Intisari-Online.com – Kemampuan melihat tanpa mata sebenarnya sudah dimiliki oleh setiap orang, namun sering tidak disadari.
Misalnya, pada hubungan batin antara ibu dan anak. Saat si anak sakit, sang ibu bisa merasakan padahal keduanya berada di tempat terpisah yang berjauhan.
Kemampuan ini disebabkan oleh adanya medan listrik yang menyelubungi tubuh manusia, yang lebih dikenal sebagai aura atau prana.
Karena itu, seluruh bagian tubuh bisa digunakan untuk mengenali getaran dari benda-benda di sekitar. Kemampuan dasar ini bisa dilatih agar makin kuat listrik dan kepekaannya.
(Baca juga: Misteri Melihat Tanpa Mata: Bahkan Seorang Tunanetra pun Bisa Membaca Buku Biasa ... dengan Ujung Jarinya)
(Baca juga: Misteri Lima Gigi yang ‘Terjebak’ dalam Tumor Ovarium para Kerangka Berusia 500 Tahun)
(Baca juga: Misteri Jembatan Adam yang Konon Dibuat Hanoman dan Rama untuk Menjemput Shinta di Alenka?)
Makin kuat listriknya, makin luas medannya, maka makin luas pula jangkauannya. Ketebalan aura bisa dilihat dengan melakukan pemotretan fotografi Kirlian.
"Sering terjadi, anggota Merpati Putih yang menjalani pemotretan ini sinar auranya meemenuhi lembar (kertas) foto," kata- Budi.
Namun meski semua orang - asalkan telaten berlatih - bisa mempelajari dan mendapatkan kemampuan itu, ada orang-orang tertentu yang - berbakat bisa memiliki kemampuan yang lebih besar.
Contoh hubungan batin ibu-anak itu juga menjelaskan, kemampuan itu tidak terbatasi oleh ruang dan waktu.
Dengan menumpang medan magnet bumi, kemampuan itu bisa mencapai sasaran yang lebih jauh.
Itulah mengapa kemampuan itu bisa digunakan untuk membantu penyembuhan jarak jauh dengan getaran.
Pembuktian adanya kemampuan itu pernah, dilakukan melalui uji deteksi nuklir atau radiasi dari isotop yang disembunyikan.
Saat itu petugas Batan menggunakan detektor, sedangkan anggota Merpati Putih mengandalkan ilmu getarannya.
Sebelum mencarinya, jenis getaran isotop sudah dipelajari lebih dulu. Mereka memulai pencarian, bersama-sama, namun menurut Budi, anggota Merpati Putih lebih cepat menemukannya.
Sebab, detektor baru menangkap gelombang dalam radius 0,5 m, sedangkan "ilmu getaran" - mampu mengetahuinya dalam jarak 15 m.
Padahal saat itu kedua mata anggota Merpati Putih dalam keadaan tertutup rapat.
“Tapi keadaan itu justru menguntungkan karena konsentrasinya menjadi kuat. Selain itu, mengurangi energi yang sebenarnya tidak terlalu diperlukan, misalnya ke mata," papar Budi.
Tak cuma untuk mencari isotop, ilmu getaran bisa dipakai untuk melacak benda apapun yang tersembunyi.
"Maka ilmu ini sangat bermanfaat untuk mencegah penyelundupan obat terlarang, narkotika, atau benda apa pun," akunya.
Uji coba lain yang pernah dilakukan adalah menjadikan anggota Merpati Putih yang sebelumnya tidak pernah jadi kiper, untuk menepis tendangan penalti.
Dari 50 tendangan yang mengarah ke gawang, hanya empat yang mampu membuahkan gol.
Artinya, 92% tendangan berhasil ditepis si "kiper" yang ditutup kedua matanya.
Kiper biasa akan mengandalkan indera mata untuk menilai gerak-gerik penendang, namun "kiper" Merpati Putih akan membaca langsung getaran otak si penendang yang berisi rencana ke mana bola diarahkan.
"Maka data yang diperoleh lebih banyak dan akurat, sehingga ia tidak mudah tertipu oleh gerak-gerik penendang," ujar Budi.
Juru foto tunanetra
Pada tahun 1987 Budi memperkenalkan "ilmu getaran" ini kepada tunanetra. Mula-mula ia mengajarkannya kepada beberapa tukang pijat tunanetra.
Sebelumnya, usai berlatih, setiap orang mendapat ganti rugi ongkos pijat selama satu jam karena waktu yang terbuang. Namun, 2 - 3 bulan kemudian setelah merasakan manfaatnya, mereka tetap berlatih meski tanpa dibayar.
