Advertorial
Intisari-Online.com – Awal September 1965. Lima koresponden dari Inggris dan Australia mewawancarai Perdana Menteri Singapura, negara kota yang baru sebulan usianya.
Menurut Majalah Time terbitan 10 September 1965, dalam wawancara itu Harry Lee Kuan Yew menyebut bahwa Amerika Serikat itu sudah kurang cerdas, kurang bijak pula! Demikianlah pembawaan Lee. Percaya diri. Garang dan agresif.
Berikut ini kisahnya seperti ditulis oleh Lily Wibisono, Lee Kuan Yew Raksasa di Negeri Liliput, yang dimuat di Majalah Intisari edisi Maret 2009.
Enam tahun sebelumnya, Lee Kuan Yew memimpin People's Action Party (PAP) memenangi pemilu secara telak. Empat puluh tiga dari 51 kursi dewan legislatif disapu habis. PAP ia dirikan tahun 1954 bersama beberapa tokoh kelas menengah berlatar belakang pendidikan Inggris.
Baca Juga : TNI AU Ingin Ambil Alih Pengelolaan Ruang Udara yang Bertahun-tahun Dikuasai Singapura, Ini Syaratnya
Partai itu memang bertujuan melancarkan agitasi untuk mengakhiri kekuasaan Inggris di Singapura.
Setelah menang Pemilu, Singapura pertama kalinya memperoleh otonomi dalam semua urusan negara kecuali untuk pertahanan negara dan luar negeri, yang masih dipegang Inggris.
Masa-masa awai itu, terasa benar "aroma sosialis" dan antibaratnya. Foto Ratu Elizabeth II diturunkan, gaji para birokrat Inggris dipotong tanpa ampun, mesin musik juke box dan buku komik dilarang karena dianggap "budaya kuning" tak mutu.
Birokrat tampil tanpa jas dan dasi, cukup kemeja putih. Bagusnya mereka juga dikenal sebagai pemerintahan paling jujur di Asia Tenggara. Tapi berhubung Singapura tidak punya cukup industri yang bisa dinasionalisasi, Lee cepat sadar kalau revolusi gaya sosialis tidak akan mengangkat nasib bayi yang baru lahir ini.
Baca Juga : Menurut Lee Kuan Yew, di Singapura, Komunisme Bisa dengan Mudah Tumbang Gara-gara Hal Ini
la laIu mengundang balik modal yang sudah sempat angkat kaki. Diberlakukanlah pembebasan pajak lima tahun untuk industri baru. Lee melihat peluang saat tahun 1961 PM Malaya Tengku Abdul Rahman usul untuk membentuk Federasi Malaysia yang terdiri atas Malaya, Singapura, Sabah, dan Sarawak.
Didukung oleh hasil referendum, 16 September 1963 Singapura resmi tergabung dalam Federasi Malaysia. Namun, garis nasib bicara lain.
Lahir prematur
Gara-gara awalnya, Lee menolak kebijakan bumiputra yang dianut Malaya. Sebaliknya, United Malays National Organisation (UMNO) yang berkuasa di Malaya khawatir dengan masuknya Singapura yang notabene sebagian besar penduduknya keturunan Cina.
Konfrontasi demikian keras sampai ada suara-suara di UMNO agar Lee ditangkap saja.
Kerusuhan rasial yang menyusul setelah itu akhirnya memaksa PM Malaya Tengku Abdul Rahman mengeluarkan Singapura dari Federasi Malaysia itu. Betapa pun Lee mengupayakan kompromi, 7 Agustus 1965 "akte perceraian" itu terbit juga.
Sebuah tamparan besar bagi Lee. Ibarat bayi prematur, Republik Singapura lahir pada tanggal 9 Agustus 1965.
Menyusul kemerdekaan itu, selama berhari-hari Lee Kuan Yew sulit tidur dan tidak enak badan. Sampai-sampai PM Inggris Harold Wilson ikut prihatin. Lee dan rekan-rekannya segera mengambil langkah-langkah strategis, seperti menjadi anggota PBB (1965), ikut mendirikan ASEAN (1967), dan memperbaiki relasi dengan Indonesia.
