Advertorial
Intisari-Online.com – Konon kabarnya, dunia intelijen itu serba rahasia.
Di dalam kerahasiaan tinggi itu pula para calon anggota tim “James Bond” Indonesia ini menjalani pendidikannya.
Intelektualitas lebih utama.
---
(Baca juga: Meski Sama-sama Badan Intelijen AS, Nyatanya CIA Bisa Lebih Brutal dan Menghalalkan Segala Cara Dibanding FBI)
Pada zaman ini, mencari alamat sebuah sekolah atau institusi pendidikan bukanlah perkara sulit.
Cukup buka buku telepon atau menjelajah di internet. Cling! Semua informasi bisa didapat.
Lain ceritanya kalau yang dicari adalah sekolah calon agen rahasia. Tak ada nomor telepon, demikian juga alamat.
Begitu berhasil mendapat nomor kontak, mencari lokasi sekolah tersebut menjadi pekerjaan berikutnya.
Di lokasi, petunjuknya pun hanya sebuah gapura besar bertuliskan “Selamat Datang” di tepi jalan di daerah Sentul Selatan, Bogor, Jawa Barat.
Gapura yang menjadi jalan masuk tersebut dibatasi oleh hutan kecil di sebelah kiri dan tembok memanjang setinggi dua meter di sebelah kanannya.
Tembok tersebut mengarah ke sebuah gerbang. Lagi-lagi tanpa petunjuk apa pun.
(Baca juga: Bagaimana Para Intelijen China Beraksi di Amerika? Miliarder Ini Membocorkannya untuk Anda)
Hanya ada beberapa CCTV dan sebuah pos pengamanan yang dijaga oleh dua orang berseragam militer.
Setiap tamu yang berkunjung ke sana, kedua penjaga tersebut tanpa basa-basi langsung meminta ponsel dan kamera untuk disimpan di pos pengamanan.
Di balik gerbang tampak beberapa bangunan berdiri tidak beraturan sesuai kontur tanah.
Sebuah logo, dengan gambar garuda di bagian tengahnya, terlihat di salah satu gedung.
Di sekeliling logo tersebut terdapat tulisan: Sekolah Tinggi Intelijen Indonesia (STIN).
Seolah menjadi petunjuk bahwa bangunan tersebut merupakan tempat para agen rahasia Indonesia dididik.
Prediksi masa depan
Didirikan pada 2004 oleh Badan Intelijen Negara (BIN) yang saat itu dikepalai oleh A.M. Hendropriyono, STIN diharapkan mampu menjadi pemasok SDM bagi BIN.
Khususnya untuk menjadi penerus para agen rahasia Indonesia pada 10-15 tahun mendatang.
(Baca juga: Lembaga Intelijen di Indonesia: Sejarah, Hubungan dengan CIA, dan Perang Ideologi Komunis)
Sebenarnya BIN juga merekrut para lulusan perguruan tinggi atau orang-orang dari instansi-instansi tertentu, contoh militer.
Namun, menurut Ketua STIN, Tri Yoga Susilo, secara kuantitas jumlahnya tidak bisa memenuhi kebutuhan SDM.
Selain itu standarnya juga berbeda dengan STIN.
“Misalnya, keseimbangan antara kemampuan inteligensia dan fisik,” ujar Tri Yoga.
Dulu intelijen Indonesia hanya membutuhkan individu yang kuat, mampu membuntuti orang, dan bisa bertahan dalam segala macam kondisi.
“Sekarang kita butuh intelijen yang juga mampu menganalisa dan memprediksi yang akan terjadi pada masa mendatang. Ini sesuai dengan slogan kita, yaitu Cendikia Waskita,” tambah Wahyudi Adisiswanto, Pembantu Ketua III STIN.
(Baca juga: Punya Banyak Peran Besar dalam Perang, Intelijen Militer (Seharusnya) Juga Mampu Cegah Serangan Teroris)
Pistol sampai karatan
Lama belajar di STIN empat tahun. Dalam kurun itu, para calon agen rahasia akan melahap dua jenis pelajaran, yaitu pelajaran yang umum diterima di perguruan-perguruan tinggi seperti ilmu ekonomi, sosial, politik, hukum, dan sejarah (diberikan pengajar dari luar STIN) serta muatan lokal (diberikan pengajar dari dalam STIN).
“Tentunya ini bukan muatan lokal biasa. Ini muatan lokalnya kita, ya, ilmu keintelijenan,” kata Wahyudi, Pembantu Ketua I STIN.
Penguasaan bahasa asing yang cas cis cus, menjadi syarat mutlak.
Mahasiswa STIN wajib menguasai satu bahasa asing, selain bahasa Inggris.
Pilihannya bahasa Arab, Mandarin, Jepang, atau Prancis.
