Find Us On Social Media :

Kisah Haru, Ketika Ibu dan Ayah Dijemput Terlalu Dini

By Moh Habib Asyhad, Senin, 12 Februari 2018 | 22:00 WIB

Intisari-Online.com – Tidak jarang suatu keluarga kehilangan ayah atau ibu sebelum anak-anak bisa berdiri sendiri. Namun apa yang dialami Prihatin (nama samaran) agak lain.

Ibu dari ayahnya meninggal berturutan dalam jangka waktu yang relatif singkat. Mereka ditinggalkan sendiri bertujuh waktu mereka semua belum bisa berdiri sendiri.

Bagaimana mereka berhasil mengelola tunjangan, bagaimana mereka mantu sendiri dan membagi tugas! Cerita wanita muda ini (23) mungkin akan meninggalkan kesan khusus bagi kita semua.

Nasib, umur dan jodoh memang hanya Tuhanlah yangtahu. Kita tidak dapat mengetahui, kapan tibanya hari kematian kita; seperti juga kita tidak tahu siapa yang bakal menjadi jodoh kita.

Begitu pula halnya dengan nasib; tidak ada yang dapat mengatakan dengan tepat, bagaimana nasib kita besok atau sepuluh tahun mendatang.

Tidak pernah terpikir oleh saya, bahwa dalam usia yang masih bisa dikatakan muda, saya sudah harus menjadi yatim piatu. Betapa cepatnya Tuhan merubah nasib manusia, sampai terkadang saya berpikir bahwa Tuhan tidak adil dan nasib saya amat buruk.

Saya dilahirkan sebagai anak ke empat dari tujuh bersaudara. Keluarga kami sangat bahagia, setidak-tidaknya begitulah menurut penilaian saya. Persaudaraan kami sangat erat, karena memang hal tersebut sudah ditanamkan orang tua kami sejak kanak-kanak.

Tidak pernah ada rasa iri atau dengki di antara kami. Scmua merasa mendapat perhatian dan kasih sayang yang sama besarnya dari ibu dan ayah. Memang kadang-kadang timbul perselisihan di antara kami, yang akhirnya menjadikan persaudaraan kami tambah erat saja.

Mumpung ayah masih bisa membiayai sekolah

Masa kecil saya lalui dengan penuh kebahagiaan. Dengan jumlah anggota keluarga yang sudah lebih dari cukup (karena zaman dulu ibu tidak mengenal istilah Keluarga Berencana), maka tanpa harus bermain ke rumah tetangga, kami sudah dapat menyelenggarakan  permainan jenis apapun juga.

Hanya kadang-kadang sulit mengajak saudara laki-laki yang jumlahnya 5 orang untuk main pasar-pasaran. Sedangkan kakak wanita terlalu jauh perbedaan umurnya. Memang kami jarang bermain dengan tetangga. Bukan karena dilarang, tetapi kondisi kesehatan ibu kami tidak mengizinkan kami bermain terlalu lama di rumah orang lain.

Ibu menderita kelainan jantung yang sudah dideritanya sejak ia masih kanak-kanak. Tentu saja pada waktu itu ilmu kedokteran belum sehebat sekarang, jadi ibu tidak bisa disembuhkan.

Karena kelainan jantungnya itulah beliau sering sesak napas, wajahnya membiru. Dan kamipun akan bergantian mengurut punggung beliau, untuk sedikit mengurangi penderitaannya. Dengan penyakit yang dideritanya, ibu tidak mempunyai kegiatan di luar rumah.