Find Us On Social Media :

Kisah ‘James Bond-nya CIA’: Saat Kepala Seorang Teroris Ingin Dibarter dengan Informasi Negara

By Ade Sulaeman, Jumat, 24 November 2017 | 13:30 WIB

Intisari-Online.com - Julukan tersebut diberikan kepada Duane R. Clarridge atas sepak terjang, prestasi, dan kepiawaiannya sebagai perwira CIA memimpin berbagai operasi intelijen di seluruh dunia. Dari Kathmandu ke Kuwait, Baghdad sampai Managua, atau saat bermain mata dengan KGB dan tersandung Skandal Iran-Contra.

Benar tidaknya julukan itu terjawab dalam buku A Spy of All Seasons, yang ditulisnya setelah 33 tahun bertugas di Badan Intelijen Pusat AS tersebut.

--

(Baca juga: Menguak Misteri Sekolah Intelijen, Tempat Para Calon ‘James Bond’ Indonesia Ditempa Secara Rahasia)

Lelaki tampan dan ramah ini adalah perwira intelijen tertinggi Amerika Serikat yang secara  langsung terlibat dalam berbagai operasi rahasia di seluruh dunia. Kariernya dimulai ketika Central Intelligence Agency (CIA) bertandang ke Columbia, guna merekrut calon anggota korps intelijen internasional yang baru saja dibentuk.

Bagi Dewey begitu panggilan akrab Duane Ramsdell Clarridge (65), kesempatan itu merupakan tantangan yang menjanjikan berbagai petualangan menarik serta bisa  menerapkan pengetahuan yang dipelajari di bangku kuliah.

Ibarat kail mendapatkan ikan, apa yang diminati Dewey klop dengan yang diinginkan CIA. Kecocokan itulah yang kemudian diterjemahkan Dewey selama 33, tahun malang melintang sebagai agen CIA yang andal dalam mencuri informasi rahasia, menyulut peperangan, mendukung kekuatan-kekuatan demokrasi, memerangi aksi terorisme, menyelamatkan nyawa, dan mempengaruhi langkah kebijakan luar negeri AS.

Peran yang dimainkannya dalam setiap operasi intelijen amat beragam. la pernah menyusup ke Irak secara rahasia untuk membujuk Presiden Saddam Hussein menyerahkan seorang teroris buruannya, meski kemudian gagal.

Tergambar pula kepiawaian, ketekunan, dan kesabarannya ketika merekrut seorang agen dari negara Eropa Timur menjadi informan CIA. Sampai pada akhirnya dengan penuh tanggung jawab Dewey menghadapi kenyataan pahit, diadili atas tuduhan terlibat dalam Skandal Iran-Contra.

Panggilan hidup

Bisa jadi karena pengaruh kehidupan intelektual kedua orangtua saya yang dokter gigi, Duane Herbert Clarridge dan Alice Scott Ramsdell, sejak kecil  saya sudah tertarik pada masalah-masalah politik.

Lahir pada tanggal 16 April 1932 di Nashua, New Hampshire, masa remajaku berjalan cukup, menyenangkan. Masa itu perang dingin antara AS dengan Uni Sovyet dan negara-negara komunis sudah cukup menarik perhatian kaum muda.

Itulah sebabnya, selain mengambil kursus bahasa dan sejarah Uni Sovyet dan Asia Tengah, selepas SMTA saya mendaftarkan diri pada tiga perguruan tinggi sekaligus. Yakni John Hopkins School of Advanced International Studies, Schools of International Affairs Columbia, dan Russian Institute.

(Baca juga: Nekat! Minim Data Intelijen, Pasukan Kostrad Ini Tetap Berani Terjun di Belantara Papua saat Operasi Trikora)

Dua pilihan pertama diterima, tapi saya gagal di Russian Institute. Akhirnya, pilihan jatuh pada Schools of International Affdirs Columbia, Washington.

Pada bulan Februari 1954 datanglah orang-orang dari  ClA ke Columbia untuk merekrut calon pegawai. Saat itu nama CIA belum begitu dikenal orang lantaran masih baru. Proses perekrutannya pun belum begitu rumit seperti sekarang.

Mereka datang ke universitas-universitas, mewawancarai para dosen dan profesor, apakah ada mahasiswanya yang cocok untuk mereka ambil.

Karena hasil studi tahun pertama dinilai bagus, akhirnya saya diterima masuk di Institute Rusian. Berbareng dengan itu saya mulai menjalin hubungan serius dengan Maggie. Akhirnya pada akhir studi di Russian Institute, saya menikahi Maggie di Columbus, Indiana, 2 April 1955.

