Kisah-kisah Lucu di Balik G30S, Saat Komplotan Gestapu Dilumpuhkan oleh 'Perut' Mereka Sendiri

Ade S

Penulis

Di balik penumpasan G30S/PKI ada kisah-kisah lucu dan menegangkan yang mewarnainya. Mari kita simak tulisan berikut ini.

Intisari-Online.com – Tepat 54 tahun lalu meletuslah pemberontakan G30S/PKI.

Penumpasan gerakan makar yang didalangi oleh PKI tersebut masif dilakukan di seluruh negeri oleh ABRI (kini TNI).

Kami menggali beberapa peristiwa yang tak banyak diingat orang lagi dari harian Kompas dan Sinar Harapan terbitan waktu itu.

Dan isi tulisan berikut ini pernah dimuat di Majalah Intisari edisi September 2017.

Baca Juga: Nasib Mantan Prajurit Cakrabirawa Pasca G30S/PKI, Diburu hingga Kabur ke Thailand dan Jalani Profesi yang Sungguh Tak Terduga

Sana makan!

Tidak selalu ABRI menggunakan senjata untuk menaklukkan musuh.

Misalnya saja ketika mereka berusaha merebut kembali RRI Semarang yang waktu itu sempat diduduki komplotan Gestapu.

Sementara RRI mengumandangkan siaran-siaran yang disponsori PKI, salah seorang penjaga bersenjata di luar gedung RRI sudah mulai lesu.

Seorang anggota ABRI mendekatinya, lalu menegur, "Bertugas, Bung?"

Baca Juga: G30S 1965: Operasi Gagak Hitam, Pembantaian Anggota PKI di Banyuwangi Jawa Timur oleh Pasukan Bercelana, Baju, dan Ikat Kepala Serba Hitam

“Ya," jawabnya.

"Sudah makan?"

"Belum."

"Sana makan dulu di belakang. Kumpulkan dan ajak kawan-kawan yang lain."

Si penjaga langsung beranjak dengan mengajak kawan-kawannya.

Pada saat itu juga kesatuan ABRI segera menyergap dan berhasil melucuti senjata mereka tanpa mendapat perlawanan sedikit pun.

Baca Juga: Lim Keng Kie, Sosok Sahabat Kental BJ Habibie Sejak SMA hingga Kuliah di Jerman, Namun Terpisah Karena Isu G30S/PKI

Studio RRI Semarang berhasil direbut kembali. (Sinar Harapan, Minggu, 17 Oktober 1965)

Haus

Taktik memang kadang-kadang lebih ampuh daripada perlawanan langsung.

Misalnya saja ketika Brigjen Surjo Sumpeno yang waktu itu Pangdam VII Diponegoro didatangi seorang kapten yang berkata, "Jenderal, mulai sekarang, Jenderal ditahan."

"Tahan boleh saja, tapi saya haus. Coba, tolong ambilkan teh dulu," sahutnya.

Baca Juga: Amelia Yani, Putri Achmad Yani yang 20 Tahun Menyepi di Desa untuk Sembuhkan Trauma Atas Peristiwa G30S: 'Saya Banyak Bergaul dengan Petani'

Maka pergilah si kapten mencari teh dan Brigjen Surjo Sumpeno memanfaatkan kesempatan itu untuk meloloskan diri.

Beberapa waktu kemudian sebuah batalyon dan pasukan taruna AMN (sekarang AKABRI) di bawah pimpinan sang brigjen bergerak membebaskan Yogya dan kemudian Solo. (Kompas, Selasa, 12 Oktober 1965)

Gara-gara Knalpot

Sebuah truk melewati istana kepresidenan di Cipanas.

Baca Juga: Kematian 7 Perwira Korban g30S/PKI di Lubang Buaya yang Tak Sesuai Pemberitaan hingga Soekarno Terima Selembar Nota Mencekam

Satuan Cakrabirawa yang bertugas menjaga istana mengira mendengar tembakan.

Mereka membalas sambil tak lupa memadamkan penerangan di istana.

