Advertorial
Intisari-Online.com – Hari ini, kita memperingati salah satu peristiwa sejarah Indonesia yang sangat kelam.
Lima puluh tiga tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 30 September sampai 1 Oktober 1965, tujuh orang perwira tinggi militer Indonesia dan beberapa orang lainnya dibunuh dengan kejam.
Peristiwa tersebut kita kenang sebagai Gerakan 30 September atau G30S/PKI.
Ada enam perwira tinggi militer yang tewas. Mereka adalah:
1. Letjen TNI Ahmad Yani(Menteri/Panglima Angkatan Darat/Kepala Staf Komando Operasi Tertinggi).
2. Mayjen TNI Raden Suprapto (Deputi II Menteri/Panglima AD bidang Administrasi).
3. Mayjen TNI Mas Tirtodarmo Haryono (Deputi III Menteri/Panglima AD bidang Perencanaan dan Pembinaan).
4. Mayjen TNI Siswondo Parman(Asisten I Menteri/Panglima AD bidang Intelijen).
5. Brigjen TNI Donald Isaac Panjaitan(Asisten IV Menteri/Panglima AD bidang Logistik).
6. Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo(Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan Darat)
Perwira yang ketujuh yang menjadi target sebenarnya adalah Jendral TNI Abdul Harris Nasution. Namun dalam upaya pembunuhan tersebut, ajudan dia, Kapten CZI (Anumerta) Pierre Andreas Tendean-lah yang tewas.
Siapakah Kapten CZI (Anumerta) Pierre Andreas Tendean?
Ketika menjadi korban, usia Tendean masih 26 tahun.
Tendean lahir dari pasangan Dr. A.D. Tendean, seorang dokter yang berdarah Minahasa, dan Cornet M.E, seorang wanita Indonesia berdarah Prancis.
Ia lahir tanggal 21 Februari 1939 di Batavia (kini Jakarta).
Baca Juga : Disebut sebagai Tokoh Kunci G30S, Letkol Untung Ternyata Lulusan Terbaik Akmil
Tendean adalah anak kedua. Dia memiliki seorang kakak, Mitze Farre, dan adik, Roos Jusuf Razak.
Sejak kecil, Tendean memang sangat ingin menjadi tentara. Oleh karenanya, ia masuk akademi militer.
Dengan tekad yang kuad, ia pun berhasil bergabung dengan Akademi Teknik Angkatan Darat (ATEKAD) di Bandung tahun 1958.
Setelah lulus dari akademi militer tahun 1961 dengan pangkat letnan dua, Tendean menjadi Komandan Pleton Batalyin Zeni Tempur 2 Kodam III/Bukit Barisan di Medan.
Beberapa kali ia diminta pindah. Seperti ke Bogor hingga Malaysia. Sampai suatu hari, tepatnya tanggal 15 April 1965, Tendean dipromosikan sebagai letnan satu.
Tidak hanya itu, dia juga ditugaskan menjadi ajudan Jenderal Besar TNI pada saat itu, Jenderal A.H Nasution.
Baru enma bulan bertugas, peristiwa berdarah itu terjadi.
Mereka yang ditugaskan untuk menculik Jenderal Nasution mengira Tendean adalah sang jenderal TNI.
Akibatnya, dia dibawa ke sebuah rumah di daerah Lubang Buaya bersama enam perwira tinggi lainnya.
Di sana, dia ditembak mati dan mayatnya dibuang ke sebuah sumur tua bersama enam jasad perwira lainnya.
Tendean pun gugur sebagai salah satu korban peristiwa G30S/PKI dan ditetapkan sebagai Pahlawan Revolusi Indonesia pada tanggal 5 Oktober 1965.
Pasca kematiannya, Tendean secara anumerta dipromosikan menjadi kapten.
(Buku ‘Menyingkap dua hari tergelap pada tahun 1965: melihat peristiwa G30S dari Perspektif Lain’ – James Luhulima tahun 2006)
Baca Juga : Pencungkilan Mata dan Pemotongan Alat Vital di Film G30S/PKI Ternyata Tak Sesuai dengan Hasil Forensik