Semua harus dipilih sejak awal perkuliahan.
Mahasiswa juga dilatih fisiknya, meski tidak setiap saat dilakukan.
Sebelum berkuliah di STIN, mereka sudah dilatih terlebih dahulu di Pusat Pendidikan Pasukan Khusus (Pusdikpassus), Batujajar, Jawa Barat, selama sebulan.
Ada pula bekal kemampuan bela diri, karate dan pencak silat.
“Fokusnya bukan untuk menyerang, tapi untuk menghindar,” tegas Adisiswanto.
Hal yang sama juga diterapkan dalam penggunaan senjata api.
Mereka hanya belajar menggunakan senjata di lapangan tembak milik STIN.
“Dalam praktiknya, kita jarang menggunakan senjata api dan lebih memilih menyimpannya di rumah. Bahkan pistol saya saja sampai karatan,” Adisiswanto bercerita.
Pria mendominasi
Dalam proses kuliah, keseimbangan antara teori dan praktik dijaga betul.
Terdapat dua jenis praktik.
Pertama praktik kering berupa simulasi dengan sasaran semu, misalnya mewawancarai teman sendiri.
Kedua, praktik basah berupa terjun langsung ke lapangan.
Saat praktik inilah keahlian mereka sebagai intelijen benar-benar diasah.
“Ketika operasi buka-buka buku dulu, ‘kan tidak mungkin,” papar Tri Yoga.
Setiap hari jadwal perkuliahan berlangsung pada pukul 08.00– 16.00, sedangkan Sabtu hanya
setengah hari.
“Jenuh juga ‘kan kalau setiap hari di gunung,” jelas Wahyudi.
Karena akses dari STIN ke pusat kota terdekat cukup sulit, maka para mahasiswa yang ingin berlibur akan diantar dengan kendaraan milik STIN.
Selain gedung kuliah, gedung administrasi, lapangan olahraga, baik indoor maupun outdoor, serta lapangan tembak; STIN juga menyediakan fasilitas asrama putra dan putri.
Asrama putra empat lantai dan semuanya penuh.
Sementara asrama putri yang berdaya tampung tiga lantai hanya satu lantai yang terisi.
Komposisi siswa STIN memang didominasi pria.
Untuk angkatan terakhir saja, perbandingannya 69 putra dan 24 putri.
Gelar yang akan disandang ketika lulus kelak adalah Sarjana Intelijen (S.In.).
Tapi tentunya gelar ini jarang atau bahkan tidak akan pernah mereka catat dalam penulisan nama mereka. Maklum, namanya juga agen rahasia.
Para mahasiswa ini nantinya akan bekerja di BIN karena memang untuk saat ini STIN hanya fokus memasok SDM ke lembaga intelijen negara itu.
“Tapi enggak tahu juga ke depannya. Dunia intelijen itu luas, tidak sekadar masalah security. Masalah bisnis juga menyangkut intelijen,” terang Tri Yoga.
Bohongnya white lies
“Jika berhasil tidak dipuji, jika gagal dicaci maki, jika hilang tidak dicari, dan jika mati tidak ada yang mengakui.”
Begitulah kurang lebih gambaran seseorang intelijen.
Hidup penuh kerahasiaan, bahkan sejak pengumuman kelulusan.
Lembar pengumuman hanya akan diisi oleh nama-nama peserta yang tidak lulus.
Wajar jika siapapun – termasuk wartawan – dilarang mengambil foto yang memperlihatkan wajah mereka secara jelas.
Taktik untuk menyembunyikan identitas ini memang diajarkan langsung kepada para mahasiswa.
Seperti melalui kelas klandestin. Untuk menyembunyikan identitas, mereka kerap mengalihkan pembicaraan.
Dalam kondisi tertentu, bahkan bisa saja mereka berbohong dengan menyatakan dirinya kuliah di perguruan tinggi tertentu.
“Bohongnya ‘kan white lies, untuk tujuan yang baik,” tutur Wahyudi.
Keluarga juga memiliki peran penting dalam menyembunyikan identitas.
Mereka sadar bahwa kerahasiaan pendidikan penting untuk pekerjaan dan keselamatan anak mereka.
Praktik menyembunyikan identitas juga dilakukan beberapa anggota BIN lainnya, terutama mereka yang memang berperan sebagai agen operasi.
Nama mereka tidak akan ada dalam daftar pegawai BIN.
Ketika bertugas menggunakan identitas lain.
Tentunya setelah bersepakat dengan orang atau lembaga yang identitasnya “dipinjam”.
Mereka juga kerap nebeng dengan para pekerja dari profesi lain. Misalnya wartawan.
Saat wartawan yang asli meliput suatu peristiwa, bisa saja agen yang berperan sebagai wartawan ikut serta.
