Find Us On Social Media :

Antara Bajralepa si Ramuan Misterius dan Stapaka si Arsitek Jenius, Inilah Rumitnya Pembangunan Candi

By Ade Sulaeman, Kamis, 19 Oktober 2017 | 18:40 WIB

Dari 218 situs candi yang dia teliti di kawasan Daerah Istimewa Yogyakarta, 179 buah candi berada tak jauh dari aliran sungai.

"Sungai pada masa lalu memang merupakan kebutuhan dasar manusia. Selain untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, juga penyedia bahan batuan untuk bangunan candi," ujar Mundardjito.

Dalam memilih lokasi pendirian candi, sang pendeta juga mempertimbangkan segi ekologi maupun potensi sumber daya alamnya.

Tidak seperti yang diduga orang kebanyakan, nenek moyang kita zama dulu sudah paham  tentang potensi maupun kemampuan lahan untuk mendukung suatu bangunan.

Tidak sembarang lahan bisa dipilih untuk menegakkan bangunan candi. Jenis tanah waisya, yakni lahan dengan ciri kandungan pasirnya tinggi, berwarna kuning dan berlumpur, serta berbau garam, tidak akan dipilih.

Begitu pun tanah sudra yang mengandung lumpur, berwama gelap, dan berbau tak enak.

"Hendaknya jangan sekali-kali mendirikan bangunan suci di tempat seperti itu," demikian fatwa pujangga penulis Kitab Silpqprakasa, sebuah kitab kekancingan cara membuat bangunan candi.

Seperti dijelaskan dalam Silpaprakasa, ada dua macam jenis tanah yang baik untuk mendirikan candi, tanah brahmana dan tanah ksatrya.

Sifat tanah brahmana konon antara lain mengandung lempung, nampak bercahaya bak debu mutiara, dan harum baunya.

(Baca juga: Arkeolog Temukan Dua Piramida Rahasia yang Tersembunyi dalam Candi Suku Maya)

Sedangkan tanah ksatrya memiliki ciri warna kemerahan, nampak bercahaya mirip darah segar dan asam baunya.

Ditentukan lampu minyak