Penulis
Intisari-online.com -Virus Corona disinyalir muncul dari kebiasaan orang China yang jorok dan makan dengan tidak bersih.
Selain itu, ada spekulasi virus ini bermunculan disebabkan oleh kuliner ekstrem yang kerap dikonsumsi oleh orang Tiongkok.
Hal itu mengungkap fakta kebiasaan orang Tiongkok makan-makanan dari hewan liar.
Di tengah mewabahnya isu tersebut, seorang influencer terekam makan sup kelelawar pun menjadi viral.
Dilansir dari South China Morning Post, saat warga Singapura berkumpul dalam liburan Imlek, muncul lelucon tentang kebiasaan makan orang China.
Disebutkan, orang China akan memakan "apapun dengan kaki empat kecuali meja, dan apapun yang terbang kecuali pesawat".
Bahkan, ada satu meme yang mengatakan tidak perlu khawatir, virus tidak akan bertahan lama karena "dibuat di China".
Isu rasisme memang tumbuh dengan cepat dengan merebaknya virus Corona.
Beredar sebuah petisi di laman change.org yang dimulai pada 26/1/2020 dan telah ditandatangani 118.858 orang pada Rabu (29/1/2020) siang.
Dari mereka yang menyerukan kesehatan diprioritaskan di atas cuan pariwisata adalah Ian Ong, yang menulis: "Kami bukan pemakan tikus atau kelelawar dan tidak boleh dibuat untuk menanggung omong kosong mereka."
Fenomena ini disebut dengan Xenofobia atau ketidaksukaan atau ketakutan terhadap orang-orang dari negara lain, atau yang dianggap asing, yang mencuat menyerang penduduk China daratan dan kebiasaan makan mereka semenjak kasus pertama virus Corona 2019 (2019-nCoV) Desember lalu.
Warga China telah dilarang masuk ke Filipina, Papua Nugini, dan negara Asia lainnya.
Bahkan di Malaysia, ada seruan memblokir turis China dan media sosial memposting jika wabah ini adalah azab untuk kekejaman China terhadap populasi Muslim Uighur.
Di Jepang sementara itu, muncul permintaan maaf dari pihak turisme yang dipasang di toko setelah toko tersebut memasang tanda "Orang China tidak boleh masuk ke toko ini. Aku tidak ingin terjangkit virus."
Rabu (29/1/2020) Singapura telah memblokir masuknya turis yang telah mengunjungi provinsi Hubei selama 14 hari terakhir, atau pemegang paspor yang dari provinsi tersebut.
Malaysia juga telah menghentikan visa traveler China dari Hubei.
Stigma ini telah mencapai Eropa, setelah mahasiswa bernama Sam Phan menuliskan di Guardian mengenai seorang pria yang naik bus di London buru-buru berdiri setelah Phan duduk.
"Minggu ini, etnis yang kupunyai dan menjadi jati diriku telah membuatku merasa seperti aku bagian dari populasi orang berpenyakit.
"Melihatku sebagai seseorang yang membawa virus hanya karena rasku adalah, ya, sebuah tindakan rasis," tulisnya.
Di Kanada, situs Toronto BlogTO mengatakan stigma tersebut juga melekat pada makanan China, sembari mengkaitkan dengan hal serupa pernah terjadi saat SARS 2003 silam.
Baca Juga: Ada Pasal Pembunuhan dalam Laporan Rizky Febian, Apa Untungnya Bagi Teddy Jika Lina Meninggal?
Situs tersebut menyebutkan komentar rasis di Instagram tentang restoran China baru, yang beberapa poster tuliskan harus hindari makan di sana karena "mungkin mengandung daging kelelawar atau apapun yang mereka makan".
Masih belum jelas bagaimana virus Corona melompat dari hewan liar ke manusia, tetapi penyelidikan awal tunjukkan pasien pertama mendapatkan infeksi dari pasar hewan liar di Wuhan.
Pasar tersebut menjual hewan-hewan liar seperti rubah, anak serigala, salamander raksasa, merak dan landak.
Namun saat ini, telah muncul penelitian yang menunjukkan jika pasar tersebut tidak ada kaitannya dengan virus Corona.
