Find Us On Social Media :

Waspada, Si Melankolis yang Sering Tampil Serius dan Terlihat Tekun Itu Berpotensi untuk Bunuh Diri

By Ade Sulaeman, Jumat, 29 Desember 2017 | 15:00 WIB

Intisari-Online.com – Anda termasuk orang yang melankolis? Secara teoritis orang dengan karakter ini cenderung mudah melakukan bunuh diri.

Kesulitan ekonomi, patah hati, penyakit yang tak kunjung sembuh, bahkan alasan yang tampak sepele pun bisa menjadi pendorongnya.

Selain rezeki dan jodoh, kata orang, urusan mati ada di tangan Tuhan.

Namun, bagi orang tertentu, kematian diri bisa ditentukan oleh dirinya sendiri. Bagusnya, tidak semua orang berani mencabut nyawanya sendiri.

(Baca juga: Kim Jong Hyun, Chester Bennington, dan Manusia-manusia Lain yang Kehilangan Harapan Buktikan Bahwa Penyakit Mental Tak Boleh Disepelekan)

Hanya orang tertentu dengan karakter dan alasan tertentu yang tidak gentar melakukannya.

Banyak situasi ditengarai dapat mendorong seseorang ke arah sana.

Di antaranya, sejarah keluarga yang pernah berusaha bunuh diri atau melakukan tindakan yang bisa membahayakan orang lain, mengalami kekerasan fisik atau seksual, kematian orang dekat atau anggota keluarga, perceraian, perpisahan atau putusnya suatu hubungan, tidak tercapainya prestasi akademis, kehilangan pekerjaan atau masalah dalam pekerjaan, mendapatkan hukuman penjara, dan lainnya.

Jelas sekali, tindakan tragis itu dipilih sebagai jalan keluar dari masalah yang sedang dihadapi.

Menurut versi beefrienders.org, sebuah situs di internet yang menangani kasus bunuh diri, ada  beberapa ciri yang tampak pada calon pelaku.

Misalnya, mereka sering menyatakan keinginannya untuk bunuh diri secara tersamar seperti  mengatakan, "Saya tidak sanggup lagi menghadapi semua ini."

Perubahan cukup hebat terjadi pada perilakunya. Misalnya, sering menangis, murung, bertengkar, melanggar hukum, impulsif, menganiaya diri-sendiri, membuat tulisan tentang kematian atau bunuh diri.

Kondisi fisiknya pun mengalami perubahan mencolok.

(Baca juga: Kisah Pilu Marina Chapman: Dibuang ke Hutan, Dirawat Kera, Lalu Dijadikan Budak Seks)

Di antaranya berupa hilang energi, gangguan tidur (kurang tidur atau tidur berlebihan), hilang selera makan, berat badan turun drastis, meningkatnya gangguan kesehatan, minat seksual berubah, dan kurang peduli pada penampilan.

Tak kalah menarik, terjadi perubahan pada cara berpikir dan rasa.

Misalnya, merasa kesepian (kehilangan dukungan teman-teman dan keluarga), merasa ditolak (dianggap sebagai orang di luar kelompok), sedih atau rasa bersalah mendalam, kurang dapat memusatkan perhatian pada masalah yang dihadapi, melamun, cemas dan tegang, merasa tidak berdaya, dan kehilangan harga diri.

Pada saat inilah calon pelaku sering bimbang, benarkah ia ingin melakukannya.

Ada masa di mana orang yang sedang depresi merasa lebih bahagia. Jangan terkecoh dengan beranggapan bahwa masa krisis ancaman bunuh diri sudah lewat.

Saat itu ada dua kemungkinan yang bisa terjadi.

Pertama, si calon pelaku justru merasa lega karena telah membuat keputusan untuk segera melakukan niat bunuh diri. Atau, ia kehabisan energi karena depresi hebat.

Begitu segar kembali, ia akan segera melakukan niatnya.

Bagaimana kalau usaha pertamanya gagal? Sebagian besar ada yang berupaya lebih keras untuk melakukannya.

Namun, ada juga yang berusaha mencari bantuan agar bebas dari keinginan menjadi malaikat pencabut nyawanya sendiri.

Pribadi si melankolis

Lalu, siapakah orang tertentu yang punya kecenderungan melakukan perbuatan mendahului kehendak Sang Pemberi Hidup itu?

Immanuel Kant (1724 - 1804), filsuf dari Inggris, membagi kepribadian manusia menurut temperamennya.

Kelompok temperamen sanguinis dan melankolis yang didominasi perasaan, serta temperamen koleris dan flegmatis yang didominasi kegiatan.

Dari keempat golongan itu, kelompok melankolis ternyata memiliki kecenderungan besar dalam urusan mencabut nyawa sendiri itu.

Lewat bukunya Personality Plus (1992), Florence Littauer lebih jauh menguraikan, seperti apa sih karakter orang bertemperamen melankolis, sampai bisa-bisanya ingin berbuat "tak senonoh" macam itu.

Dikatakan Littauer, orang melankolis cenderung tampil serius dan tekun, berpikir secara mendalam, dan penuh pertimbangan.

la memiliki jiwa artistik dan musikal, perasa, dan suka berkorban. Dalam bekerja ia menetapkan standar tinggi, dan ingin segala sesuatu dilakukan dengan benar.

Sudah begitu ia bersedia mengorbankan keinginan sendiri untuk hal-hal yang sedang dihadapi, gigih, cermat, tertib, dan terorganisasi.

Ia hati-hati dalam berteman, dan berusaha mencari teman hidup ideal. Sifatnya tertutup, analitis, dan pesimistis.

