Advertorial
Intisari-Online.com – Jenderal Colin Powell, Kastaf Gabungan Angkatan Bersenjata AS, mengakhiri jabatannya 30 September 1993.
Tokoh besar militer berkulit hitam ini tak mau dijadikan lambang eksploitasi warna kulit untuk tujuan orang lain.
Namun, ia memang hebat dalam menanggulangi perpecahan rasial di AS, sekalian memulihkan reputasi militer AS di mata dunia.
Siapakah Jenderal Colin Powell? Simak tulisan Marcel Beding berikut ini yang pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Oktober 1993.
Perang Teluk memang sudah lama usai. Namun ada dua orang tokoh militer Amerika Serikat yang namanya mencuat di mata dunia lewat peristiwa itu.
Masing-masing Jenderal Colin Powell, ketua Gabungan Kepala Staf, dan Jenderal H. Norman Schwarzkopf, panglima pasukan AS di Teluk yang sekaligus membawahi pasukan multinasional dari 28 negara.
Baca Juga : Dikenal 'Manja' dalam Pertempuran, Kini Tentara Amerika Dilengkapi 'Tangan Ketiga' untuk Operasikan Senapan
Kedua tokoh tersebut dinilai telah memainkan peranan yang amat menentukan di dalam suatu operasi militer paling besar sejak PD II, yang akhirnya berhasil menghalau tentara Irak ke luar dari Kuwait dan mengakhiri krisis yang berlangsung selama 207 hari itu.
Kepiawaian Jenderal H. Norman Schwarzkopf memimpin pasukan-pasukan di "KTO" (Kuwait Theater of Operation = Gelanggang Operasi Kuwait), dan tangan dingin Powell memberi komando dari "WTO" (Washington Theater of Operation), kini tinggal cerita.
Apalagi 30 September lalu, Powell sudah menyerahkan jabatan kepada penggantinya yang baru, Jenderal Shalikashvili (57), tokoh militer lain yang terkenal dalam Operation Provide Comfort, di Irak Utara.
Awal tahun lalu terjadi suatu peristiwa menarik. Suatu jamuan santap malam diselenggarakan oleh Serikat Pengacara St. Petersburg, sebuah perkumpulan ahli hukum konservatif negara bagian Florida (AS).
Baca Juga : 200 Jenazah Tentara Amerika Serikat yang Hilang Saat Perang Korea Mulai Dipulangkan
Ketika seorang ahli hukum memperkenalkan tamunya malam itu yang bernama James Watson, seorang hakim federal dari New York yang kebetulan sedang bertamu, ia menyebutkan bahwa hakim itu kemenakan Jenderal Colin Powell, ketua Gabungan Kepala Staf.
Segenap hadirin langsung berdiri dan bertepuk tangan.
Tak mau menonjolkan diri
Powell sesungguhnya mewakili sesuatu yang lebih daripada sekadar urusan militer dan perang belaka.
Panglima berusia 56 tahun itu telah menjadi lambang rekonsiliasi nasional baik untuk pergolakan yang melanda masyarakat Amerika dalam tahun '60-an, maupun Perang Vietnam dan kerusuhan rasial.
Baca Juga : Tentara Rusia Nyaris Perang dengan Tentara Amerika di Suriah, Bahaya Perang Dunia III Mengintai
Powell merupakan pemimpin kulit hitam pertama yang orang kulit putih konservatif pun merasa senang merangkulnya.
Patriotismenya yang jelas dan asal usulnya yang sederhana membuat seorang anggota kongres dari daerah pemilihan asal jenderal itu mernberi kesaksian:
"Dia tidak pernah lari dari warna kulit atau kewajibannya terhadap ras ini. Tetapi dia juga tidak menyembunyikannya."
Lebih-lebih lagi, Powell telah membantu memulihkan keyakinan negeri AS akan sistem militer yang dihancurkan oleh tuduhan-tuduhan, bahwa sistem itu ditunggangi oleh penyuapan serta kegagalan.
Dalam kedudukannya di berbagai jabatan senior selama tahun '80-an, dia membantu membangun kembali angkatan bersenjata yang tampil begitu gemilang di Teluk Persia.
Apabila dia meminta para pendengarnya di dalam brifing di Pentagon supaya, "percayalah kepada saya", kebanyakan mereka menerimanya.