Ibarat seorang ayah, Lee keras dan disiplin. Singapura adalah negara yang "lahir tanpa". Tanpa sumber daya alam, tanpa sumber air, tanpa kekuatan militer, dan tanpa-tanpa yang lain.
Baca Juga : Lee Kuan Yew: Prabowo Pernah Berkelakar bahwa Dirinya Bisa Saja Melakukan Kudeta
Betapapun, beranjak dari titik nol, Lee menjadi lokomotif perubahan dan pembangunan sehingga berhasil menarik negara kota itu keluar dari keterbelakangan.
Ada beberapa kata sifat yang selalu berulang setiap kali orang berbicara tentang pemimpin yang satu ini: keras, disiplin, otoriter, tapi bersih dan jujur.
Remaja pemimpin keluarga
Putra sulung Lee Chin Koon dan Chua Jim Neo ini adalah generasi keempat imigran Cina di Singapura. la punya tiga adik perempuan dan satu adik laki-laki. Kakek buyutnya, Lee Bok Boon (lahir 1846) adalah orang Hakka berasal dari Dapu, Guangdong, yang hijrah ke Selat Malaka pada 1862.
Lee lahir di rumah yang luas dan berudara segar, karena ayahnya orang berada. Masa kanak-kanak Lee akrab dengan dunia adu layang-layang, gasing, kelereng, dan ikan cupang. Lee juga banyak membaca.
Baca Juga : Lee Kuan Yew: Komunis di Singapura Tumbang karena Rakyat Butuh Kesejahteraan, Bukan Slogan dan Pidato
Kalau tergantung Ayah, kemungkinan besar masa depan anak-anak keluarga Lee sudah ludes di meja judi. Beruntung, ibu mereka hebat. Dari Ibu pula Lee mewarisi watak yang kuat, banyak energi dan panjang akal.
Sudah sejak usia belasan tahun Lee diasah jiwa kepemimpinannya karena sering dimintai saran oleh Ibu.
Diawali dengan bersekolah di sekolah nelayan, lalu meningkat ke sekolah berbahasa Inggris di Teluk Kuaru, tahun 1935 ia lulus peringkat pertama sehingga diterima di Raffles Institution.
Di sana ia aktif di kepramukaan, bermain kriket, tenis, berenang, dan debat. Hanya karena suka jahil saja ia tidak pernah diangkat menjadi prefect (ketua OSIS). la juga pernah kena hajar sabetan rotan karena tiga kali terlambat.
Kedamaian hidup remajanya serta-merta pupus begitu bom pertama dijatuhkan dari pesawat Jepang, 8 Desember 1941. Seperti di Indonesia, di Singapura pun tentara Jepang menebarkan ketakutan. Tubuh pendek, menyandang bedil berbayonet, mereka garang bukan main.
Lee sendiri sempat beberapa kali merasakan tamparan serdadu Jepang. Juga nyaris jadi korban pembantaian acak saat disekap di suatu kawasan permukiman.
Melewati usia 20, ia diterima bekerja sebagai redaktur di departemen penerangan Jepang. Namanya Hodobu, di Syonan Shimbun. Tugasnya menerjemahkan berita-berita kawat dari kantor-kantor berita dunia.
Sementara itu hidup makin susah, makanan semakin langka. Bensin pun lenyap sehingga arang dan kayu bakar dijadikan BBM untuk taksi!
Baca Juga : Lee Kuan Yew: Diam-diam Menjalin Kerja Sama dengan Militer Israel dengan Menyebut Mereka 'Orang Meksiko'
Lee mencari tambahan nafkah dengan jadi makelar barang-barang perhiasan di pasar gelap. Ketika datang kesempatan lain untuk mendapatkan nafkah tambahan lewat membuat perekat, ya dilakukannya pula.