Bandingkan dengan ketiga kelompok lainnya. Orang dengan temperamen sanguinis tampil sebagai pribadi yang hangat, lincah, dan suka dengan kegembiraan.

Ramah dan senang saat bersama teman-temannya. Selalu optimistis dan suka menolong.

Kepribadiannya terbuka dan senang bicara. Ingat Tika Panggabean dari kelompok penghibur P-Project? Mungkin dia masuk tipe ini.

Lalu, orang koleris bersikap dinamis dan aktif. Yakin pada diri-sendiri dan tidak terlalu membutuhkan orang lain dalam hidup.

Ia unggul dalam keadaan darurat, dan tidak mudah patah semangat, karena sifatnya yang sangat terbuka dan optimistis.

Berusaha memperbaiki kesalahan, tidak emosional dalam bertindak, tidak mudah patah semangat, dan sering tampil sebagai pemimpin di lingkungannya.

Para pemimpin dunia banyak yang mewakili karakter ini, salah satunya Fidel Castro, pemimpin Kuba.

Sementara orang flegmatis cenderung tampil sebagai orang yang mudah bergaul dan santai. Ia kalem dan tenang, sabar, konsisten, serta mampu menyembunyikan emosinya.

Sifatnya yang cinta damai membuatnya berusaha untuk menghindari konflik, serta mencari cara termudah untuk menyelesaikan masalah.

Presenter dan penyanyi Dik Doank mungkin masuk tipe ini.

Mudahnya depresi

Lalu di manakah persisnya titik lemah si melankolis?

Orang bertemperamen melankolis ternyata paling mudah mengalami depresi. Memang, penderita depresi tidak selalu ingin bunuh diri, tetapi desakan untuk itu senantiasa didahului oleh gangguan depresi.

Sifatnya yang tertutup membuat si melankolis sulit mengutarakan rasa kecewanya kepada lingkungannya.

Kepada teman, kerabat, atau siapa pun. Sebab, pada dasarnya ia tidak sembarangan dalam membina hubungan dengan orang lain.

Selain tidak  mudah mendapat kenalan baru, ia pun tidak mudah percaya pada orang lain. Akibatnya, ia mengalami depresi.

Bandingkan dengan orang sanguinis yang terbuka dan biasanya dapat mengatasi masalah dengan "curhat" pada teman-temannya.

Begitu  pula dengan orang koleris yang mampu mengatasi masalahnya dengan berusaha melakukan hal yang lebih baik.

Selain itu kemampuan analitis si melankolis yang di atas rata-rata membuat dia cenderung membesar-besarkan masalah.

Akibatnya, ia memperkirakan masalah yang dihadapi selalu lebih besar daripada kenyataannya.

Kemampuan analitisnya itu juga membantunya mengolah hal-hal negatif dalam pikirannya menjadi bermuara pada dirinya (self blaming).

la cenderung menyalahkan diri-sendiri karena tidak dapat memenuhi tuntutannya yang sedemikian tinggi.

Ketika sedang mengalami kegagalan, pada umumnya orang akan cenderung menyalahkan diri-sendiri (self blaming).

Menurut Kristi Poerwandari, psikolog klinis dari Universitas Indonesia, Jakarta, self blaming dapat berkembang menjadi suara-suara yang berulang kali menyuruh dirinya untuk bunuh diri.

"Kalau tidak mampu menguasai diri, ia akan bunuh diri," kata Kristi menceritakan pengalamannya menghadapi pasien yang mengalami depresi hebat sehingga nyaris bunuh diri.

Tim La Haye, pemerhati masalah temperamen, dalam buku Spirit Controlled Temperament (1992), menyebut orang melankolis memiliki sifat yang berpusat pada diri sendiri.

Nah, si melankolis mudah mengalami depresi karena ia memiliki sifat itu.

Pandangan pesimistis terhadap kehidupan membuat dia takut mengambil keputusan. Ia tidak ingin disalahkan, tetapi di sisi lain sering menyimpan kesalahan.

Hal itu akhirnya mempengaruhinya dalam membuat keputusan. Akibatnya, ia sering mengambil keputusan berdasarkan prasangka. Prasangka yang terakumulasi juga membuatnya mudah terkena depresi.

"Depresi yang begitu dalam membuatnya gelap mata. Ia pun 'terbujuk' mengikuti suara dari dalam dirinya, yang mendorongnya untuk bunuh diri," kata Kristi.

Biasanya, seorang pelaku bunuh diri berada dalam keadaan sangat tertekan. Langkah bunuh diri bisa saja dia lakukan karena terpicu oleh suatu konflik - bahkan yang sepele sekalipun.

Artinya, depresi itu sebenarnya sudah cukup lama membelitnya.

Gara-gara tersinggung ketika istri minta uang belanja, seorang mantan karyawan diskotek bunuh diri.

Masalah yang sebenarnya bukan karena dimintai uang belanja, melainkan karena ia sudah sekian lama mengidap depresi karena menganggur.

Orang yang sedang mengalami depresi membutuhkan empati dan dukungan emosional. Karena itu memintanya untuk mengungkapkan perasaannya merupakan langkah awal proses penyembuhan.

Konseling yang tepat diharapkan dapat membuka pikirannya agar dapat segera mengatasi masalahnya. Ia juga bisa belajar mencintai hidup dan merasa lebih dihargai.

"Orang melakukan bunuh diri karena ia sedang tidak sadar bahwa ia berharga dan masih memiliki Tuhan dalam hidupnya," kata Kristi tentang persoalan kompleks ini.

(Ditulis oleh Yeni D.S. Siagian. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Juni 2003)

(Baca juga: Pengakuan Mengejutkan Seorang Pria yang Berpacaran dengan Bintang Film Porno Amerika)