Satuan-satuan angkatan darat yang bertugas mengawasi istana tersebut agaknya mengira tembakan itu diarahkan kepada mereka.

Maka mereka pun membalas menembak ke istana.

Untunglah beberapa anggota satuan AD berinisiatif merangkak mendekat ke istana untuk menanyakan duduk perkaranya.

Baca Juga: Cerita Bu Tien saat Ada Anak Perempuan Ngaku-ngaku Sebagai Anak Soeharto Karena G30S/PKI, Misinya Bak Agen Rahasia Tingkat Tinggi

Siapa sangka yang semula dikira tembakan oleh pasukan Cakrabirawa adalah letupan-letupan knalpot bocor dari truk yang tadi lewat. (Kompas, Selasa, 26 Oktober 1965)

Tentara Juga Bisa Grogi

Jam malam ternyata kurang cocok untuk orang-orang yang gampang grogi.

Ini dialami oleh seorang petugas (tidak disebutkan petugas apa) ketika ia melewati pos penjagaan.

"Batu," penjaga yang bersenjatakan bedil menyapanya.

Baca Juga: Sebelum Enzo, Militer Indonesia Punya Darah Prancis dalam Tubuh Pierre Tendean, 'Perisai' AH Nasution dalam G30S

Si petugas sadar betul bahwa ia harus menyahut dengan kata sandi tertentu.

Tapi apa, ya? Padahal ia tak mempunyai pas malam. Keringat dingin mulai mengucur.

"Batu," penjaga berteriak.

Ia belum juga ingat.

Penjaga memberinya kesempatan satu kali lagi dengan meneriakkan, "Batu!"

Si penjaga nekat saja menjawab, "Genteng."

Baca Juga: Inilah Saracen, Panser untuk Mengangkut 7 Jenazah Pahlawan Revolusi Korban G30S

Kontan ia diciduk, karena yang betul hanya huruf awalnya saja. Kata sandi yang harus diucapkannya malam itu adalah, "Gading".

Syukurlah, usut punya usut, akhirnya ia dibebaskan juga.

Masalah semacam inilah yang membuat petugas-petugas malam yang gampang grogi membuat contekan di telapak tangannya.

Memang kerahasiaannya jadi berkurang, tapi apa boleh buat? (Sinar Harapan, Jumat, 22 Oktober 1965)

Baca Juga: Kisah Pedih dari Tragedi G30S PKI: Inilah Sumini, Ketua Gerwani yang Digebuki dan Dicap Bermoral Bejat

Terlalu Bersemangat?

Lain lagi yang terjadi di lingkungan media.

Entah karena begitu bersemangat dalam suasana mengganyang Gerakan 30 September, sebuah surat kabar memasang iklan ucapan selamat atas pengangkatan Pak Harto yang waktu itu panglima Kostrad menjadi Menteri/Panglima Angkatan Darat.

Dengan huruf-huruf yang mencolok terpampang di iklan itu bahwa Mayjen Soeharto diangkat menjadi Menteri Panglima Tertinggi ABRI/Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno ....

Tentu saja wartawan surat kabar yang bersangkutan menjadi cukup sibuk meminta maaf ketika iklan itu disodorkan kepadanya oleh kepala perwira penerangan Kostrad saat itu. (Kompas, Sabtu, 23 Oktober 1965)

Baca Juga: Kisah Pilu Pierre Tendean dalam G30S, Korbankan Nyawa demi A.H Nasution dan Gagal Menikahi Kekasihnya

Kejutan

Pagi-pagi buta tanggal 23 Oktober 1965 sebuah truk yang mengangkut beberapa orang pemuda merayapi salah satu jalan di Sala.

Para pemuda itu berseru, "Bantuan ... bantuan ... Kampung Madu (bukan nama sebenarnya) diserang ... ayo bantuan ...!"

Dalam sekejap berjubel-jubellah truk itu dengan orang-orang yang ingin memberikan bantuan kepada kampung yang dikenal simpatisan G30S dan ketika itu sedang dilanda kaum demonstran.

Di sebuah tanjakan di Jl. Sorogenen terjadi kejutan. Beberapa prajurit baret merah muncul.