Malah lewat bisnis ini pula ia berkenalan dengan calon istrinya, Kwa Geok Choo, juga anak seorang imigran yang lahir di Jawa.
Lee keluar dari Hodobu akhir tahun 1944. Ketika Agustus Jepang dibekuk Sekutu, berakhirlah penderitaan yang dibawa Jepang itu. Lee jadi lebih paham tentang manusia dan masyarakat. Orang Jepang menuntut ketaatan - dan memperolehnya.
Hukuman dibuat demikian berat sehingga tak ada yang berani bertindak kriminal. Jangan-jangan sedikit banyak pengamatan ini mewarnai juga gaya kepemimpinannya di kemudian hari yang cenderung otoriter.
Baca Juga : Lee Kuan Yew: Singapura Memilih Merdeka, karena Malaysia Hanya Ingin Dikuasai Suku Melayu
Sepasang First Class dari Cambridge
Setelah perang berlalu, Lee berangkat ke Inggris untuk belajar ilmu hukum. Dari awal ia sudah mematok target tinggi: lulus dengan predikat First Class. Kuliah dimulai Januari 1947. Yang menggembirakan, Choo pun Oktober tahun itu bisa menyusul ke Inggris dengan fasilitas bea siswa.
Setahun di Inggris Lee berkesempatan mengamati orang Inggris di kandangnya. Masih banyak orang Inggris kalangan bawah yang sangat memandang rendah orang Asia.
Ini membuat dia ragu akankah Inggris mau dan mampu memerintah Malaya dan Singapura demi kepentingan penduduk setempat?
Baca Juga : Lee Kuan Yew Keturunan Semarang?
Lee dan Choo yang sama-sama mengambil jurusan hukum, lulus sebagai ahli hukum dan sama-sama meraih predikat First Class pada 1949. Empat tahun di Inggris, ia sempat menikah diam-diam dengan Choo, dan melihat juga sisi-sisi baik rakyat Inggris.
Kembali ke Singapura pada 1950, akhirnya ia membentuk People Action Party (PAP) pada tahun 1954.
Program KB yang terlalu berhasil
Sepanjang kariernya menjabat perdana menteri selama lima masa jabatan, Lee tak pernah lalai melakukan kampanye sosialisasi program. Selain "Speak Mandarin", di akhir dekade '60-an, ia meluncurkan program KB ala Singapura dengan kampanye "Stop at Two".
Baca Juga : Dinasti Keluarga Lee Kuan Yew di Pemerintahan Singapura
Program itu jadi "terlalu" sukses yang dibuktikan dengan didirikannya pada tahun 1994 lembaga makcomblang bernama Social Development Unit untuk membantu kalangan muda-mudi terdidik di Singapura saling bergaul!
Tentang bahasa nasional, bahasa Inggris tetap menjadi bahasa pemersatu dan bahasa kerja, sedangkan bahasa Melayu, Cina Mandarin, dan Tamil ditetapkan sebagai bahasa resmi.
Lee mundur dari jabatan perdana menteri pada 1990, dan kini menduduki kursi kehormatan sebagai Minister Mentor.
Tongkat estafet perdana menteri kini dipegang oleh putranya, Lee Hsien Loong. Semuanya ditatanya dengan matang.
Baca Juga : 6 Fakta Menarik Lee Kuan Yew sang Founding Father Singapura
Dari negara berkembang sarang malaria dengan penduduk 1,6 juta, Singapura telah beralih rupa jadi salah satu negara paling maju dengan penghasilan per kapita AS $ 32,470, menyalip Hongkong.
Kini di usia senjanya, suaranya masih sangat didengar. Meski para pengritik makin gencar menggugat soal keterbukaan politik, tak ada yang dapat mengingkari jasa dan cinta Lee Kuan Yew untuk Singapura.
Inilah sosok raksasa di negeri Liliput, yang telah menciptakan keajaiban hanya dalam satu generasi.
Baca Juga : Lee Kuan Yew: Saksi 'Perkawinan' Sekaligus 'Perceraian' Federasi Malaysia