Advertorial
Intisari-Online.com – Banyak perusahaan di AS memandang tentara AS (GI) sebagai sarana iklan yang paling ideal.
Tidak heran kalau mereka mensponsori hadiah produk masing-masing bagi para serdadu dalam Perang Teluk yang lalu.
Setiap pagi para serdadu pasukan multinasional menunggu kepulan debu padang pasir dari kejauhan.
Ini baru tampak sekitar pukul 08.00. Kepulan debu ini selanjutnya akan diikuti suara mesin.
(Baca juga: Sentot Ali Basya, Panglima saat Perang Diponegoro yang Hidupnya ‘Ditelan oleh Sang Waktu’)
Beberapa menit kemudian barulah tampak truk-truk raksasa berkaroseri dengan warna krom mengkilap dan merah menyala atau merah-putih-biru.
Truk yang ditunggu-tunggu itu memuat Pepsi Cola dan Coca-Cola.
Belum lagi truk itu berhenti, para GI sudah membentuk barisan panjang. Mereka pun mengangkuti peti-peti berisi minuman itu ke perkemahan dan pos-pos mereka.
Di atas kardus minuman ringan itu tertulis: You can't beat the feeling!
Tidak ada-slogan iklan dalam selebaran poster, ballyho, papan reklame, spanduk dan lainnya, tapi itulah yang ada setiap hari di padang pasir Arab Saudi.
Mengenai aksi sumbangan itu, jubir Coca-Cola Randy Donaldson mengatakan, "Kalau kami membantu mereka yang berperang di padang pasir itu, mereka pasti ingat seumur hidupnya. Tidak salah lagi, inilah misi yang dibutuhkan perusahaan-perusahaan itu."
Jauh sebelum Perang Teluk pecah, sekitar 1.127 perusahaan di AS sudah melihat Operasi Badai Gurun sebagai usaha PR atau kehumasan mereka.
Tidak ada yang mustahil untuk dikirim ke Teluk.
Perusahaan Wildon Sporting Goods mengirimkan 100 stick golf berikut 1.000 bola untuk para serdadu.
Supaya para serdadu selalu harus membersihkan sepatunya dari debu, sebuah perusahaan mengirimkan berpeti-peti pelumas khusus antidebu.
Pengusaha Kasino Circus-Circus tak lupa mengirimkan 10.000 kartu, 1.000 frisbee, bumerang, 22.000 bir tanpa alkohol dan 100.000 kacamata antimatahari.
Para manajer PR itu sama sekali tidak merasa bersalah, seperti kata seorang ahli pemasaran, David Stewart, bahwa ia sama sekali tidak melihat hal ini sebagai sesuatu yang mengerikan.
"Ini sama saja, perusahaan rokok dan minuman juga sering menjadi sponsor peristiwa-peristiwa olahraga, atau olahraga balap mobil yang banyak digemari kaum muda. Ini cuma usaha menggabungkan suatu peristiwa dengan sebuah produk, kebetulan perang juga merupakan suatu ajang dan peristiwa istimewa."
"Sponsor" perang di saat itu merasa berterima kasih pada perusahaan yang ikut serta.
Dalam minggu-minggu selama perang, tidak ada sosok yang begitu sering muncul di televisi selain serdadu AS.
Setiap jam, penyiar berita juga menyiarkan "anak-anak muda kita di Teluk". Mereka tampil dengan kaleng Coca-Cola, rokok Marlboro dan walkman Sony.
Khusus untuk walkman yang tergantung di pinggang dengan alat pendengar yang melekat di daun telinga, serdadu di sana sering menyebutnya sebagai "My last Sony".
(Baca juga: Deklarasi Kemerdekaan Catalunya Dikhawatirkan Bisa Membuat Spanyol Terjebak dalam Perang Saudara)
Perang paling kaya
Selama ini tidak ada perang yang mengakibatkan serdadunya begitu kaya oleh berbagai produk, seperti Perang Teluk ini.
Hampir setiap hari tentara AS menerima peti-peti kemas berisi berbagai produk promosi baru. Kebanyakan menggunakan nama-nama pengirim terkenal.
Misalnya saja, si manusia berotot Arnold Schwarzenegger, mengirimkan 5 ton halter ke padang pasir.
Paul Newman yang beberapa tahun ini sukses menjadi produsen Feinkost, ikut ambil bagian dengan 180.000 l Old Fashion Virgin Lemonade.
