Penulis
Intisari-Online.com – Menko Polhukam Wiranto diserang oleh orang tak dikenal usai meresmikan universitas baru di Pandeglang, Banten, pada Kamis (10/10/2019).
Meskipun mendapat dua luka tusukan cukup dalam, namun Wiranto cepat mendapatkan pertolongan pertama di RSUD Berkah. Hingga kemudian segera dirujuk ke RSPAD Jakarta Pusat.
Dalam Pemilihan Umum Presiden 2004, Wiranto ikut dalam bursa pemilihan calon presiden.
Majalah Intisari edisi Juli 2004, dalam tulisan Mengenal Capres Kita (Kisah, Watak & Peruntungan), menuliskan beberapa orang yang masuk dalam bursa calon presiden periode 2004-2009.
Dalam tulisan tersebut diungkapkan karakter pribadi para calon berdasarkan Pawukon dan Cap Jie Shio, namun ini bukan dimaksudkan untuk dijadikan referensi dalam memilih capres.
Intisari mencoba menyajikan dengan mengesampingkan pemaparan negatif tentang sosok pribadi capres.
Wiranto, menjadi salah satu capres ketika itu, ada dalam tulisan Sikap Sederhana Militer Sejati, yang menjadi bagian dari tulisan tersebut.
Baca Juga: Wiranto Ditusuk Laki-laki, Perempuan Lukai Kapolsek, Ini Fakta Pasangan Pasutri yang Serang Wiranto
“Apakah Panglima akan mengambil kekuasaan?" tanya Letjen Susilo Bambang Yudhoyono yang waktu itu menjabat Kasospol ABRI.
Dengan tegas, Panglima yang tak lain tak bukan Jenderal Wiranto menjawab, "Tidak, kita akan mengantar pergantian kekuasaan dengan konstitusional."
Pertanyaan Susilo Bambang Yudhoyono itu beralasan mengingat Wiranto baru saja memegang surat semacam "Supersemar", yakni Inpres no. 16/1998 tertanggal 18 Mei 1998.
Selaku Menhankam/Pangab, Wiranto diangkat sebagai Panglima Komando Kewaspadaan dan Keselamatan Nasional yang berwenang menentukan kebijaksanaan tingkat nasional dan menetralisir sumber kerusuhan.
la dibantu sejumlah menteri serta pejabat tingkat pusat dan daerah. Saat surat itu diserahkan, Presiden Soeharto berkata, "Surat ini akan digunakan atau tidak, itu terserah kamu!"
Kita pun tahu Wiranto tidak menggunakan surat itu sebagai alat untuk melakukan kudeta. Jawaban tegasnya juga melegakan para perwira di Mabes ABRI.
"Saya tahu, beban berat yang sekian lama menindih perasaan mereka sirna dengan keputusan dan langkah yang saya ambil," kata Wiranto dalam buku Bersaksi di Tengah Badai.
Sebagai pucuk pimpinan ABRI di tengah pergolakan bangsa kala itu, gerak langkah Wiranto ikut menentukan ke mana bandul NKRI berayun.
Wiranto sendiri tidak pernah membayangkan bahwa suatu saat ia akan menduduki jabatan tertinggi dalam TNI. Bahkan lewat profesi itu ia sempat dekat dengan Presiden Soeharto.
"Itu bukan obsesi saya, mungkin itulah garis kehidupan. Alhamdulillah kalau kemudian Tuhan telah memungkinkan saya mencapai posisi tertinggi, jenderal bintang empat, dalam karier saya di TNI," ujamya.
Ia pun menambahkan, hanya dengan ketekunan, kejujuran, dan disiplinlah semua itu bisa diraih.
Watak-watak itulah yang telah tertanam pada diri Ento - begitu panggilannya - sejak kecil.
Nama Wiranto sendiri yang diberikan ibunya - Suwarsijah - berasal dari wira dan anto, anak yang kelak diharapkan selalu mengedepankan kebenaran.
Pria kelahiran Yogyakarta 4 April 1947 – namun besar di Solo - ini sudah terbiasa prihatin sejak kecil.
Penghasilan RS Wirowiyoto, sang bapak, sebagai kepala Sekolah Rakyat, sangat minim untuk menghidupi sembilan anak.
Maka, selepas SMA pilihan masuk AMN yang gratis cukup beralasan.
Terlebih sejak kecil anak keenam ini sudah sangat mendambakan menjadi tentara.
Setiap ada keluarga bepergian dan bertanya kepadanya mau oleh-oleh apa, Ento menjawab: topi baja!
Sedangkan kalau ditanya kelak mau jadi apa, jawabnya: jadi tentara!
Pola hidup sederhana yang ketat dipegang keluarganya membuat sifat aji mumpung tak lekat di pemikiran Wiranto.
Semua tak lepas dari kendali ibunya. Ibunya menolak ketika Wiranto ingin mengirimi sebuah mobil.
"Bagaimana nanti dengan tukang becak langganan saya yang mangkal di ujung gang jalan sana?"
Karier militer lulusan AMN 1968 ini boleh dibilang mulus, yaitu diawali sebagai Komandan Peleton Yonif 713 Gorontalo, Sulawesi Utara.
Di sinilah ia menemukan Rugaiya Usman yang memberinya tiga anak.
Posisi yang menentukan kariernya adalah saat ia terpilih menjadi Ajudan Presiden Soeharto (1989 - 1993).
Dari sini kariernya terus menanjak sampai menjabat Pangkostrad (1996 - 1997). Berlanjut ke KSAD hingga Pangab.
Saat menjadi Pangkostrad, ia pernah mengaku bahwa sebetulnya dia tertarik menjadi anggota Marinir TNI AL.
"Ada untungnya juga. Kalau tidak, mana bisa sekarang saya menjadi Pangkostrad," katanya.
Apakah keuntungan masih melekat padanya tatkala ia menjawab "Tidak!" ke Letjen Susilo Bambang Yudhoyono?
Soalnya, orang yang bertanya itu kini menjadi lawannya dalam perebutan kursi presiden yang dulu sudah membayang di depan matanya. (Yds)