Find Us On Social Media :

Jasa Mereka Sungguh Besar, Sayangnya Pahlawan-pahlawan Ilmu Pengetahuan Ini Sering Kita Lupakan

By Moh Habib Asyhad, Minggu, 18 Februari 2018 | 20:30 WIB

Intisari-Online.com - Nyatanya banyak ilmuwan—atau yang berkontribusi terhadap ilmu pengetahuan—yang tidak mendapat pujian yang semestinya mereka dapatkan.

Mereka dilupakan, dikecilkan, bahkan ditutup-tutupi jasa besarnya.

Siapa di antara kita yang mengenal Alhazen? Siapa di sekeliling kita yang pernah mendengar nama Chien-Shiung Wu? Atau siapa yang pernah membaca kisah hidup Mary Anning? 

Nyaris tidak ada yang mengenal mereka. Tapi lebih baik terlambat daripada tidak mengenal mereka sama sekali, bukan?

Alhazen: si peletak dasar metode ilmiah

Mengamati, menghipotesis, melakukan uji coba, merevisi, mengulangi. Begitulah metode ilmiah dibangun.

Orang yang meletakkan dasar itu, bagaimanapun juga, telah dilupakan di dunia Barat.

(Baca juga: Lebih dari 15 Ribu Ilmuwan dari 184 Negara Keluarkan Peringatan tentang 'Bumi yang Semakin Rapuh')

(Baca juga: Ledakan Bintang Ini Berhasil Menjawab 3 Pertanyaan Besar Ilmuwan, Termasuk Asal Usul Emas)

Lahir pada pertengahan abad ke-10 di tempat yang sekarang bernama Irak, Ibn al-Haytham, yang oleh orang-orang Barat dikenal sebagai Alhazen, adalah sosok yang penuh keingintahuan.

BACA: 

Ketika dunia berbahasa Arab menjadi pusat ilmu pengetahuan, Alhazen dianggap sebagai salah satu bintangnya.

Alhazen menulis lebih dari 100 buku tentang fisika, matematika, dan astronomi. Ia juga dianggap sebagai orang pertama yang menjelaskan bagaimana otak kita menciptakan ilusi kenapa bulan muncul lebih besar di dekat cakrawala.

Karya pertamanya tentang optik telah mengilhami orang-orang besar macam Roger Bacon dan Johannes Kepler berabad-abad kemudian—meski metode ilmiah yang diciptakan oleh Alhazen jauh lebih luas.

Alih-alih mengembangkan teori dari cara-cara abstrak, Alhazen dikenal sebagai peletak metode eksperimen.

Ia sangat menekankan betapa pentingnya uji coba. Salah satu karyanya yang dianggap sebagai kanon berjudul Doubts Against Ptolemy.

Di sana Alhazen menulis:

“Seseorang yang mempelajari buku sains dengan pandangan mengetahui fakta sebenarnya seharusnya mengubah dirinya menjadi lawan dari segala sesuatu yang ia pelajari; ia harus benar-benar menilai bagian utamanya dan juga bagian marginnya, dan menentangnya dari setiap sudut pandang dan segala aspeknya … Jika ia melakukan ini, fakta sebenarnya akan terungkap.”

Dan kita tahu, metode yang diusulkan oleh Alhazen ini telah dianggap sebagai paten penyelidikan teori ilmiah.

Chien-Shiung Wu: Ibu Negara Fisika

Jalan Chien-Shiung Wu menuju level tertinggi ilmu pengetahuan dimulai dari pesisir Provinsi Jiangsu di China.

Ia tiba di AS pada 1936 untuk melanjutkan kuliah di University of California, Berkeley. Di sana, eksperimennya dengan emisi sinar X dan gas xenon berkontribusi penting terhadap Proyek Manhattan.

Proyek Manhattan inilah yang pada akhirnya menghasilkan duo-bom nuklir Little Boy dan Fat Boy yang meledak di Jepang pada Agustus 1945.

Meski begitu, karyanya di Columbia University beberapa tahun kemudianlah yang memberinya tempat di kuil fisika.

Wu adalah orang pertama yang melakukan verifikasi—dan kemudian memperbaiki—teori Enrico Fermi mengenai peluruhan beta radioaktif, yang menjelaskan bagaimana beberapa atom yang tidak stabil akan memancarkan radiasi saat diubah menjadi atom yang lebih stabil.

Pada 1956, para peneliti lain meminta Wu membantu mereka membuktikan hipotesis mereka tentang rincian hukum paritas.

Hukum ini menyatakan bahwa objek dan bayangannya dalam cermin harus berperilaku sama, walau terbalik—kanan jadi kiri dan sebaliknya.

Dan eksperimen kompleks Wu mengonfirmasi hipotesis mereka, dan tim itu akhirnya memenangkan Hadiah Nobel Fisika pada 1957. Ironisnya, mereka tidak pernah mengakui kontribusi Wu.

Meski begitu, minimnya kredit kepada Wu tidak menghentikannya.

Ia justru menjadi presiden perempuan pertama American Physical Society dan menerima National Medal of Science.

