Find Us On Social Media :

Kisah Haru, Ketika Ibu dan Ayah Dijemput Terlalu Dini

By Moh Habib Asyhad, Senin, 12 Februari 2018 | 22:00 WIB

Takut sekali kami mendengar penjelasan dokter waktu itu. Haruskah kami kehilangan lagi orang yang kami cintai dan hormati? Tidak ada kehilangan yang lebih besar daripada itu. Tidak, kami tidak menginginkannya.

Tuhan, biarlah ayah diberi usia yang panjang, agar ia dapat melihat anak-anaknya menjadi sarjana, menikah dan ia akan bermain dengan cucu-cucunya.

Serangan pertama terjadi ketika saya berusia 17. Masih terbayang di benak saya, ketika itu ayah terbaring di rumah sakit dan ia memberi saya sebuah cincin yangrupanya telah disiapkannya sejak lama.

Saya hanya bisa menangis terharu saat itu. Saya sadar, bahwa ayah tidak dapat memberi kami kasih sayang seperti halnya seorang ibu. Hanya dengan memberi kami benda-benda mahal, ia bermaksud untuk menunjukkan kasihnya pada kami.

Dan serangan jantung yang berikutnya terjadi pada malam menjelang lebaran. Sungguh merupakan hal yang amat mengharukan. Di malam takbiran itu, kami semua berjaga malam di rumah sakit, walaupun hanya di luar karena ayah dimasukkan dalam ruang ICCU.

Keesokan harinya, satu persatu  kami bersujud di depannya, meminta ampun atas dosa-dosa yang kami buat. Aneh sekali rasanya berlebaran di rumah sakit, sementara orang lain saling kunjung mengunjungi dan bergembira.

Tetapi kamipun berusaha untuk menyembunyikan kesedihan kami, karena hanya akan menambah  penderitaan ayah.

Serangan-serangan berikutnya tidak lagi mengejutkan kami. Kami sudah terbiasa dan hanya dapat berdoa. Menginjak usia ketiga kematian ibu, kakak saya yang tertua berniat menikah.

Dan bertepatan dengan hari ulang tahun ayah, acara lamaranpun dilaksanakan, sambil sekaligus menentukan hari perkawinan.

Kami semua sudah bersiap-siap dan ribut menentukan siapa yang akan berdiri di sebelah ayah  pada saat upacara berlangsung. Tetapi segala rencana buyar, ayah mendapat serangan lagi dan ini untuk yang terakhir kalinya.

Hanya tiga tahun setelah kehilangan ibu, kini kami harus kehilangan satu-satunya orang tempat kami berlindung dan mengadu. Rencana perkawinan yang sedianya akan berlangsung dua bulan kemudian dibatalkan.

Sekali lagi kami mendapat pukulan hebat. Tetapi kami harus menghadapi kenyataan pahit ini. Dan atas persetujuan kami bersama, ayah dimakamkan satu liang dengan ibu.