Seorang tunanetra anggota Merpati Putih pernah bikin seorang sopir taksi terheran-heran karena mampu menunjukkan arah perjalanan.
Dari Pulogadung anggota yang tunanetra itu bermaksud pergi ke Wisma Pertamina di Kemang, Jakarta Selatan, dengan naik taksi.
Ketika mendekati daerah tujuan, si penumpang berkata, “Jalan ini terus, lalu rumah joglo di depan itu maju sedikit."
Daldm Merpati Putih yang telah mendapat hak paten pada April 1998, membedakan warna dari jarak jauh dengan mata, tertutup konon bisa dilakukan.
Setiap wama, kata Budi, memiliki panjang gelombang yang berbeda.
Benar bila dikatakan bahwa perbedaan ditentukan oleh panas, namun panas akan mengejawantah menjadi getaran.
Beda panas berarti pula beda panjang gelombang. Dengan hanya mengandalkan panas, pembedaan hanya bisa dilakukan dari dekat.
Untuk melihat dari jauh, yang ditangkap adalah panjang gelombangnya.
"Selain itu perlu kepekaan tinggi karena perbedaan panjang gelombang sinar putih, hijau, dan biru sangat kecil, hanya sepersekian puluh Angstrom atau sepersekian miliar meter.
Padahal sampai sekarang pun belum ada alat buatan manusia yang mampu melakukan pekerjaan itu," jelas Budi.
Bayangkan saja, di dalam mobil yang melaju dengan kecepatan 120 km/jam, seorang tunanetra anggota Merpati Putih lain mampu menjawab dengan tepat warna apa yang ada di kiri-kanannya.
"Tidak heran pula, jika anak saya yang buta warna setelah berlatih ilmu ini bisa diterima kuliah di jurusan arsitektur," ujar Budi memberi contoh bagaimana kemampuan itu tak cuma mampu membuat mereka lebih mandiri, namun diharapkan juga bermanfaat meningkatkan harkat hidup mereka.
la mencontohkan lagi, di Bali sudah ada tunanetra yang jadi pemahat. Bahkan uniknya lagi, ada yang berprofesi sebagai tukang foto.
Saat memotret, menurut Budi, ia tidak mengintip dari jendela bidik. Kamera bisa ia pegang pada posisi yang ia suka namun sasarannya selalu tepat.
Anehnya lagi, si juru foto yang tunanetra itu bisa mengatur susunan objek foto, apakah harus maju sedikit, lebih-merapat, atau posisi lainnya.
Bagi Budi pengalaman menunjukkan, melatih tunanetra lebih mudah dibandingkan orang biasa. "Tentu karena mereka (tunanetra) sudah terbiasa mengandalkan inderanya di luar penglihatan, apakah telinga, tangan, atau penciuman."
Tak heran bila anggota Merpati Putih yang bukan penyandang tunanetra, sesuai kurikulum baru akan menguasai "ilmu getaran" dalam waktu' tiga tahun," sedangkan yang tunanetra langsung diajari ilmunya.
"Merpati Putih memberi latihan sesuai kebutuhan. Artinya, yang tunanetra sangat membutuhkan ilmu getaran agar dapat bergerak normal. Bagi yang normal ilmu getaran hanya penunjang agar bereaksi lebih cepat dalam bela diri," papar Budi.
Kemampuan itu konon bersifat abadi. Bagi yang tunanetra, menurut Budi, kemampuan yang dimiliki akan terjaga karena dipakai setiap saat. Buat orang biasa, kalaupun tidak rajin berlatih, kemampuannya tidak akan hilang meski mungkin kualitasnya menurun atau tidak selancar dibandingkan dengan yang rajin berlatih.
(Shinta Teviningrum)
(Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Mei 1999)
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR