Lee mencari tambahan nafkah dengan jadi makelar barang-barang perhiasan di pasar gelap. Ketika datang kesempatan lain untuk mendapatkan nafkah tambahan lewat membuat perekat, ya dilakukannya pula.
Malah lewat bisnis ini pula ia berkenalan dengan calon istrinya, Kwa Geok Choo, juga anak seorang imigran yang lahir di Jawa.
Lee keluar dari Hodobu akhir tahun 1944. Ketika Agustus Jepang dibekuk Sekutu, berakhirlah penderitaan yang dibawa Jepang itu. Lee jadi lebih paham tentang manusia dan masyarakat. Orang Jepang menuntut ketaatan - dan memperolehnya.
Hukuman dibuat demikian berat sehingga tak ada yang berani bertindak kriminal. Jangan-jangan sedikit banyak pengamatan ini mewarnai juga gaya kepemimpinannya di kemudian hari yang cenderung otoriter.
Baca Juga : Lee Kuan Yew: Singapura Memilih Merdeka, karena Malaysia Hanya Ingin Dikuasai Suku Melayu
Sepasang First Class dari Cambridge
Setelah perang berlalu, Lee berangkat ke Inggris untuk belajar ilmu hukum. Dari awal ia sudah mematok target tinggi: lulus dengan predikat First Class. Kuliah dimulai Januari 1947. Yang menggembirakan, Choo pun Oktober tahun itu bisa menyusul ke Inggris dengan fasilitas bea siswa.
Setahun di Inggris Lee berkesempatan mengamati orang Inggris di kandangnya. Masih banyak orang Inggris kalangan bawah yang sangat memandang rendah orang Asia.
Ini membuat dia ragu akankah Inggris mau dan mampu memerintah Malaya dan Singapura demi kepentingan penduduk setempat?
Baca Juga : Lee Kuan Yew Keturunan Semarang?
Lee dan Choo yang sama-sama mengambil jurusan hukum, lulus sebagai ahli hukum dan sama-sama meraih predikat First Class pada 1949. Empat tahun di Inggris, ia sempat menikah diam-diam dengan Choo, dan melihat juga sisi-sisi baik rakyat Inggris.
Kembali ke Singapura pada 1950, akhirnya ia membentuk People Action Party (PAP) pada tahun 1954.
Source | : | intisari |
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR