Advertorial
Intisari-Online.com – Tentara Amerika (Sekutu) pernah secara diam-diam membentuk satu pasukan gerilya di Indonesia untuk tugas-tugas pengintaian. Hal ini hanya bisa terwujud ketika Amerika berhasil menduduki Morotai sedang pulau-pulau Indonesia lainnya masih diduduki tentara Jepang.
Menurut catatan yang penulis peroleh dari arsip tentara Amerika di Morotai, pasukan gerilya itu jumlahnya tidak lebih dari 1 kompi dan dilatih di Morotai dalam cara-cara melakukari silent operation.
Menurut arsip tersebut mereka dilatih oleh seorang perwira Amerika dari kesatuan Marinir. Konon perwira ini telah berpengalaman dalam pertempuran di Gualdalcana, Irian Timur, Hollandia (Jayapura), Biak, dan Morotai sendiri.
Penduduk kota Ternate merasa heran
Konon setelah balatentaara Jepang bertekuk lutut, maka secara diam-diam pasukan gerilya pribumi dari pulau-pulau sekitar Halmahera itu mendarat di kota Ternate di malam hari, sehingga pagi-pagi benar Penduduk kota Karesidenan itu merasa amat heran, seolah-olah mereka tentara siluman.
Baca Juga : Ketika Perang Vietnam, Benarkah Gerilyawan Viet Cong Takut Kegelapan?
Selidik punya selidik diketahui kalau mereka didaratkan dari sebuah kapal selam Australia yang berlabuh tidak jauh dari Pelabuhan Ternate.
Tugas pasukan gerilya itu, adalah untuk mengamankan atau menawan tentara Jepang yang menduduki Ternate. Adapun senjata dan perlengkapan pasukan gerilya Pribumi tersebut tidak berbeda dengan persenjataan dan perlengkapan serdadu-serdadu Amerika sendiri.
Yakni senapan jungle-rifle, seragam hijau, koppel riem berlobang-lobang, field pet, botol air minum, rangsel dan lain-lainnya yang kesemuanya bercap Made in USA.
Yang dimasukkan ke Ternate itu tidak lebih dari 2 regu, tapi dirasakan cukup kuat untuk mengawasi 1 kompi tentara Jepang yang sudah kehilangan nyalinya.
Namanya saja sudah tentara gerilya, jadi tanda pangkat tidak pernah ada pada mereka, hanya sang komandan memang ada, yakni orang yang melek huruf, karena hampir seluruh tentara gerilya itu buta hurut, maklum mereka penduduk di daerah-daerah terasing yang amat jauh dari peradaban manusia modern.
Penyakit panu dan kudis masih juga memperkaya kulit-kuluit mereka, sehingga sangat kontras dengan perlengkapan tempur modern yang mereka miliki.
Di kota Ternate itu mereka berasrama di benteng Amsterdam dan selama mereka berada di Ternate itu belum pernah penduduk melihat salah seorang kulit putih, entah pelatih, entah komandan tertinggi mereka, berada di tengah-tengah gerilya pribumi itu, sehingga seolah-olah gerilya itu dibiarkan begitu saja.
Soal makan atau duit, tampaknya takterurus sehingga mereka terpaksa berdikari dan minta jatah dari sisa-sisa persediaan tentara Jepang di Ternate itu.
Baca Juga : Ketika Pasukan Raider Pemburu Gerilyawan Harus Bisa Tidur Nyenyak di Bawah Selembar Matras Saat Hujan Lebat
Jadi tuan yang berkuasa
Jika bangsa Indonesia lainnya belum sempat untuk menjadi tuan yang berkuasa atas orang-orang Jepang, maka mereka boleh dianggap memiliki kesempatan yang pertama untuk berkuasa atas orang-orang yang belum lama ini memerintahnya dengan penuh kekejaman.
Nah kesempatan berkuasa ini agaknya tak disia-siakan orang-orang Indonesia itu, misalnya enak saja memerintahkan orang-orang Jepang itu mencuci pakaian mereka, membawa air, memasak, membeli makanan diluar, mendorong-dorong gerobak, membersihkan benteng, taiso di waktu pagi, berbaris dllnya, pendek kata orang-orang Jepang betul-betul menjadi kuli, sedang yang dulu kuli, sekarang menjadi tuan.
Hanya saja penduduk belum pernah melihat Jepang-jepang itu disakiti oleh gerilya pribumi itu, barangkali saja gerilya-gerilya itu di zaman Jepang belum pernah kena “bagero" dari Jepang, jadi tidak ada nafsu balas dendam.
Bagaimana pasukan gerilya itu dibubarkan?
Semakin lama kekuasaan Belanda mulai mantab di kota Ternate itu, sehingga seorang bintara KNIL yang didrop disana pangkat Sersan major suku Ambon diberi wewenang oleh tentara Belanda untuk mengambil alih komando atas “barang warisan" Amerika yang terlantar itu.
Timbang terima jabatan atau upacara-upacara yang lazim di kalangan militer yang kita ketahui sekarang tidak ada, hanya yang diketahui sersan itu mengunjungi asrama mereka, omong-omong sebentar, selesai sudah.
Suatu ketika bintara KNIL itu mengadakan patroli disepanjang pesisir dengan membawa 6 anggota pasukan gerilya itu, tapi malang bagi Patroli itu karena tiba-tiba perahu motor mereka dilanda ombak besar hingga tenggelam.
Sang bintara KNIL yang malang itu, hilang lenyap sedang anak buahnya selamat. Kembali sang komandan lama mengambil alih pasukan.
Baca Juga : Ketika Merebut Irian Barat, yang Berat Justru Mendapatkan Makanan Saat Gerilya
Suatu ketika sebuah kapal perang Australia type kapal destroyer berlabuh di Ternate, lalu menurunkan seorang kapten tentara Belanda bersama 2 orang bintara KNIL dan isteri serta anak sang kapten itu.
Melihat tawanan Jepang di Ternate itu, sang kapten mengambil keputusan agar tawanan Jepang tersebut cepat-cepat diangkut dari sana karena situasi sudah tidak memungkinkan.
Lalu kapten Belanda tersebut minta bantuan kapten kapal Australia itu yang masih berlabuh selama 3 hari untuk segera angkut tawanan Jepang tersebut.
Orang-orang Australia yang baik hati itu tidak keberatan membawa orang-orang Jepang itu, konon dibawa ke Morotai.
Baca Juga : Surat-surat Pak Dirman yang Ditulis Rapi dengan Tangan Saat di Medan Gerilya
Setelah itu, kapten KNIL yang tangkas bertindak, berpikir lagi kalau begini tentara gerilya itu tak berguna lagi. Lalu dibubarkan begitu saja. Senjata harus ditinggalkan, sedang perlengkapan Iain-lainnya boleh dibawa pulang.
Upacara pembubaran tidak ada. Dan esoknya penduduk melihat mereka menyewa perahu untuk pulang ke pulau-pulau kampung halaman mereka yang banyak tersebar di sekitar Halmahera.
Selesai sudah riwayat tentara gerilya pribumi yang pertama pernah dibentuk Amerika selama Perang Pasifik. (Ditulis oleh Sjam Ar, seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Desember 1971)