Nah, barangkali tinta yang tertulis di ijazah MA saya belum lagi kering datanglah panggilan dari CIA pada bulan Mei 1955.

Ketika itu markas besar CIA di Langley belum selesai dibangun. Beberapa kantornya masih tersebar di beberapa tempat. Setelah melapor ke sebuah gedung kayu yang terletak di Jl. Ohio Drive sepanjang Potomac, Washington, tak begitu jauh dari Lincoln Memorial Reflecting Pool, saya mengikuti orientasi pendahuluan bersama dengan calon pegawai lainnya.

Pada awalnya lembaga ini hanya memiliki dua direktorat utama, yakni Direktorat Operasi (DO) dan Direktorat Intelijen (DI).

(Baca juga: Meski Sama-sama Badan Intelijen AS, Nyatanya CIA Bisa Lebih Brutal dan Menghalalkan Segala Cara Dibanding FBI)

Direktorat Operasi yang juga sering disebut Clandestine Services bertugas mengumpulkan data intelijen umum yang biasanya digali dari sumber-sumber manusia; mencari sasaran  kontra intelijen; dan melakukan operasi rahasia baik politis maupun militer untuk melindungi kepentingan AS di luar negeri.

Pada saat saya bertugas, yang dipandang sebagai ancaman kepentingan AS adalah pengaruh komunis Sovyet dan Cina serta negara-negara bonekanya.

Sebaliknya, Direktorat Intelijen mencari dan mengumpulkan informasi dari berbagai macam sumber (termasuk dari Direktorat Operasi) untuk diolah dan dianalisis.

Dari situ kemudian membuat penilaian dan kesimpulan mengenai trend politik, ekonomi, dan militer dunia. Evaluasi ini diberikan kepada presiden AS dan para pembuat keputusan, sehingga langkah atau kebijakan politik yang mereka putuskan benar-benar berdasarkan informasi lengkap.

Sebenarnya, keputusan ke bagian mana kita akan ditugaskan sudah dibuat berdasarkan hasil tes pendahuluan, latar belakang akademis, dan minat kita.

Buktinya, tanpa diajak rembukan sebelumnya, tahu-tahu saya harus masuk ke Clandestine Services atau Direktorat  Operasi. Sebulan setelah itu saya menjalani serangkaian tes uji kebohongan sebagai tahap akhir perekrutan.

Kandidat yang sebelumnya sudah memiliki gelar sarjana muda di lembaga ini diberi peringkat GS-5 (setingkat dengari letnan dua dalam militer); seorang master dihargai sebagai GS-7 dan seorang yang bergelar Ph.D peringkatnya GS-9. Tingkat yang lebih tinggi lagi setelah itu adalah GS-11, dan seterusnya.

Selama minggu-minggu orientasi, sebagian besar waktu kami dijejali dengan serangkaian pelajaran mengenai sejarah dan profil beberapa negara tertentu. Informasi itu diberikan oleh Direktordt Intelijen.

Terkadang kami diberi tugas kecil atau simulasi. Juga diajari bagaimana melakukan brifing intelijen dan yang sederhana sampai rumit. CIA kemudian memilah-milah kami untuk penugasan sesusi dengan keahlian akademis kami masing-masing.

Lantaran belum menjalani wajib militer, tahun 1950-an CIA  memberi pilihan kepada kami para calon anggotanya, menjalani wajib-militer di Angkatan Darat atau Angkatan Udara. Sesuai dengan peraturan yang ada, program di AU  dirasa lebih gampang.

Setelah menjalani latihan dasar, yang bersangkutan  masuk ke sekolah calon perwira (officer candidates school = OCS) dan berdinas di AU  selama 2 tahuh sebelum kemudian kembali bergabung ke CIA.

 Sementara itu program AD nampaknya lebih keras, namun seseorang hanya menjalani penugasan di pasukan selama 6 bulan setelah itu kembali ke  CIA, sekalipun Anda masih tercatat sebagai anggota pasukan sampai akhirnya menyelesaikan 2 tahun wajib militer.

Dari angkatan saya ada empat orang yang memilih wajib militer di  angkatan darat. Salah satu di antaranya adalah  John  Stein, seorang sarjana lulusan Yale, asal Rhode Island. Ia merupakan atlet olahraga dan pribadi yang menyenangkan.

Selama orientasi kami cepat menjadi akrab dan menjalin persahabatan erat. Untunglah, saya dari Stein ditempatkan di unit pelatihan yang sama, sebuah batalion artileri Airbone Division 101 yang terkenal itu.

Komandan kami seorang tentara senior agak curiga begitu melihat kami berdua. Penampilan kami yang amat berbeda dengan prajurit-prajurit yang lain barangkali menimbulkan dugaan bahwa kami ini spion yang diselundupkan di dalam tentara.

Maklum, tampang, dan kelakuan kami yang berpendidikan universitas nyatanya terlihat mencolok di antara anggota lain yang rata-rata hanya sekolah menengah dan berasal dari Selatan.

Untunglah tak seorang pun di antara-anggota batalion ini yang mengetahui hubungan saya dengan CIA. Apalagi setelah itu kami "dibuat" sama. Rambut potong pendek dan seragam  militer yang serba hijau.

Kami tidur di bawah tenda besar yang berkapasitas 20 orang. Air panas untuk keperluan mandi harus kami buat sendiri dengan tungku berbahan batu bara.

Dua belas jam di Baghdad

Hari itu di musim semi tahun 1986 saya berada di perut sebuah jet eksekutif yang melintas di atas daratan Timur Tengah. Di bawah terbentang jalur pipa minyak Trans-Arab yang menembus Arab Saudi, Yordania sampai Libanon. Jet kecil ini hanya berisi tiga penumpang.

Selain pilot, tak ada orang lain kecuali mitra tugas saya, perwira CIA bernama samaran Wallace L. Goodspeed. Sudah menjadi kebijakan, demi keamanan, semua perwira yang bertugas ke luar negeri harus memakai nama samaran, tak terkecuali saya dengan nama Dax P. LeBaron.

Setelah penerbangan berlangsung 35 menit, pilot mengarahkan pesawat menuju ke Baghdad. Saat itu Perang Iran – Irak masih berlangsung sengit. Nah, lantaran khawatir kalau pihak Irak akan kalah, secara sembunyi-sembunyi AS membantu Irak dengan memberi dukungan jasa intelijen perang.

Sebagai balasannya, Irak berjanji menghentikan kegiatan terorisme di seluruh dunia dan memberi informasi kepada AS tentang kegiatan para teroris. 

Selama ini AS sudah memberikan jasa serta dukungan intelijen untuk meningkatkan kinerja tentara Irak terutama dalam  pertempuran udara melawan Iran. Tapi nyatanya Baghdad tidak memenuhi kewajibannya dalam membantu AS.

Kamis, 17 Oktober 1985, kelompok teroris Palestina pimpinan Abu Abbas membajak sebuah kapal pesiar Italia, Achille Lauro berpenumpang 454 orang, yang sedang dalam pelayaran dari Alexandria ke Port Said.

Mereka membunuh seorang warga AS penumpang kapal tersebut yang cacat di kursi roda,  Leon Klinghoffer dan melemparkannya ke laut. Pada akhirnya, kapal tersebut ke Mesir. AS meminta pihak Mesir menyerahkan para pembajak termasuk  Abu Abbas.

Para teroris kemudidn terbang ke Tunisia. Letkol Oliver North beserta timnya dari Badan Keamanan Nasional AS tetap berupaya menangkap Abu Abbas dan kelompoknya.

Caranya, mengirim pesawat tempur dari gugus tugas AL Armada ke-6 yang berlokasi di Laut Tengah dan memaksa pesawat Egyptair yang ditumpangi Abbas mendarat di bandara milik NATO di Sisilia, Italia.

Celakanya, pemerintah Italia pun tidak mau menahan Abbas. Malah kemudian memerintahkan pesawat itu ke Belgrade, Yugoslavia,, untuk selanjutnya menuju Baghdad.

Nah, tindakan Saddam Hussein melindungi Abbas inilah yang dianggap  AS melanggar  persetujuan kerja sama timbal balik antarkedua negara.  Selain itu Baghdad diduga masih meriyimpan teroris lain semisal Abu Ibra yang dikenal sebagai pembuat bom yang andal.

Barangkqai Irak masih memerlukan Abu Ibra untuk melakukan teror balas dendam terhadap negara-negara yang  memeranginya semisal Iran dan Suriah.

Sebagai periwira operasional bagian counter-terrorism; saya diberi tugas Washington membujuk Baghdad untuk bekerja sama memerangi tindak terorisme. Kongkretnya, meminta Abu Abbas untuk diadili.

