Dia menilai langkah pemerintah tersebut bukan menjadi solusi untuk menambal masalah defisit BPJS Kesehatan.
Menurut dia, tak hanya dirinya saja yang merasa keberatan dengan kenaikan besaran iuran yang hingga 100 persen tersebut.
"Kayaknya itu bukan solusi, karena banyak teman-teman yang bakalan stop nggak mau bayar semisal dinaikin deh," ujar dia.
Nada serupa juga diungkapkan oleh peserta BPJS Kesehatan kelas I lainnya, Giri Cahyo.
Menurut dia, dengan naiknya besaran iuran BPJS Kesehatan tidak bakal memperbaiki masalah inti dari lembaga tersebut.
"Merasa terbebani, asuransi swasta akan lebih menarik nantinya," ujar dia.
Tak Serta Merta Turunkan Defisit
Koordinator advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menilai, kenaikan iuran yang diinisiasi oleh menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati tersebut tak bisa begitu saja menurunkan defisit BPJS Kesehatan yang sudah terjadi secara menahun.
Sebab, bakal ada risiko penurunan jumlah penerimaan iuran di kelas II dan I akibat besaran kenaikan yang terlampau tinggi.
Sehingga, jumlah penerimaan iuran PBPU berpotensi turun.
"Lalu kenaikan yg signifikan di kelas II dan I ini akan mendorong peserta kelas I dan II turun ke kelas III.
Nah kalau ini terjadi maka potensi penerimaan dari kelas I dan II akan menurun.
Penerimaan PBPU justru akan menurun. Ini harus dipertimbangkan pemerintah," ujar Timboel ketika dihubungi Kompas.com, Kamis (29/8/2019).
Berkaca dari pengalaman 2016 lalu, pemerintah melalui Peraturan Presiden Nomor 19 tahun 2016 menetapkan besaran kenaikan iuran menjadi Rp 30.000.
Berbagai protes pun muncul sebagai bentuk reaksi atas kenaikan tersebut.
Maka sebulan kemudian muncul Peraturan Presiden nomor 28 tahun 2016 di mana besaran iuran kelas III untuk peserta mandiri menjadi Rp 25.500.
Timboel menilai, seharusnya kenaikan iuran untuk peserta mandiri tidak serta merta dilakukan.
Baca Juga: Kisah Sedih Kucing yang Hilang 10 Tahun dan Kembali Lagi untuk Mati di Hadapan Keluarganya
Pemerintah perlu untuk melakukan pengkajian terlebih dahulu kepada publik.
"Nah kenaikan yang tinggi berpotensi menciptakan protes masyarakat. Khawatir kejadian 2016 terulang hendaknya kenaikan iuran untuk mandiri harus dikaji dan diuji publik dulu. Jangan langsung-langsung aja," ujar dia.
Selain itu, juga perlu dilakukan perbaikan dan kontrol yang lebih terhadap fasilitas kesehatan (faskes) yang melakukan tindak kecurangan.
Selain itu, perlu juga dilakukan penertiban badan usaha yang melakukan kerja sama dengan badan pemerintah tersebut.
Dari temuan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) terdapat 50.475 badan usaha yang belum tertib bekerja sama dengan BPJS Kesehatan.
Ada sekitar 528.120 pekerja yang belum didaftarkan oleh 8.314 badan usaha.
Selain itu, ada 2.348 badan usaha yang tidak melaporkan gaji dengan benar.
"Kenaikan iuran tdk otomatis menyelesaikan defisit karena defisit dikontribusi juga oleh kegagalan mengendalikan biaya dan menghentikan fraud di RS.
Jadi menaikan iuran harus didukung pengendalian biaya khsusunya fraud-fraud," ujar Timboel.
Baca Juga: Sri Mulyani Usul Iuran BPJS Kesehatan Naik 100 Persen, Kelas I Jadi Rp160.000
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Iuran BPJS Naik Dua Kali Lipat Bikin Asuransi Swasta Lebih Menarik?"