Baca Juga: Pierre Tendean, Bukan Target Utama Namun Menjadi Korban 'Salah Sasaran' G30S/PKI

"Angkat tangan semua!" perintah anggota RPKAD tersebut.

Dengan saling berpandangan terpaksalah mereka patuh digiring ke hotel perdeo. Mau nolong malah ketodong. (Kompas, Jumat 3 Desember 1965)

Pisaunya Terhunus

Suatu malam di Ponorogo, pada pukul 20.00, 22 November 1965, seorang pemuda berusia sekitar 20 tahun berjalan sendiri melewati jalanan yang gelap.

Mendadak ia merasa dibuntuti. Ketika menengok ke belakang dilihatnya dua orang wanita makin lama makin mendekat. Hatinya mulai ciut.

Maklumlah, di masa itu cerita-cerita mengenai kekejaman anggota Gerwani cukup bikin bulu kuduk berdiri.

Baca Juga: Disebut sebagai Tokoh Kunci G30S, Letkol Untung Ternyata Lulusan Terbaik Akmil

Apalagi ketika ditengoknya lagi, nampak kedua wanita itu membawa pisau terhunus! Ia mempercepat jalannya sampai tersandung-sandung.

Entah bagaimana, rupanya tersusul juga pemuda ini oleh kedua ibu, sehingga akhirnya ia menyapa mereka,

“Ya Allah, Buu ..., sampai saya tersandung-sandung. Mau ke mana?"

"Mau rewang. Membantu memasak di rumah yang terang itu!"

"Saya kira .... Mari Bu, selamat malam!"

Salah seorang ibu kebetulan istri koresponden Kompas. (Kompas, Sabtu 4 Desember 1965)

Baca Juga: Pencungkilan Mata dan Pemotongan Alat Vital di Film G30S/PKI Ternyata Tak Sesuai dengan Hasil Forensik

Garwane Dikira Gerwani

Bu Sastrosularno sedang sendirian ketika pasukan tentara dari Batalyon G mengadakan gerakan pembersihan di daerah Nusukan - Prawit, Sala.

Mereka melihat setumpukan buletin di atas meja. Salah satu buletin bertuliskan "G.S."

Karena sedang menumpas G30S, tak heran mereka menaruh perhatian khusus dan menanyakan artinya.

"Anu, Pak ...," Bu Sastro gelagapan. "G artinya Gotong-Royong, S artinya ...," ia terhenti. Mulutnya cuma komat-kamit.

Baca Juga: Jadi, Di Manakah Jenderal Soeharto saat Peristiwa G30S Terjadi?

Para anggota Yon G kontan curiga.

"Sudah, terus terang saja."

Bu Sastro semakin gugup. Kepanjangan dari huruf "S" itu benar-benar hilang dari ingatannya.

Untunglah seorang anak angkatnya muncul dan segera menyela bahwa "S" adalah singkatan dari "subur".

Mendengar jawaban si anak, petugas dengan wajah agak lega bertanya lagi, "Siapa pemilik buletin-buletin ini?"

Baca Juga: Begini Kesaksian Penulis Film G30S/PKI yang ‘Menyaksikan’ Penembakan di Rumah Jenderal Ahmad Yani

"Suami saya, Pak Sastrosularno."

Mungkin sekadar untuk meyakinkan dirinya si petugas bertanya lagi, "Ibu Gerwani, ya?"

"Inggih (ya), Pak," sahut si ibu mantap!

"Apa? Jadi ibu adalah anggota Gerwani? Ayo, ikut ...!" bentak si petugas.

"Maaf, Pak. Saya bukan anggota Gerwani. Saya kira Bapak bertanya 'Garwane? (Istrinya?), maka saya iyakan. Saya bukan Gerwani. Saya garwane Pak Sastro yang menjadi pegawai Sekolah ‘Warga’ itu.” (Kompas, Kamis 9 Desember 1965)

Baca Juga: Seharusnya Ada 8 Jenderal yang Akan Diculik G30S PKI, Kenapa Akhirnya Hanya 7?

Artikel Terkait