Find Us On Social Media :

Saat Seorang Tentara Harus Membuat Surat Wasiat: Rasanya Seperti Disodori Peti Mati Sendiri

By Ade Sulaeman, Sabtu, 18 November 2017 | 17:00 WIB

Intisari-Online.com – Tak seorang pun menginginkannya. Kalau bisa semua orang ingin menghindarinya.

Bahkan tentara yang dikirim pun harus menyesali dan menangisinya. Apalagi keluarga yang ditinggalkan seperti dikisahkan Eka Budianta.

“Saya sedih dengan perang ini, Pak," kata mahasiswa saya, Jim Walker, di bulan Agustus tahun lalu, saat krisis Teluk Parsi dimulai.

"Kenapa, Jim?"

(Baca juga: Perang Teluk, Ajang Promosi dan Uji Coba Persenjataan Canggih 'Penebar Maut')

"Soalnya, umur saya 21 tahun dan saya termasuk dalam daftar tentara cadangan," kata pemuda yang pemah tinggal setahun di Surabaya dalam program AFS itu.

Jim adalah mahasiswa termuda  dalam kelas saya di Universitas Cornell, AS.

Mahasiswa yang cerdas, ramah  dan penuh rasa bakti ini, berminat mempelajari berbagai macam bahasa, termasuk bahasa Indonesia.

Memang sejak bulan Agustus itu saya tidak pernah lagi bertemu Jim. Mungkin ia jadi berangkat ke Teluk Parsi.

Mungkin ia ikut latihan perang, untuk membiasakan diri dengan iklim gurun pasir di negara bagian AS yang bergurun pasir.

"Demam" CNN

Suasana di bulan Agustus itu memang mengharukan. Di televisi kita bisa melihat pasangan-pasangan muda yang terpaksa berpisah karena salah satu harus berangkat bertempur.

Padahal banyak yang sudah menentukan tanggal pernikahan. Tidak heran kalau pada detik terakhir sebelum berangkat, ada juga yang nekad menjadi pengantin.

(Baca juga: Perang Teluk, saat Tentara Amerika Menjadi Kaya karena Dimanjakan oleh ‘Perang’ Sponsor)

Sampai terpaksa dibangun tenda-tenda sebagai gereja darurat lengkap dengan pastor, untuk memberkati penikahan kilat itu.

Begitu sudah disahkan jadi suami-istri, sang tentara pun langsung menuju pesawat yang sudah menunggu. Pengantin  dan pihak keluarga yang ditinggal hanya bisa menitikkan air mata.

Pertempuran kini benar-benar telah pecah. Kekejaman di front dirasakan jauh, sampai, ke rumah-rumah keluarga yang ditinggalkan.

Saat ini hampir setengah juta tentara AS sedang mengadu nyawa di Teluk.

Entah berapa istri, anak, pacar, tunangan dan sanak keluarga di tanah air yang menunggu dengan harap-harap cemas.

Di Syracuse, tak jauh dari tempat tinggal kami, ada dua orang anak berusia 5 dan 7 tahun, yang terpaksa ikut neneknya, karena ayah dan ibu mereka kebetulan sama-sama militer dan keduanya dikirim ke medan perang.

Kini rata-rata keluarga yang ditinggal itu, kebanyakan hanya duduk di depan televisi.

(Baca juga: Berkaca dari Pengalaman Perang Teluk, AS Sepertinya akan Mengandalkan Serangan Udara Jika Benar Menyerang Korut)

"Demam" CNN telah melanda segala penjuru AS dan memukul telak industri pariwisata.

Berbagai tempat hiburan, termasuk gedung teater dan  opera di New York kini tidak berjubel seperti biasanya.

Yang paling berjubel hanya kantor pos. Meskipun tarif prangko mulai tanggal 3 Februari lalu sudah naik.

Di desa tetangga kami, Lansing, ada seorang ibu yang dua putranya dikirim ke Teluk.

Sebelum Presiden Bush melancarkan Operasi Badai Gurun, dia sudah melancarkan Operation  Cookies, alias Operasi Kue.

Ibu itu, Ny. Betty Judson, mengirimkan 14.000 potong kue yang dimasaknya sendiri.

Tentu saja kue itu bukan hanya untuk anaknya, tapi juga untuk pasukan teman  anak-anaknya yang ada di sana.

Akhir Oktober lalu, dia juga melancarkan Operasi Apel khas: New York. Tidak tanggung-tanggung, 80.000 buah apel diterbangkannya khusus ke Arab Saudi.

Tidak menerima kiriman paket ke Arab Saudi

Ada dua alamat khusus bagi pasukan AS. Satu alamat untuk angkatan darat dan udara: Operation Desert Storm, APO, NY 09848-0006.

Alamat lain: Navy or Marines Operation Desert Storm FPO, NY 09866-0006. Yang ini untuk angkatan laut.

Surat ke medan perang lebih lambat sampainya dibandingkan dengan balasannya.

Maklumlah, alamat rumah itu tetap, sedangkan front tak tentu di mana. Biasanya surat dari medan perang sampai di keluarga Amerika dalam tempo seminggu lebih.

Sedangkan surat dari keluarga mereka lebih dari tiga minggu baru sampai. Sering kali juga hilang di jalan.

