Find Us On Social Media :

Gunung Agung di Ujung Ekor Naga yang Masih Liar

By K. Tatik Wardayati, Jumat, 11 Januari 2019 | 20:00 WIB

Intisari-Online.com – Bukan naga dari darah daging, melainkan dari serangkaian gunung yang sebagian masih memuntahkan api dan menerbitkan gempa bumi.

Berikut ini tulisan tentang Gunung Agung di Bali yang mulai beraktivitas kembali, diambil dari Majalah Intisari edisi September 1963, dengan judul Gunung Agung di Ujung Ekor Naga yang Masih Liar.

Kepala naga itu letaknya di pegunungan Alpen di Eropa, di mana baru-baru ini kota Skoplye (Yugoslavia) hancur karena gempa bumi.

Baca Juga : Legenda Gunung Agung: Potongan Gunung Mahameru yang Jatuh di Tanah Bali saat Diangkat oleh Para Dewa

Lehernya di Turki dan Iran – juga dua wilayah yang beberapa waktu yagn lampau buminya bergerak.

Dan ekornya? Panjangnya tak kurang daripada 7.000 km. Mulai dari pegunungan Arakan Yoma di Burma, melalui kepulauan Andaman dan Nikobar, sampai di Sumatera, menjalar terus ke seluruh pulau Jawa, Bali, Lombok, Sumbawa dan pulau-pulau Nusa Tenggara lain dan kemudian memutar ke Maluku.

Di bagian ekor “naga” inilah terdapat bukti yang nyata bahwa bumi yang sudah berusia 3 miliar tahun itu masih bergerak, masih tumbuh, masih dalam evolusi.

Baca Juga : Gunung Agung Meletus: Bagi NASA Itu Berita Bahagia Bagi Kehidupan Umat Manusia

Malapetaka terhebat disebabkan oleh ledakan Gunung Tambora di Sumbawa (1815) hingga 92.000 manusia mati karenanya.

Dalam tahun 1883 meletuslah Krakatau sampai memakan lebih dari 36.000 korban. Dan dalam beberapa tahun terakhir ini bergolaklah Gunung Merapi di Jawa Tengah dan akhir-akhir ini Gunung Agung di Bali.

Di Timur terdapat lapisan-lapisan batu karang laut yang dahulu kala tentu terdapat dekat laut, tapi kini terangkat sampai setinggi 1.500 meter.

Baca Juga : Pagi Tadi, Gunung Agung Bali Kembali Mengeluarkan Erupsi, Ini Penjelasan Selengkapnya!

Dalam hal lain Indonesia mempunyai kedudukan luar biasa. Di sinilah terjadi pertemuan antara gunung-gunung yang paling muda usianya (hanya 800.000 tahun – muda bila dibandingkan dengan suia dunia tersebut di atas) dengan beberapa wakil dari umat manusia yang tertua seperti Homo mojokertensis yan gmungkin merupakan bentuk muda dari Pithecanthropus  (usianya kira-kira 500 – 800.000 tahun).

Semenjak tahun 1923 profesor Vening Meinesz, seorang sarjana geofisika bangsa Belanda, dengan menumpang kapal selam memeriksa daya tarik (gravitasi) bumi di perairan sepanjang Sumatera, Jawa, dan Nusa Tenggara.

Ternyata di sebagian dari Samudera Indonesia itu daya tarik bumi jauh lebih kurang yaitu sepanjang suatu zona yang lebarnya lebih dari 100 km dan panjangnya kira-kira 8.000 km.

Zona ini terkenal kini sebagai zona Vening Meinesz.

Baca Juga : Artikel Terpopuler 2018: Meletusnya Gunung Agung Akan Jadi Berita Bahagia Bagi Kehidupan Umat Manusia

Kemudian ternyatalah sesuatu yang menarik hati: Zona atau wilayah Vening Meinesz itu sebagian besar meliputi pegunungan di bawah laut yang masih muda usianya dan tidak bersifat vulkanis.

Gunung di bawah permukaan laut itu ialah pegunungan dalam pertumbuhan, yang kini pun masih bergerak ke atas, didorong oleh suatu tenaga untuk pelahan-lahan muncul dari laut.

Di wilayah Vening Meinesz dekat Sumatera sebagian dari pegunungan itu sudah timbul, yaitu berbentuk pulau-pulau Nias, Mentawai, Enggano, dll.

Baca Juga : Kembali Meletus, Ternyata Gunung Agung Tidak Bisa Didaki Sembarang Waktu

Tanpa imperilisme dan kolonialisme

Dapat diduga, bahwa suatu hari pun di sebelah selatan Jawa akan lahir beberapa pulau baru.

Alam akan memperluas wilayah Republik Indonesia. Tanpa imperialisme, kolonialisme atau anexasi.

Tenaga apakah gerakan melahirkan pulau-pulau baru itu?

Menurut teori profesor Vening Meinesz berkurangnya daya tarik bumi terkmaksud di atas disebabkan oleh tenaga yang menarik ke bawah sebagian dari kulit bumi itu, hingga menjadi semacam akar (root dalam bahasa Inggris).

Baca Juga : Viral! Pria Ini Nekat 'Tonton' Erupsi Gunung Agung Langsung dari Puncaknya

Tenaga ini pula (subcrustal convection currents) yang mendorong pulau Nias, Mentawai, Enggano, ke atas, sampai timbul dari permukaan laut.

Pada saat sekarang teori profesor Vening Meinesz inilah yang paling umum diterima sebagai teori modern untuk menerangkan lahirnya gunung-gunung.

Tenaga ini juga yagn menyebabkan meletusnya Gunung Agung di Bali pada tanggal 19 Februari 1963.

Baca Juga : Ini Daftar 68 Gunung Api Aktif di Indonesia, Tak Ada Alasan untuk Turunkan Kewaspadaan

Letusan ini masih belum apa-apa.

Tapi dalam hari-hari berikutnya tenaga yagn mendorong dari bawah itu makin lama makin kuat dan akhir Maret kawah Gunung Agung mengalah, dan memuncratlah lahar yaitu batu cair yang beribu-ribu Celcius panasnya.

Hebatnya malapetaka Gunung Agung ini disebabkan karena Bali padat penduduknya, dan subur tanahnya.

Akan tetapi jangan pula dilupakan bahwa kesuburan tanah itu justru disebabkan oleh ledakan Gunung Agung di abad-abad yang lampau.

Baca Juga : 'Kalahkan' Krakatau, Ini Dua Gunung Api Indonesia dengan Letusan Paling Dahsyat, Salah Satunya Picu Kekalahan Napoleon

Abu yang disemprotkannya itu justru menyuburkan Bali seperti juga kesuburan Sumatera dan Jawa adalah karunia Tuhan melalui ledakan gunung apinya.

Berkat gunung api itulah maka Jawa dapat memberi makanan kepada penduduknya (lebih dari 400 jiwa di setiap km persegi: keadaan pada tahun 1930), sedangkan pulau Kalimantan yang tak mempunyai satu gunung api pun waktu itu hanya mempunyai penduduk 4 jiwa di setiap km persegi. (Berdasarkan tulisan Dr. Peter Stubbs “The Balinese ride on a dragon’s tail” dalam “New Scientist”, London.)