akhirnya hari cerah
Panik telah menekan banyak orang.
Di banyak kota, diwajibkan memakai masker di tempat umum. Ini seperti upaya mengendalikan wabah pneumonia, tapi ternyata bisa jadi penyalahgunaan kekuasaan.
Beberapa warga tanpa masker diusir dari angkutan umum. Saya tak tahu kenapa mereka tak pakai masker. Mungkin tak bisa beli, atau tak tahu pengumuman soal ini.
Apapun alasannya, tak bisa membuat hak mereka jadi dicabut.
Ada beberapa video yang beredar. Beberapa orang menyegel pintu orang-orang yang mengkarantina diri sendiri. Orang dari Provinsi Hubei (di mana Wuhan terletak) diusir dari rumah dan tak tahu kemana harus pergi.
Namun di saat yang sama, beberapa orang menawarkan tempat tinggal untuk orang-orang Hubei.
Banyak cara pemerintah untuk meminta orang tinggal di dalam rumah.
Mereka memastikan penduduk punya masker, atau bahkan memberi uang agar penduduk mau tetap di dalam rumah.
Akhirnya hari ini cerah - seperti perasaan saya. Saya lihat lebih banyak orang di kompleks rumah saya, dan ada beberapa pekerja komunitas.
Mereka datang untuk memeriksa suhu badan orang-orang, terutama yang bukan penduduk sini.
Tak mudah membangun kepercayaan dan ikatan dalam keadaan terisolasi begini. Segala sesuatu terasa berat di kota ini.
Baca Juga: Ini Alasan Mengapa Makanan Berwarna Kuning Harus Dimasukkan dalam Makanan Sehari-hari Anda
Kecemasan saya pelan-pelan menghilang. Jalan-jalan di kota tak akan ada artinya kalau saya tak membangun koneksi dengan orang di sekitar.
Berpartisipasi dalam kehidupan sosial juga penting. Setiap orang harus punya peran di masyarakat dan merasa hidupnya berarti.
Di kota sunyi ini, saya harus menemukan peran saya.
Guo Jing juga menerbitkan sebagian catatan harian ini di WeChat. Ia menceritakan kisah ini ke Grace Tsoi dari BBC.
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul "Catatan Harian Seorang Warga Wuhan "Teman Saya Batuk, Langsung Disuruh Tutup Telepon"