Paket harian dari tanah air mereka tidak hanya berfungsi sebagai citra perusahaan bersangkutan, tapi juga meredakan saraf mereka yang kelewat tegang, karena terlibat perang.
(Baca juga: Dibuat Kucing-Kucingan, Pesawat Tempur Nazi Ini Jadi Raja Medan Perang dan Merontokkan Puluhan Ribu Pesawat Sekutu)
Nyatanya memang ini berhasil. Yang jelas, keadaan di Vietnam dulu tak sebaik keadaan di sini, demikian kata seorang anggota pasukan elite di saat senggangnya.
Di balik "kemurahan hati" itu tumbuh harapan untuk memperoleh keuntungan besar.
Sekitar 430.000 serdadu yang kehausan beserta keluarga mereka di tanah airnya, sama sekali tidak dilupakan dan mereka dikirimi minuman dingin.
Jadi perusahaan ini berharap pasti ada ribuan orang yang terjaring dan dapat menjadi pelanggan potensial, bila perang usai dan mereka merasa menang perang di Teluk.
"Perang itu sendiri tidak menarik, tapi memiliki aspek itu tadi. Ada pahlawan, kelompok kaya dan kemurahan hati. Sama saja halnya seperti dalam peristiwa-peristiwa olahraga besar," tambah Stewart.
Seberapa besar pandangan sinis terhadap strategi dagang itu, bagi ahli pemasaran AS ini tetap merupakan sesuatu yang normal dalam bisnis.
"Kami, orang-orang kehumasan, menganggap hal ini bagai memasukkan uang ke bank saja," kata Bob Rayfield, profesor komunikasi di Univesitas Cal State Fullerton.
Bahkan Debie Maclnnes, juga profesor dari bagian pemasaran, menambahkan, "Bagi beberapa konsumen memang ini bisa saja menyebalkan, karena bisnis ini memanfaatkan kesempatan dalam suatu krisis nasional dan internasional. Namun bagi orang-orang promosi, ini sangat menarik. Malah ini dianggap sebagai taktik yang jeli. Ya, tentu saja selama kamera TV tidak menyiarkan gambar tentara yang gugur di gurun pasir, sambil memegang barang promosi itu."
Hanya perang yang berlangsung cepat, bersih dan banyak meraih kemenangan yang berguna buat promosi.
Tumpukan mayat yang penuh darah, seperti yang sering terlihat waktu Perang Vietnam, bisa menimbulkan kesan negatif, bahkan mengerikan.
"Memang pada awalnya, para sponsor tidak yakin begitu saja akan keberhasilan Perang Teluk dan mengambil risiko dengan memasang iklan. Misalnya saja memperlihatkan generasi Pepsi sedang menenggak limun di gurun pasir, padahal keesokan harinya mereka sudah menjadi mayat," ujar Dan Koeppel, seorang wartawan ekonomi.
"Tapi saya yakin, sponsor itu juga mengumpulkan materi foto, sehingga seusai perang kita akan menyaksikan foto-foto para serdadu sedang makan, minum semua produk."
Penghentian arus pengiriman barang nampaknya hampir tidak mungkin. Pecahnya Perang Teluk tanggal 17 Januari lalu, juga tidak mengejutkan para produsen.
Malah Henry L. Wyatte, jubir Agen Logistik Pertahanan, mengatakan, "Gelombang pengiriman tidak akan berhenti."
Saat itu juga para serdadu AS bisa membuat foto sebanyak mungkin, berkat sumbangan 40.000 kamera sekali pakai dari Kodak, 500 kamera langsung jadi dan 25.000 film Polaroid yang dikhususkan untuk mengambil kejadian-kejadian istimewa disana.
Bahkan untuk pembuatan film Salam dari garis depan, Perusahaan Montgomery Ward Videorecorder & Kamera mengeluarkan biaya 2 juta dolar AS.
Hadiah yang ditunggu-tunggu dan diterima dengan tepuk tangan riuh serdadu di garis depan, berupa sumbangan alat komputer Atari dengan 60 sistem permainan.
Sebaliknya, mereka memandangi peti-peti kemas yang isinya seakan ingin mengubah padang pasir menjadi salon kecantikan, yaitu sumbangan 20 ton sabun dan pasta gigi, ditambah 5 truk pisau cukur beserta lotion, 448 peti Baby Fresh, pembersih seperti pelembut kulit Skinso-soft, tak lupa juga parfum khusus bagi serdadu.