Rupanya rencana yang telah disusun tidak berjalan mulus: Untuk mendapat kepastian apakah bisa bertemu dengan Saddam Hussein saja kami harus menunggu selama seminggu, sebelum akhirnya mendapat lampu hijau untuk segera berangkat ke Baghdad.

Pukul 12.30 kami mendarat di bandara Kota Baghdad,  bukan di bandara internasional yang berada jauh di luar kota. Seorang lelaki berusia sekitar 40 tahun berperawakan tinggi besar berwajah keras, menyambut kami dengan berkecak pinggang.

Dr. Fadil Barak, kepala Direktorat IntelijenUmum Irak (DGI). Tubuhnya dibalut seragam hijau khaki yang menjadi warna resmi Partai Baath, lengkap dengan sepucuk pistol di pinggang.

Barak adalah doktor lulusan Universitas Patrick Lumumba, Moskwa, dan seperti layaknya para pejabat tinggi Irak, ia masih sanak familinya Saddam Hussein. Kami tidak menuju markas besar DGI, melainkan dibawa ke sebuah vila tamu VIP yang berada di sebuah bangunan tertutup dikelilingi tembok di luar Kota Baghdad.

Maklum, selama peperangan markas  besar DGI merupakan sasaran rudal-rudal Scud yang ditembakkan Iran.

Meskipun besok malam pukul 24.30 kami sudah harus keluar dari Baghdad untuk melanjutkan penerbangan dengan Air France ke Paris, Barak menyediakan fasilitas  layaknya kami akan tinggal  lama: Kamar tidur mewah, dengan tempat tidur super king-size dan bak mandi bertatahkan perhiasan yang mampu menampung tiga orang.

Tentu saya tidak naif berharap Saddam Hussein begitu saja mau melepaskan Abu Abbas. Kami sudah menyiapkan beberapa rencana alternatif untuk melakukan tugas ini. Antara lain, menangkap Abbas tanpa menimbulkan implikasi bagi pemerintah Irak meski menuntut kerja sama rahasia dengan  Baghdad.

Yakni agar Irak mengusahakan sebuah pesawat Irak yang diterbangkan ke Yaman dengan Abu Abbas di dalamnya. Yaman adalah salah satu di antara sedikit tempat yang masih terbuka bagi Abu Abbas.

Kalau itu pun gagal, kami masih menyiapkdn pilihan cara lain sambil mengharap pemerintah Baghdad, menawarkan jalan keluar yang lebih baik.

Mendengar penuturan rencana kami, Barak terlihat kaget. Barangkali ia menganggap kami gila, berani mengajukan permintaan tersebut.

Jelas, ia tak habis mengerti mengapa hanya untuk seorang nyawa warga AS ia harus menyerahkan Abu Abbas, sementara setiap hari ia menyaksikan mayat bergelimpangan sebagai korban pertikaian Irak - Iran, belum lagi operasi "pembersihan" oleh rezim Saddam Hussein atas lawan politiknya di dalam negerinya.

Sebaliknya, Barak justru menuduh kami tidak memberi dukungan intelijen yang mencukupi pada tentara Irak. Memang saat itu posisi tentara Irak di Semenanjung Al Faw terdesak. Padahal bila Iran berhasil memenangkan perang di Al Faw, mereka akan merambah Basra dan akhirnya membahayakan rezim Irak.

Barak mengeluh mengapa AS tak memberi dukurigan  intelijen pada front ini terutama ketidakberdayaan armada udara Irak menggempur fasilitas minyak dan sasaran militer Iran.

Padahal bukan di situ masalahnya. Justru para pejabat militer Irak sendiri yang tidak tahu bagaimana cara menggunakan data intelijen tersebut dalam penugasannya kepada pilot tempur yang  membutuhkannya.

Apalagi, lantaran takut akan rudal pertahanan pihak Iran, para pilot Irak tak berani terbang di bawah 40.000 kaki untuk menjatuhkan bom dan roket. Terang saja, tembakan mereka tidak  akurat.

Toh, kenyataan itu tak bisa mereka terima apdlagi para pejabat tinggi militer Irak tidak bisa  mengecek di lapangan.  Terpaksa, Goodspeed menjelaskan panjang lebar kepada para analis intelijen Irak.

Meskipun sebagai kepala dinas intelijen Irak, saya tahu kata akhir persetujuan atas nasib Abu Abbas bukan hanya di tangan Barak. Saddam Hussein yang akan memutuskan, dengan  atau tanpa persetujuan Barak.

Ketika saya mendesak agar ia segera mengatur waktu pertemuan dengan Saddam, Barak malah acuh tak acuh. Sementara kami makan siang, Barak bercakap-cakap di telepon. Rupanya, mereka mengulur-ulur waktu saja.