Baca Juga : Perang Teluk, saat Tentara Amerika Menjadi Kaya karena Dimanjakan oleh ‘Perang’ Sponsor
Mari Maseng, seorang konsultan politik yang dekat sekali dengan Powell semasa pemerintahan Presiden Reagan di Gedung Putih, menjelaskannya sebagai berikut:
"Dia begitu wajar, tidak dikuasai oleh egonya. Dia itu tepat sekali seperti apa yang Anda inginkan dalam diri seorang tokoh militer. Itulah penangkal sempurna terhadap tindakan keliru yang terjadi di Vietnam dan perkara Iran - Contra."
Memang ada juga banyak kritik. Bagi sementara kelompok kulit hitam yang militan, dia dianggap terlalu lunak.
Bagi sementara kelompok pengecam antiperang, dia seorang jenderal yang mudah merasa senang karena membantu merekayasa suatu rencana menyelamatkan nyawa orang Amerika, tetapi membantai ribuan orang Irak di dalam proses Perang Teluk.
Bagi sementara saingannya yang iri hati, perwira tinggi kulit hitam pertama dan termuda yang pernah menjadi ketua Gabungan Kepala Staf ini dinilai sebagai seorang perwira yang memanfaatkan koneksi-koneksi politik untuk naik melangkahi perwira-perwira yang lebih senior, sampai mencapai kedudukan tinggi.
Bagaimanapun, pandangan di atas cuma berasal dari sekelompok minoritas kecil. Betapa tidak?
Meski akhirnya tidak menjadi kenyataan, sosok heroik Powell pernah menyulut nyala api desas-desus yang gencar tentang kemungkinan dia akan menggantikan Wakil Presiden Dan Ouayle dalam pemilihan presiden tahun 1992.
Baca Juga : Mantan Miss Indonesia Yang Jadi Tentara Amerika, Mau Naik Pangkat Malah Ingin Loncat
Powell sendiri nampaknya memang tidak mau jabatan itu. Jenderal itu memang mudah sekali bergaul dengan para politikus.
Tetapi, teman-teman dekatnya mengatakan, secara pribadi dia tidak suka menonjolkan diri, apalagi mencalonkan diri, dan tidak ingin menerjunkan diri ke dalam bidang politik. Konon, dia lebih suka diberi kesempatan sekali lagi menjadi ketua Gabungan Kepala Staf.
Terlepas dari keterkaitannya dengan beberapa atribut kekuasaan dalam pemerintahan, Colin Powell sudah menjadi seorang tokah nasional yang memiliki kemampuan istimewa menjembatani perpecahan rasial.
Jenderal itu tidak mau mendiskusikan pandangan-pandangannya di depan umum. Tetapi teman-temannya mengatakan, dia menggabungkan pandangan-pandangan liberal tentang kebijakan sosial dengan pandangan-pandangan, pertahanannya yang kuat.
Tak mau jadi lambang
Baca Juga : Foto Zadul Mantan Tentara Amerika Ini Bikin Netizen Wanita Terpesona
Dia berbicara terbuka tentang persahabatannya dengan Jesse Jackson dan hubungan dengan teman-temannya. Cukup jelas, Powell menyatakan bahwa dia bukanlah orang yang mau dijadikan tanda atau lambang belaka.
Dia pun tidak mau membiarkan pejabat pemerintah kulit putih, mengeksploitasi warna kulitnya untuk tujuan-tujuah mereka sendiri.
Salah satu saat paling sengit yang dihadapi Powell terjadi ketika pertempuran darat Perang Teluk mencapai puncaknya.
Di dalam suatu pertemuan dengan kelompok anggota kongres kulit hitam, dengan tajam dia dikecam karena tingginya persentase orang kulit hitam yang ditugaskan di medan pertempuran Teluk.
Powell menghadapi keluhan mereka secara langsung, dengan menegaskan bahwa dia tidak akan memaafkan dirinya kalau sistem itu terjadi di lembaga Amerika mana pun.
Baca Juga : Inilah Rahasia Kemenangan Tim TNI AD atas Tentara Amerika dan Australia dalam AASAM 2015
Powell selalu berusaha secara istimewa menemui kaum muda kulit hitam. Tetapi pesan yang disampaikannya, selalu lebih banyak mengenai disiplin daripada mengenai diskriminasi.
Sebagai contoh dia mengatakan, "Tidak ada rahasia untuk mencapai keberhasilan. Maka jangan membuang-buang waktu untuk mencarinya. Keberhasilan merupakan hasil kesempurnaan, kerja keras, belajar dari kegagalan."