“Meski sama-sama di lokasi, fokus yang dia cari pasti berbeda. Sehingga produk (baca: laporan) yang dihasilkan juga berbeda. Bisa dibilang kita ngumpulin off the record-nya,” ujar Wahyudi.
Ada di mana-mana
Pada praktiknya, ilmu yang didapat di STIN belum tentu benar-benar akan diterapkan.
Sebab, intelijen adalah seni.
Kemampuan berimprovisasi sangat dibutuhkan di lapangan.
Maklum, setiap penugasan sangat berbeda.
Masing-masing memiliki situasi dan kondisi yang sangat spesifik.
Maka dalam bekerja, ada prinsip RAE (Regular-Alternative-Emergency).
Ada rencana awal (regular), rencana cadangan (alternative), dan rencana untuk menyelamatkan diri (emergency) jika berada dalam kondisi bahaya atau saat identitas akan atau sudah terbongkar.
Tidak dapat dipungkiri pula dalam dunia intelijen faktor keberuntungan sering ikut bermain.
“Tapi seni intelijen yang baik adalah selalu mengarahkan pada faktor keberuntungan tersebut,” ujar Adisiswanto.
Meski kerap menyamar dan berbohong, intelijen – khususnya BIN - tidak memiliki doktrin “menghalalkan segala cara untuk mendapatkan informasi.”
“Doktrin kita justru ‘Ada di mana-mana tapi tidak terasa.’ Jangan sampai membuat orang lain merasa sakit atau dirugikan,” lanjut Tri Yoga.
Sayangnya, untuk peralatan, BIN masih tertinggal dengan lembaga intelijen negara-negara maju.
Toh, kata Tri Yoga, itu bukan masalah besar, terutama sejak peristiwa 9/11 atau runtuhnya gedung WTC di Amerika Serikat.
Teknologi intelijen yang memakai peralatan begitu canggih ternyata masih bisa “dibobol”.
Paradigma technology intelligence yang sempat dipuja-puja akhirnya runtuh dan digantikan paradigma human intelligence.
Pengembangan manusia menjadi prioritasnya.
Dunia intelijen memang penuh trik dan kerahasiaan.
Namun Tri Yoga berharap masyarakat tidak memandang intelijen sebagai musuh, seperti yang saat ini lazim terjadi.
“Kita bekerja untuk melindungi negara dan masyarakat. Bukan untuk kepentingan penguasa saja,” ujar Tri Yoga.
Selain itu, “Kita juga bukan orang-orang aneh, kita tetap manusia biasa,” tambah Adisiswanto.
Seleksi Ketat
Sistem perekrutan STIN cukup unik. Cara yang pertama adalah dengan meminta para kepala sekolah dari sekolah-sekolah yang telah ditentukan oleh BIN (tentunya yang unggulan) untuk memberikan rekomendasi siswa-siswi yang berprestasi.
Jika sekolahnya tidak termasuk yang dipilih BIN, cara kedua yang digunakan, yaitu orangtua mengajukan surat pendaftaran anaknya ke kepala BIN.
Jadi, seorang calon siswa tidak bisa mendaftar sendiri tanpa sepengetahuan orangtuanya.
Syarat serta ujian yang dilalui cukup ketat.
Berbagai tes inteligensia, kepribadian, dan fi sik harus dilewati.
Ketatnya seleksi ini bisa terlihat dari jumlah peserta yang diterima.
Meski STIN memiliki kuota mahasiswa hingga 93 orang, baru tahun ini mereka mampu memenuhinya.
“Sebelumnya hanya mampu mencapai 50-an orang karena hanya sejumlah itulah SDM yang kita anggap layak untuk masuk STIN,” tambah Tri Yoga.
Karakter Intelijen
Rasa ingin tahu yang tinggi menjadi salah satu karakter terpenting seorang intel.
Jika hal itu dilengkapi dengan ketelitian, keuletan, dan ketangguhan dalam mencari informasi, seorang intel akan mampu mengumpulkan informasi yang banyak dan penting.
Karakter penting lainnya adalah kejujuran dan kesetiaan.
Kejujuran sangat penting untuk menjamin kebenaran informasi.
Untuk menjamin kejujuran ini, BIN kadang melakukan cross check dengan mengirimkan beberapa orang untuk suatu tugas yang sama, tentunya secara terpisah.
Sementara faktor kesetiaan sangat berkaitan dengan perannya sebagai pencari sekaligus pemegang informasi penting negara.
Faktor kesetiaan dapat menjamin informasi yang dimilikinya tidak bocor ke pihak lain.
Untuk melengkapi karakter ini, maka diperlukan sikap kontrol diri yang tinggi.
Sehingga dia tidak akan tergoda dan mudah ditipu oleh pihak-pihak lain.
(Artikel ini pernah tayang di Majalah Intisari edisi Desember 2012)