Barangkali ini karena diawal kedatangan kami sudah melakukan “kesalahan”,  yakni mengatakah bahwa kami hanya singgah di sini selama 12 jam, Dengan demikian mereka tinggal menunggu habisnya waktu.

Benar saja, ketika saya katakan kami bisa tinggal di sini lebih lama lagi sampai tujuan kami tercapai, nampaknya mereka mulai berpikir untuk melakukan sesuatu.

"Sesuatu" yang dimaksud, kami harus menemui juru bicara pemerintah Irak, yakni Menlu Tariq Aziz di kantornya. Bangunan kementerian luar negeri itu amat megah, dengan atapnya yang rendah dan perabotan mewah.

Barangkali karena masih dalam suasana perang lampu di semua ruangan redup. Tepat pukul 21.00 Tariq Aziz yang berperawakan pendek gemuk itu menyambut kami. Asing rasanya melihat seorang menlu, berseragam militer dengan pistol di pinggang.

Tak jauh berbeda dengan yang kami hadapi sebelumnya, pertemuan kami dengan Aziz tidak mendatangkan manfaat, kecuali hanya saling melontarkan gagasan. Menurut Aziz, permintaan kami tidak mungkin dapat dipenuhi.

Ia meyakinkan kami bahwa  pernyataannya itu sudah sepengetahuan Saddam Hussein, meski kalau mau kami bisa bertemu Saddam Hussein. Tahu bahwa ini sekadar basa-basi kami akhirnya memutuskan pulang saja. Saat itu jam menunjukkan pk. 22.00.

Begitu kembali ke vila, Barak masih mendesak kami tentang dukungan intelijen dari AS. Ketika kami tanyakan lagi kapan bisa ketemu Saddam Hussein mengingat waktu kami sudah hampir habis, Barak lalu menelepon seseorang.

Setelah itu ia mengatakan bahwa Presiden Saddam Hussein ternyata tidak bisa menemui kami  karena harus menghadiri  acara di Al Faw.

Kami akan segera ke bandara, tapi bahkan setelah makan malam, Barak masih menahan keberangkatan kami. Penundaan demi penundaan ini justru memusingkan kami berdua. Sejumlah pertanyaan berkecamuk dalam benak.

Benarkah Saddam Hussein masih mempertimbangkan untuk menerima kami? Atau bisa jadi ini semua hanya provokasi Barak.

Kini sudah. pukul 24.00. Kami masih berada di vila. Apa lagi yang harus dirunggu? Ketika telepon berdering Barak terlibat percakapan cukup lama dengan suara di seberang. Rupanya itulah jawaban, kami sudah boleh meninggalkan negeri ini. Pupus sudah harapan kami untuk bisa ketemu Saddam.

Sebuah sedan Mercedes datang. Barak membuka pintu dan ternyata ia sendiri yang mengantar kami ke bandara. Saya duduk di kursi depan sementara Goodspeed di belakang. Tak pernah saya melihat orang mengemudikan mobil sekencang ini.

Ibaratriya roket darat, mobil ini berlari 200 km lebih/jam. Dalam hati saya marah-marah ternyata Irak tidak bisa dipercaya. Mengapa AS mau memberi dukungan kepada negeri ini sementara Baghdad tetap saja melindungi para penjahat. Saya amat kecewa dengan kegagalan misi ini.

"Katakan pada Abu Abbas, saya mencarinya. Begitu saya dapatkan akan saya bunuh!" Begitu teriak saya keras-keras kepada Barak di tengah deru mobil. Padahal dalam tugas kami dilarang melakukan tindak pembunuhan. Mendengar omelan saya, ternyata Barak cuma tersenyum. 

Kami sudah terlambat satu setengah jam dari jadwal penerbangan Air France, ketika  tiba di bandara. Anehnya, pesawat tersebut terlihat masih nongkrong di situ. Ternyata sebuah panser tentara Irak diparkir melintang di depan hidung pesawat.

Akhirnya, kami dilepas setelah sebelumnya diberi oleh-oleh bingkisan, masing-masing satu kotak kurma yang terbungkus rapi. Sekali lagi, dengan wajah tanpa ekspresi Barak mengantarkami ke pintu masuk pesawat dan mengucapkan selamat jalan.

Meski lega, pandangan mata sinis dan sambutan tak ramah dari para penumpang Air France yang sudah menunggu cukup lama membuat kami merasa kecut.

(Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi September 1997)