Perusahaan shampoo Hair Farming bahkan tak lupa menyertakan brosur informasi dengan petunjuk bagaimana mencegah kerontokan rambut akibat sengatan matahari yang hebat.
Arus barang membanjiri para serdadu yang 50% terdiri atas orang kulit hitam itu.
Mereka kebanyakan berasal dari lapisan masyarakat miskin di AS dan tiba-tiba dilimpahi benda-benda tadi, ini benar-benar suatu pengalaman aneh.
"Habis, di sini keperluan bernilai jutaan dolar datang dengan begitu cepat," komentar Sersan Chet Marcus.
Hiburan di padang pasir
Anggota pasukan di padang pasir itu tentu tidak hanya memerlukan makanan dan minuman segar atau alat pembersih tubuh saja, tapi mereka juga harus diberi kesenangan.
"Memelihara pasukan atau mengadakan bisnis pertunjukan di garis depan, sejak dulu juga merupakan salah satu program dalam Angkatan Perang AS.
Dalam PD II saja Glenn Miller dan Marlene Dietrich tampil untuk menghibur tentara-tentara itu. Dalam Perang Korea, Marilyn Monroe dan Jane Russel pun dikirim.
Sedangkan dalam Perang Vietnam, James Brown menyanyi di hutan.
Di Teluk, Pelawak Bob Hope (87) didatangkan untuk membawakan lelucon pada hari Natal tahun lalu, di samping artis muda yang merangsang semangat muda tentara di barak-barak.
Namun, ada juga pertunjukan yang gagal, karena dianggap bertentangan dengan adat-istiadat Arab yang ketat.
Brooke Shields, Marie Osmond dan Pointer Sister tidak diizinkan masuk, karena menurut adat di Arab, kaum wanita hanya boleh masuk dengan seluruh tubuh tertutup rapat.
Brooke sempat mengomel, "Semua itu hanya karena saya masih muda, wanita, masih lajang, dan penghibur."
Sebaliknya, pelawak AS Steve Martin yang boleh masuk berkomentar, "Kami cuma menyalami dan tersenyum kepada mereka. Hanya itu yang bisa kami lakukan."
Yang belum memperoleh kesempatan bersalaman dengan para artis, bisa dihibur dengan film.
Di layar yang bisa dipindah-pindahkan, para serdadu bisa menyaksikan film-film keras seperti Death Wish II yang menampilkan manusia tanpa perasaan, atau Top Gun ditonton sama antusiasnya dengan film-film veteran kungfu Bruce Lee.
Sebaliknya, pasukan Inggris paling suka menonton film komedi Blues Brothers.
Perang Teluk juga mempengaruhi fantasi perusahaan-perusahaan di AS, seperti yang diperlihatkan perusahaan mainan.
Mattel dengan produk khusus Perang Teluk berupa patriot cilik di rumah, "Air Force Barbie", agar anak-anak di rumah pun dapat merawat sendiri "tentaranya".
Lalu pers juga tidak mau ketinggalan. Misalnya, untuk wanita muda yang belum menikah, surat kabar Inggris The Sun menawarkan diri menjadi mak comblang dan membuka semacam rubrik jodoh bagi yang ingin bersuamikan "Pahlawan Perang Teluk".
Kata-kata yang digunakan berbunyi: "Hai kaum wanita, para ksatria Teluk membutuhkan kalian! Kirimkan segera foto kalian pada mereka. Jangan menyia-nyiakan kesempatan berkenalan dengan para pahlawan ...."
Berkenaan dengan moral para serdadu, agen koran Kalifornia punya ide lain. Mereka membuat foto-foto wanita seksi berpakaian army look dan blus khaki, lengkap dengan senjata mesin dan granat.
Gambar-gambar itu dijadikan kalender tahun 1991 dengan judul "Operasi Perisai Gurun 1991".
Tapi gambar-gambar itu tidak ada satu pun yang berhasil menghiasi kemah para serdadu, sebab pemerintah Arab Saudi melarang pengirimannya.
Mungkin juga ada baiknya, sebab kalender itu baru berakhir pada bulan Maret 1992.
Siapa yang mau begitu lama tinggal di padang pasir, sementara Perang Teluk sudah usai sejak tanggal 28 Februari lalu! (Christian Krug/xn)
(Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Mei 1991)