Pelajaran lain dari Vietnam
Dalam membantu memulihkan keadaan militer, Powell mengikuti suatu perencanaan yang cermat yang berakar dari pengalamannya sendiri.
Baca Juga : 1 dari 5 Tentara Amerika Menderita Gangguan Mental
Dua kali bertugas di Vietnam mengajarkan dia, bahwa rasa takut dan ragu-ragu mengambil keputusan bukanlah merupakan kebajikan.
Banyak orang yang dekat dengan dia dalam tugas di lapangan mengakui, Powell bukan tipe pemimpin yang suka berbuat setengah-setengah. Dia bukan prajurit yang senang berjuang dengan sebelah tangan di punggung.
Powell selalu mendesakkan tindakan besar-besaran dan menentukan. Ketika kelompok inti pengambil keputusan, yang dikenal sebagai Delapan Besar, mengadakan rapat di Gedung Putih pada sore hari Kamis, 21 Februari 1991, untuk membicarakan tahap terakhir Perang Teluk, pertempuran darat sudah dijadwalkan akan dimulai pada pukul 20.00 Sabtu malam Minggu itu.
Powell berhasil mendesak agar Saddam Hussein diberi batas waktu Sabtu tengah hari untuk menarik diri dari Kuwait.
la menambahkan supaya berakhirnya ultimatum itu langsung disusul dengan pameran kekuatan secara besar-besaran.
Ketua Gabungan Kepala Staf itu membiarkan para jenderal di lapangan menyusun rincian perencanaan perang, sementara dia sendiri memainkan peranan kunci menjual strategi, baik kepada presiden maupun para pemimpin kongres.
Baca Juga : Amerika Serikat Bertemu Taliban di Qatar, Ini yang Mereka Bicarakan
"Dia selalu melindungi komandan di lapangan," kata seorang pejabat Pentagon.
"Dia selalu mempunyai jawaban yang tepat, sehingga presiden tidak mempunyai alasan untuk meremehkan pendapat para pemimpin militer. Kepribadian serta kecakapannya membuat Presiden Bush dan Menteri Pertahanan Dick Cheney, menaruh kepercayaan penuh kepada pemimpin militer mereka."
Jenderal ini dikenal sebagai seorang realis. Hal itu memberinya kredibilitas yang besar dari pihak kongres. la juga ditunjuk sebagai organisator utama dua pertemuan puncak Presiden Reagan dengan Presiden Mikhail Gorbachev.
Tetapi Powell membawa serta peiajaran lain dari Vietnam: Kesiagaan merupakan hal yang teramat penting. Jangan membiarkan kembalinya militer "yang keropos" dari tahun 70-an.
Waktu itu kapal-kapal berlabuh mati di laut tanpa perwira yang cukup jumlahnya, dan tank yang mestinya berawak empat orang hanya diisi dua orang.
Tugasnya adalah mengurangi angkatan bersenjata tanpa menghancurkannya, merampingkan kesatuan-kesatuan dan merumuskan kembali strategi untuk menghadapi medan yang lebih kacau dan tidak terduga.
Baca Juga : Bertemu Menlu AS, Menlu China: Tolong Berhenti Sebentar Amerika Serikat…
Cepat naik pangkat dan sederhana
Sebuah tulisan di dalam Majalah US News & World Report (18/3/1991) menyingkapkan asal usul Colin Powell, dan pengaruh keluarganya atas kehidupan jenderal itu.
Orang tuanya, pasangan Maud dan Luther Powell, berimigrasi dari Jamaika ketika mereka berumur 20 tahunan sebelum bertemu pada suatu piknik di Bronx.
Maka putra mereka itu tumbuh dalam dua dunia: lingkungan tetangga multibahasa di New York dan kalangan kebudayaan imigran Jamaika serta ikatan-ikatan keluarga yang kuat.
Ketika Colin berusia 3 tahun, keluarga itu pindah ke South Bronx, suatu lingkungan permukiman yang lebih baik.
Baca Juga : Lewat Serangga Penyebar Virus, Amerika Serikat Dikabarkan Ciptakan Senjata Biologis Mematikan
Powell dengan mudah bergerak masuk ke dunia kulit putih dewasa. Dalam tahun '50-an, South Bronx bukan merupakan ghetto permukiman orang kulit hitam.