Jurnal Kesehatan The Lancet pada 24 Januari menulis jika dari satu kasus klinis, 13 dari 41 infeksi tidak berkaitan dengan pasar tersebut.
Pasien pertama tunjukkan gejala pada 1 Desember 2019, artinya infeksinya terjadi pada November 2019 mengingat periode inkubasinya diberi waktu 2 minggu.
Peneliti katakan virus dapat menyebar di Wuhan sebelum pasien di pasar tersebut ditemukan.
Genom virus sudah diurutkan tetapi peneliti masih tidak yakin apakah memang berasal dari kelelawar atau ular.
Juga, bukan mengenai dagingnya yang dimakan, tetapi bagaimana mereka memasaknya dan pengolahan higienis saat makanan disiapkan.
"Chef adalah penyandang resiko terbesar," ujngkap spesialis penyakit infeksi Leong Hoe Nam yang dulu pernah menangani kasus SARS.
Leong sebut siapa saja dapat diserang virus dari hewan.
"Ini adalah kasus orang bertemu virus yang salah pada waktu yang salah. Dapat terjadi pada siapa saja yang sedang mempelajari virus, atau bertemu kelelawar di waktu yang tidak tepat," ujarnya.
Ia juga mengkaitkan dengan kasus di Melaka, Malaysia, saat kelelawar terbang ke sebuah rumah dan menginfeksi pria berumur 39 tahun sekeluarga.
Tan Ern Ser, sosiolog National University of Singapore katakan, menggambarkan virus Corona sebagai masalah China seperti "berhadapan dengan masalah dengan palu godam, mengimplikasikan semua warga China daripada berurusan dengan buruknya standar food safety dan pola makan."
Sementara itu, sosiologis Laavanya Kathiravelu dari NTU katakan postingan media sosial berkaitan dengan xenofobia adalah sterotype era kolonial.
"Orang Cina, dalam akun xenofobik ini, dianggap mengambil sumber daya dari populasi lokal yang layak, dan memiliki perilaku tidak sopan. Secara lebih luas, ini juga dapat dilihat sebagai informasi oleh stereotip Cina yang lebih tua sebagai kotor, memiliki kebersihan yang buruk dan praktik kuliner yang tidak diinginkan, ”katanya.
Bahkan menteri pemerintah Singapura telah berbicara.
Menteri Pembangunan Nasional Lawrence Wong, yang bersama-sama mengetuai satuan tugas yang dibentuk untuk menangani virus ini, mengatakan pada hari Senin: “Saya ingin meyakinkan warga Singapura bahwa pemerintah akan melakukan segala yang kami bisa untuk melindungi warga Singapura dan Singapura, tetapi ini tidak berarti bereaksi berlebihan, atau lebih buruk, mengubah xenophobia."
Dramawan Singapura Zizi Azah, yang berbasis di New York, mengatakan tidak masuk akal untuk mem-pin virus dalam sebuah perlombaan.
“Penyakit tidak mengenal batas geografis atau ras dan itu benar-benar keberuntungan undian, bukan? Di mana sesuatu dimulai dan di mana itu sampai, "katanya.
Mohamed Imran Mohamed Taib, direktur Center for Interfaith Understanding, memperingatkan terhadap dampak dehumanisasi orang-orang China sebagai tidak beradab.
“Itu bukan karena 'ke-Cina-an'; fakta bahwa orang-orang ini adalah orang Tionghoa adalah kebetulan, bukan alasan untuk kemunculan dan penularan virus. Virus itu bisa saja muncul di bagian lain dunia, sama seperti Ebola dimulai di Kongo dan Sindrom Pernafasan Timur Tengah di Arab Saudi, ”katanya.
Di Malaysia, Perdana Menteri Mahathir Mohamad mengklarifikasi bahwa masjid mana pun yang telah menutup diri untuk turis belum melakukannya atas saran pemerintah.
"Ini bukan kebijakan pemerintah dan ini adalah tindakan yang tidak bertanggung jawab," katanya, Rabu, memperingatkan publik agar tidak menyebarkan berita palsu yang bisa memicu ketegangan rasial.
"Meskipun kita percaya pada kebebasan berekspresi, itu tidak berarti kita bisa menjadi antagonis dan mengacaukan perasaan orang lain."