Wu lalu menikmati karier yang panjang sebagai profesor terkemuka. Lebih dari itu, ia mendapat sematan paling besar di bidangnya sebagai “Ibu Negara Fisika”.

Pada sebuah konferensi untuk menghormatinya pada 1997, peraih Nobel Leon Lederman banyak bercerita tentang standar yang diterapkan Wu saat mereka keduanya berkolaborasi.

“Minggu penuh penderitaan yang saya alami 40 tahun yang lalu bersama kolega yang terhormat, CS Wu mengajari saya pelajaran tentang apa artinya menjadi ilmuwan hebat. Artinya, validitas hasil (penelitian) harus mendapat prioritas tertinggi.”

Francis Beaufort: memetakan semua perairan

Ketika masih remaja sekitar tahun 1870-an, Francis Beaufort  melaut bersama British Royal Navy.

Pada pelayaran pertamanya itu, yang menuju China, kapal yang ia tumpangi kandas, karena navigasi yang kurang akurat.

Beaufort dan anggota kru lainnya menghabiskan waktu sekitar lima hari di perairan terbuka sebelum diselematkan. Pengalaman mengerikannya itu membuatnya terbiasa menghadapi sulitnya kehidupan.

Saat menjadi taruna, Beaufort mulai membuat laporan cuaca setiap dua jam alih-alih 12 atau 24 jam.

Ketika bertugas, ia juga menyimpan jurnal cuaca terperinci, dan ia telah merancang sebuah sistem notasi alfanumatik tentang kondisi cuaca yang menjadi standar di seluruh Angkatan Laut.

Anda mungkin pernah mendengar tentang Skala Beaufort, yang berevolusi dari sistem notasinya dan mengklarifikasi kekuatan angin.

Meskipun Beaufort membuatnya untuk angin di laut, pada perkembangannya skala itu difungsikan juga untuk angin darat dan udara.

Yang mungkin tidak ketahui adalah kontribusi Beaufort terhadap sains.

Ketika ia ditunjuk sebagai hidrografer di Angkatan Laut Inggris pada 1829, ia memutuskan untuk memetakan semua perairan yang belum dipetakan.

Selama 26 tahun berikutnya, ia menghasilkan hampir 1.500 grafik terperinci, beberapa di antaranya seperti yang masih digunakan saat ini.

Ia juga menerbitkan pemberitahuan dan jadwal pelaut, mengubah posisi hidrografer dari ketidakjelasan menjadi sesuatu yang yang amat diperhintungkan.

Dan satu lagi, pada 1831, saat Kapten Robert FitzRoy sedang menyiapkan meneliti pesisir Amerika Selatan, ia meminta Beaufort mencari seseorang berpendidikan tinggi untuk menemani ekspedisinya.

Dan Anda tahu siapa yang direkomendasikan Beaufort? Yup, ialah yang kini kita kenal sebagai Charles Darwin.

Raymond Dart: mendobrak hemegomi Eropa Barat soal nenek moyang manusia

Pada 1924, konsensus ilmiah menyatakan bahwa manusia telah berevolusi di suatu tempat di Eurasia. Bagaimanapun, fosil mirip manusia telah ditemukan dari Neander Valley di Jerman hingga Jawa, Indonesia.

Lalu seorang ahli anatomi Australia yang bekerja di Afrika Selatan menerima sebuah paket. Pengirimannya diharapkan, tapi tidak dengan isinya.

Kotak itu seharusnya berisi tengkorak babon parsial dari tambang batu kapur di jantung negara tersebut. Rencanya, tengkorak itu oleh Raymond Dart akan ditambahkan sebagai koleksi museum.

Yang mengejutkan Dart, tengkorak dalam kotak itu milik anak kecil. Bukan anak manusia, tapi juga bukan babon.

Spesimen itu berotak besar. Karena sumsum tulang belakangnya besar, seperti pada simpanse, Dart yakit sosok itu adalah makhluk yang berjalan tegak—sampai kemudian, itu dianggap sebagai sifat eksklusif manusia.

Dart menyebutnya sebagai tengkorak Australopithecus africanus dan berpendapat bahwa itu menunjukkan bahwa kita berevolusi di Afrika.

Alih-alih mendapat sambutan, ilmu pengetahun, yang berpusat di Eropa Barat, justru mengejeknya. Tapi itu tak menyurutkan niat Dart.

Bersama rekannya, Robert Broom, ia menjelajahi gua-gua di Afrika Selatan dan menemukan lebih banyak fosil, jauh lebih tua dibanding fosil-fosil yang ditemukan di Eurosia.

Mary Anning: ibu paleontologi

Di sepanjang pantai selatan Inggris, gelombang menabrak tebing laut, mengikis bebatuan dan karang, dan mengungkap keberadaan fosil-fosil yang melingkupi era Mesozoikum, zaman dinosaurus, dan reptil raksasa.

Selama berabad-abad, penduduk setempat menyisir pantai, atau menaikit tebing yang runtuh diterjang ombak, mencari sesuatu yang bisa dijual kepada turis dan kolektor.

