Find Us On Social Media :

Berikan Sedikit Waktu Kita Bagi Orang Lain dan Ini Mungkin Sangat Berarti Baginya dalam Membuat Perubahan

By Moh Habib Asyhad, Rabu, 28 Maret 2018 | 22:00 WIB

Intisari-Online.com – Pada suatu musim panas liburan antara penerimaan mahasiswa baru dan tahun kedua di perguruan tinggi, saya diundang untuk menjadi instruktur di sebuah kamp kepemimpinan sekolah menengah yang diselenggarakan oleh sebuah perguruan tinggi di Michigan.

Saya sudah sering terlibat di sebagian besar kegiatan kampus, dan saya tidak melewatkan kesempatan itu.

Sekitar satu jam memasuki hari pertama di perkemahan, di tengah hiruk-pikuk pemecah es dan interaksi paksa, saya pertama kali melihat seorang anak lelaki di bawah pohon.

Badannya kecil dan kurus, rasa tidak nyaman dan malu jelas tampak pada mukanya yang membuatnya semakin terlihat rapuh.

Sementara tak jauh dari tempatnya, 200 orang berkerumun menabrakkan badan masing-masing ke temannya, bermain, bercanda, dan saling bertemu, tetapi anak laki-laki di bawah pohon itu tampaknya hanya ingin berada di tempat lain selain di mana sekarang ia berada.

Kesepian dan putus asa yang dipancarkannya hampir menghentikan saya untuk mendekatinya, tetapi saya ingat instruksi dari staf senior untuk tetap waspada dalam perkemahan tersebut.

Ketika saya berjalan ke arahnya, saya berkata, “Hei, nama saya Kevin dan saya adalah salah satu pendamping. Senang bertemu denganmu. Bagaimana kabarmu?”

Dengan suara gemetar dan malu, dengan enggan ia menjawab, “Baik-baik saja, saya rasa.”

Saya bertanya dengan tenang apakah ia ingin bergabung dengan kegiatan dan bertemu dengan beberapa orang baru.

Ia diam-diam menjawab, “Tidak, ini benar-benar bukan kegiatanku.”

Saya dapat merasakan bahwa ia berada di dunia baru, bahwa seluruh pengalaman ini asing baginya. Tetapi entah bagaimana, saya tahu bahwa tidak benar untuk mengajaknya. Ia tidak butuh obrolan, ia butuh teman.

Setelah beberapa saat terdiam, interaksi pertama saya dengan anak laki-laki di bawah pohon itu berakhir.

Saat makan siang keesokan harinya, saya memimpin lagu-lagu di perkemahan untuk 200 teman-teman baru saya. Para peserta berkemah dengan penuh semangat berpartisipasi.

Pandangan saya mengembara di antara kebisingan dan gerakan, dan saya menangkap bayangan anak laki-laki di bawah pohoh, duduk sendirian, menatap jauh.

Saya hampir lupa syair lagu yang harusnya saya pimpin. Pada kesempatan itu, saya mencoba lagi, dengan pertanyaan yang sama seperti sebelumnya.

“Bagaimana kabarmu? Apakah kau baik-baik saja?”

Kembali anak laki-laki di bawah pohon itu menjawab, “Ya, saya baik-baik saja. Saya tidak benar-benar memahami hal ini.”

Ketika saya meninggalkannya, saya menyadari ini membutuhkan banyak waktu dan usaha daripada yang saya kira, bahkan mungkin melewatinya begitu saja.

Malam itu dalam pertemuan dengan senior, saya menceritakan kekhawatiran saya. Saya menjelaskan kepada anggota staf tentang kesan saya terhadap anak laki-laki itu dan meminta mereka untuk memberi perhatian khusus dan menghabiskan waktu bersamanya ketika merek abisa.

Hari-hari saya habiskan di perkemahan setiap kali libur perkuliahan, tapi ini rasanya lebih cepat daripada sebelumnya. Tetapi sebelum saya menyadarinya, pertengahan minggu ketika tengah larut malam terakhir di perkemahan dan saya sedang mendampingi “Tarian terakhir”.

Para siswa melakukan semua yang mereka bisa untuk menikmati saat terakhir di perkemahan dengan “teman-teman terbaik” baru mereka, yang mungkin tidak akan pernah bertemu lagi.

Ketika saya melihat para peserta berbagi momen perpisahan mereka, saya tiba-tiba melihat apa yang akan menjadi salah satu kenangan paling jelas dalam hidup saya.

Ya, anak laki-laki di bawah pohon, yang selalu menatap kosong jauh itu, sekarang, menari tanpa baju. Ia menguasai lantai dansa bersama dua gadis di sampingnya.

Saya menyaksikan saat ia berbagi waktu yang berarti dan akrab dengan peserta lain yang bahkan tidak dilihatnya beberapa hari sebelumnya. Saya benar-benar tidak percaya, itu adalah dia.

Pada bulan Oktober tahun kedua saya, telepon di larut malam membuat saya menjauhkan dari buku kimia saya. Suara yang berbicara lembut dan tidak dikenal, menyapa dengan sopan, “Apakah saya bisa berbicara dengan Kevin?”

“Ya, saya sendiri. Siapa ini?”

“Ini ibu Tom Johnson. Apakah Anda ingat dengan Tommy dari perkemahan kepemimpinan?

Ahai, anak laki-laki di bawah pohon! Bagaimana mungkin saya tidak ingat?

“Ya, saya ingat,” kataku. “Dia anak muda yang sangat baik. Bagaimana kabarnya?”

Jeda panjang yang tidak biasa terjadi, kemudian Ny. Johnson berkata, “Tommy sedang berjalan pulang dari sekolah minggu lalu ketika ia ditabrak mobil dan tewas.”

Kaget, saya menyampaikan belasungkawa.

“Aku hanya ingin menelepon Anda,” kata Ny. Johnson lagi, “Karena Tommy menyebutmu berkali-kali. Saya ingin Anda tahu bahwa ia kembali ke sekolah pada musim gugur ini dengan penuh percaya diri. Ia memiliki teman baru. Nilai-nilainya naik. Bahkan ia pergi berkencan. Saya hanya ingin mengucapkan terima kasih telah membuat perbedaan bagi Tom. Beberapa bulan terakhir adalah bulan terbaik dalam hidupnya.”

Pada saat itu, saya menyadari betapa mudahnya memberikan sedikit diri Anda setiap hari. Anda mungkin tidak pernah tahu seberapa besar berartinya bagi orang lain.

Saya menceritakan kisah ini sesering yang saya bisa, dan ketika saya melakukannya, saya mendorong orang lain untuk melihat di sekitar mereka, bisa jadi mereka menemukan “anak laki-laki di bawah pohon”.

Kita bisa menyentuh hidup orang lain dan membuat perbedaan bagi mereka. Bahkan bagi diri kita sendiri.