Seorang ibu, Ny. van Etten, mengirim paket pada tanggal 8 Januari '91. Tapi hingga saat ini belum diketahui sampai atau tidak.

Padahal, rencananya dia siap mengirim paket berikut yang berisi obat gosok pelindung panas dan stocking.

"Dia pasti memerlukan stocking untuk mengusir laba-laba dan kalajengking," tambahnya.

Putri saya juga menulis surat kepada seorang sersan, teman gurunya, hingga sekarang belum ada balasannya.

Sementara itu di televisi diumumkan, murid-murid sekolah sebaiknya tidak menulis surat sendiri-sendiri.

Banyak guru menganjurkan agar muridnya menulis surat gabungan kepada tentara AS di Arab Saudi.

Jadi guru mengumpulkan surat-surat muridnya dalam satu amplop besar. Ini jauh lebih baik daripada surat kecil-kecil yang terpisah-pisah.

Kantor pos Ithaca, juga membatasi kiriman hanya surat dan kaset.

Sedangkan biro jasa parcel service (UPS) tidak menerima kiriman paket ke Arab Saudi, karena lapangan terbang tertutup bagi penerbangan komersiaL

Akibat kesulitan jalur hubungan inilah, Pentagon membuka nomor khusus untuk informasi  perang: 1-800-732-1206. Saluran ini disediakan gratis.

Menyiapkan surat warisan

Kenyataannya, perang berlangsung lebih lama dari yang diperkirakan. Ini menimbulkan rasa waswas bagi tentara cadangan.

Pada akhir minggu awal Februari 1991, satuan Pengawal Nasional di Connecticut berebut menghadap notaris untuk melegalisasi surat wasiat mereka, apalagi setelah ada sas-sus mereka akan segera dikapalkan ke Arab Saudi.

Bagi tentara yang mau berangkat, surat wasiat itu penting sekali.

Soalnya, kalau  sampai mereka pergi, mau dikemanakan mobil, koleksi prangko atau hewan-hewan piaraannya?! Bagaimana pula kalau mereka sampai gugur?

"Mungkin ini reaksi manusiawi yang wajar saja. Setiap orang berpikir, dialah yang akan menyusul," kata seorang kapten yang kebetulan bertugas melegalisasi lebih dari 50' surat wasiat kepada Surat Kabar New York Times.

Namun, setelah para serdadu muda itu berhadapan dengan pengacara dan harus menjelaskan masalah pribadi, hubungan dengan seseorang atau dengan anak-anaknya, banyak juga yang shock.

Maklumlah, mereka masih terlalu muda untuk menghadapi soal kematiannya sendiri. Mungkin rasanya seperti disodori peti mati sendiri atau digalikan lubang kuburan.

Yang bisa mereka wariskan juga paling gitar, perangkat stereo, meja-kursi atau koleksi bonekanya.

Misalnya seperti seorang gadis bernama Keisha (19), menyebutkan seluruh benda miliknya untuk ibunya, kecuali cincin di jarinya.

Kalau sampai dia gugur, cincin itu dimintanya agar dikembalikan pada tunangannya.

Di sebuah sekolah militer, sebuah hanggar yang berisi suku cadang helikopter dan pesawat, diubah menjadi semacam kantor konsultasi hukum.

Yang mengharukan, ternyata hadirnya pengacara dan petugas asuransi, membuat tentara-tentara  itu termangu.

"Rasanya seperti berhadapan dengan malaikat elmaut," kata seorang kolonel.

Seorang pengacara di kota lain juga mengakui hal serupa.

"Mula-mula mereka menganggap enteng urusan surat wasiat ini. Tapi tiba-tiba mereka tercenung, sadar kalau mereka sedang membahas kematian sendiri."

Pita kuning pembangkit semangat

Bagi keluarga yang ditinggalkan berperang, ternyata banyak hal yang bisa menimbulkan kesedihan.

Kalau Anda melihat ada pohoh-pohon diberi pita kuning, tandanya ada keluarga yang sedang mendoakan anggotanya yang bertempur.

Pita pada pohon itu simbol untuk membangkitkan semangat di masa krisis.

Yang juga menyedihkan adalah suasana di kota-kota kecil, di tangsi militer. Kota yang biasanya ramai jadi sepi.

Beberapa stasiun televisi lokal menayangkan gambar deretan video game yang tidak terpakai, bar dan warung kopi yang jadi sunyi senyap, karena pemuda atau tentara yang biasa nongkrong di sana, kini tidak ada lagi.

Beberapa orang yang masih tinggal di tangsi dalam wawancara di teve juga menyatakan frustrasi, kecewa, sedih dan sebagainya.

Perlu ditambahkan, yang berangkat bertempur kebanyakan berasal dari keluarga yang kurang mampu, kalangan kulit berwarna, hitam maupun Hispanik.

Banyak juga dari keturunan Asia, termasuk yang berdarah Jepang di bagian intelijen.

Hal yang wajar kalau keluarga sederhana, tidak mempunyai cukup biaya untuk mengirim putra-putri mereka ke universitas, merestui mereka menempuh karier militer.

Ini biasanya dianggap jalan pintas yang mulia. Tentu semua itu, mahal ongkosnya.

(Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Maret 1991)