Bagaimanapun juga, itu adalah pekerjaan yang berbahaya. Meski berbahaya, ayah Mary Anning tetap mengajari putrinya cara tersebut.

Saat ayah meninggal, hal itu menjadi pekerjaan utama Anning untuk membantu kelangsungan dapur keluarganya.

Waktu itu tahun 1812. Anning berusia sekitar 13 tahun ketika menemukan fosil penting pertamanya, potongan fosil yang cocok dengan tengkorak Ichthyosaurus yang telah ditemukan kakaknya beberapa tahun sebelumnya.

Setelah itu, ia menemukan lebih banyak fosil, termasuk plesiosaurus, ikan, invertebrata, dan pterosaurus.

Bebeberapa pengunjung yang datang ke toko fosilnya mencatat Anning sebagai perempuan dengan kecerdasan serta pengetahuan tentang anatomi.

Pakar-pakar geologi dan paleontolog yang sedang bersemi ramai-ramai mencarinya.

Ketika Anning meninggal pada usia 47 tahun karena kanker, Geological Society of London memberi penghormatan tertinggi buatnya. Sebuah penghormatan yang belum diberikan lagi kepada perempuan selama 72 tahun.

Penghormatan adalah satu hal, tapi pengakuan formal adalah hal lainnya. Dan di sinilah ironi itu ada.

Temuan Anning yang masuk ke museum justru tidak menyertakan namanya, melainkan nama orang yang membeli darinya. Para peneliti juga jarang yang mengakui kontribusinya.

Bahkan hari ini, perempuan bermata tajam itu lebih dikenal sebagai “penjual kerang di tepi pantai yang pintar”.

James Hutton: rock star yang tak mau kompromi

Lahir di Edinburgh pada puncak Pencerahan, James Hutton adalah seorang pengamat yang berbabakt.

Dengan ketrampilannya itu, ia hendak merumuskan teori pertana tentang deep time, dan tentang bagaimana permukaan planet kita terus mendaur ulang dirinya sendiri.

Saat itu, gagasan tersebut dianggap sesat.

Tapi bagaimanapun, teori Hutton menjadi dasar geologi modern, mengilhami Charles Darwin dan teknik lempeng tektonik, vulkanologi, geobiologi, Hipotesis Gaia—pandangan yang muncul pada akhir abad 20 tentang planet sebagai satu organisme tunggal.

Mata tajamnya juga membuatnya “melenceng” dari arus zaman itu. Setelah masuk sekolah kedokteran pada 1740-an, Hutton memilih menjadi petani. Ia mengelilingi seluruh Inggri sembari mempelajari teknik pertanian terbaru, tapi ia justru tertarik dengan lansekap yang ia jelajahi itu.

Ia menjadi terobsesi dengan ketidakteraturan pada bebatuan.

Bumi, menurut teori Button, bukanlah hal yang statis, tapi sesuatu yang dinamis. Benua naik, lalu turun. Siklus itu berulang lagi jutaan bahkan miliaran tahun.

Waktu itu, istilah ilmuwan belum ada, yang ada filsuf alam. Waktu it ia percaya bahwa bumi baru berusia 6.000 tahun, dan tentu saja mendapatkan kritikan yang amat pedas.

Meski begitu, teori ini akhirnya menjadi umum—dan menjadi pondasi banyak ilmu pengetahuan yang disebutkan di awal.

Henrietta Lacks: simbol garis sel

Ketika ia meninggal pada usia 31 tahun karena kanker serviks, Henrietta Lacks hampir tidak dikenal oleh siapa pun.

Organ-organnya, tanpa persetujuan keluarga dan Lacks sendiri, dikumpulkan dan digunakan untuk menciptakan garis sel manusia pertama yang diturunkan.

HeLa, nama garis sel itu, terbukti menjadi sangat tak ternilai bagi penelitian kanker, dan telah menjadi landasan puluhan ribu percobaan.

Meski begitu, para periset nyaris tidak berusaha melindungi identitas Lacks—seolah-olah mengumpulkan selnya sama seperti mengumpulkan sel tikus.

Saat buku best seller karya Rebecca Skloot berjudul The Immortal Life of Henrietta Lacks mengangkat kisah hidupnya, hal itu memicu protes publik.

Meski begitu, ada sedikit perubahan. Pada 2013 lalu, para peneliti menerbitkan genome HeLa, dengan informasi pribadi yang berkaitan dengan Lacks dan keluarganya, secara online.

Insiden itu menyebabkan National Institutes of Health membuat peninjauan yang memberi ruang bagi keturunan Lacks untuk menyetujui penelitian HeLa di masa depan.

Dan ini menandai era baru penanganan materi genetik manusia.

Lepas dari itu, ada Henriettas lain di luar sana: individu yang informasi genetiknya digunakan tanpa persetujuan.

Bagaimapun juga, merekalah pahlawan sains sejati. Warisan terbesar Lacks adalah memberi mereka pandangan, bahwa kita diingatkan punya utang kepada mereka (yang informasi genetiknya diambil tanpa persetujuan itu).

(Artikel ini disadur dari Discovery Magazine berjudul "The Unsung Heroes of Science")