Teman-teman sekolahnya terdiri atas anak-anak Yahudi, Polandia, dan Italia. Usai sekolah dia bekerja di Sicker, sebuah toko besar yang menjual perlengkapan bayi.
Sudah sejak masa mudanya Colin Powell memperlihatkan bakat kepemimpinan yang kuat. Ketika belajar di City College of New York, Powell selalu mendapat nilai C. Tetapi, semangatnya untuk belajar besar sekali.
Di dalam sebuah karangan untuk American School Board Journal belum lama berselang, jenderal itu menulis bahwa City College of New York merupakan "suatu persetujuan tiga jalur yang tidak tertulis tetapi dimengerti secara intuitif" - bahwa anak-anak harus bekerja keras, para orang tua harus mendukung mereka, dan sekolah harus mengajar mereka.
Sewaktu belajar di City College of New York itu pula, siswa yang masih remaja itu menemukan suatu dorongan lain, yakni belajar pada Reserve Officers Training Corps (Korps Latihan Perwira Cadangan).
Baca Juga : Serba Cepat, Kebiasaan Makan di Amerika Serikat Itu Ibarat Mesin Waktu
Angkatan darat mengirim Powell ke banyak tempat, dan setiap tempat membantu membentuk dan memperluas cakrawalanya terhadap dunia.
Di Fort Benning, dia memperoleh pengalaman pertama tentang suasana Amerika bagian selatan dan menemukan diskriminasi rasial, ketika rekan-rekan perwira kulit putih menggertak dan menakut-nakuti para pelayan bar karena melayani seorang perwira kulit hitam.
Di Vietnam, Colin Powell belajar mengenal kengerian tak berkesudahan suatu perang yang sia-sia. Dia memperoleh lencana tanda jasa Purple Heart sesudah melanggar ranjau Vietcong dan lencana Soldier's Medal, karena berhasil menarik dua orang rekannya dari sebuah helikopter yang sedang terbakar.
Sesudah 14 tahun bertugas aktif, dalam tahun 1972 Powell diangkat menjadi seorang petugas di Gedung Putih.
Di sana dia bekerja untuk Frank Carlucci, yang waktu itu menjabat sebagai direktur Jawatan Manajemen dan Anggaran, dan Caspar Weinberger, waktu itu direktur anggaran.
Baca Juga : Membunuh Tanpa Suara, Salah Satu Materi Sekolah Anti Terorisme dan Komunisme di Amerika Serikat
Kedua tokoh ini menjadi idola Powell di dalam lingkaran kekuasaan Washington. Sejak waktu itu dia terombang-ambing di antara tugas-tugas militer dan politik, sering kali sebagai ajudan salah seorang mentornya itu. Pangkatnya naik dengan cepat.
Kontak-kontak pun terjalin dengan tepat dengan para pejabat tinggi dan mempelajari keterampilan-keterampilan birokrasi yang tepat. Dia menjabat sebagai penasihat keamanan nasional selama tahun terakhir masa jabatan Presiden Reagan.
Dalam bulan Oktober 1989 Presiden Bush mengangkat Colin Powell menjadi ketua Gabungan Kepala Staf.
Teman-temannya masih tetap menggambarkan Colin Powell sebagai seorang perwira tinggi yang amat sederhana. Kadang-kadang dia sendirian menonton video Carly Simon di kantornya di Pentagon, sementara orang lain asyik mengikuti siaran-siaran CNN.
Baca Juga : Bukan Arab Saudi Apalagi Rusia, Produsen Cadangan Minyak Terbesar saat Ini adalah Amerika Serikat
Dia membenci olahraga. Seorang temannya mencoba mengajarkan dia bermain tenis tetapi tidak berhasil.
Kini jenderal kulit hitam, suami Alma Johnson dan ayah tiga anak yang sederhana ini, harus meninggalkan pos tertingginya.
Walaupun demikian, dialah orang kulit hitam pertama di dalam sejarah Amerika yang boleh duduk di meja perundingan pada saat keputusan-keputusan paling penting tentang perang dan damai dibuat.
Dia telah menjadi gabungan dua sasaran nasional yang luhur, yaitu kemajuan rasial dan kekuatan militer.
Baca Juga : Amerika Serikat Dilaporkan Siap Menyerang Iran Akhir Tahun Ini, akankah Perang Dunia III Terjadi?