Dari situlah kemudian terselenggara latihan untuk para tunanetra dari 12 kota di wilayah Jawa dan Bali secara gratis. Ia berusaha mengumpulkan dana untuk penyelenggaraan itu mengingat sebagian besar tunanetra berasal dari kalangan ekonomi lemah.
Saat ini kegiatan itu dihentikan untuk sementara waktu karena ketiadaan dana. Yang terselenggara adalah program swasembada yang dinamai The Mission Impossible.
Program ini bertujuan melatih tunanetra agar dapat seperti orang normal
Program untuk tunanetra itu mencakup tiga tahap pelajaran. Tahap pertama orientasi mobilitas, kedua belajar mendeteksi benda, dan tahap terakhir mendeteksi huruf serta warna.
Masing-masing tahap selesai dalam waktu enam bulan.
Maka setelah belajar selama 18 bulan peserta dapat menghindari rintangan yang ada di jalan, membedakan antara benda diam dan benda bergerak, mengenali kecepatan dan jarak, serta menyatakan ukuran benda tanpa melakukan sentuhan.
Selain itu, peserta juga mampu membaca dan menulis tanpa huruf braille. Bahkan juga membaca teks di layar komputer, koran, dan lainnya.
Seorang tunanetra anggota Merpati Putih pernah bikin seorang sopir taksi terheran-heran karena mampu menunjukkan arah perjalanan.
Dari Pulogadung anggota yang tunanetra itu bermaksud pergi ke Wisma Pertamina di Kemang, Jakarta Selatan, dengan naik taksi.
Ketika mendekati daerah tujuan, si penumpang berkata, “Jalan ini terus, lalu rumah joglo di depan itu maju sedikit."
Daldm Merpati Putih yang telah mendapat hak paten pada April 1998, membedakan warna dari jarak jauh dengan mata, tertutup konon bisa dilakukan.
Setiap wama, kata Budi, memiliki panjang gelombang yang berbeda.
Benar bila dikatakan bahwa perbedaan ditentukan oleh panas, namun panas akan mengejawantah menjadi getaran.
Beda panas berarti pula beda panjang gelombang. Dengan hanya mengandalkan panas, pembedaan hanya bisa dilakukan dari dekat.
Untuk melihat dari jauh, yang ditangkap adalah panjang gelombangnya.
"Selain itu perlu kepekaan tinggi karena perbedaan panjang gelombang sinar putih, hijau, dan biru sangat kecil, hanya sepersekian puluh Angstrom atau sepersekian miliar meter.
Padahal sampai sekarang pun belum ada alat buatan manusia yang mampu melakukan pekerjaan itu," jelas Budi.
Bayangkan saja, di dalam mobil yang melaju dengan kecepatan 120 km/jam, seorang tunanetra anggota Merpati Putih lain mampu menjawab dengan tepat warna apa yang ada di kiri-kanannya.
"Tidak heran pula, jika anak saya yang buta warna setelah berlatih ilmu ini bisa diterima kuliah di jurusan arsitektur," ujar Budi memberi contoh bagaimana kemampuan itu tak cuma mampu membuat mereka lebih mandiri, namun diharapkan juga bermanfaat meningkatkan harkat hidup mereka.
la mencontohkan lagi, di Bali sudah ada tunanetra yang jadi pemahat. Bahkan uniknya lagi, ada yang berprofesi sebagai tukang foto.
Saat memotret, menurut Budi, ia tidak mengintip dari jendela bidik. Kamera bisa ia pegang pada posisi yang ia suka namun sasarannya selalu tepat.
Anehnya lagi, si juru foto yang tunanetra itu bisa mengatur susunan objek foto, apakah harus maju sedikit, lebih-merapat, atau posisi lainnya.
Bagi Budi pengalaman menunjukkan, melatih tunanetra lebih mudah dibandingkan orang biasa. "Tentu karena mereka (tunanetra) sudah terbiasa mengandalkan inderanya di luar penglihatan, apakah telinga, tangan, atau penciuman."
Tak heran bila anggota Merpati Putih yang bukan penyandang tunanetra, sesuai kurikulum baru akan menguasai "ilmu getaran" dalam waktu' tiga tahun," sedangkan yang tunanetra langsung diajari ilmunya.
"Merpati Putih memberi latihan sesuai kebutuhan. Artinya, yang tunanetra sangat membutuhkan ilmu getaran agar dapat bergerak normal. Bagi yang normal ilmu getaran hanya penunjang agar bereaksi lebih cepat dalam bela diri," papar Budi.
Kemampuan itu konon bersifat abadi. Bagi yang tunanetra, menurut Budi, kemampuan yang dimiliki akan terjaga karena dipakai setiap saat. Buat orang biasa, kalaupun tidak rajin berlatih, kemampuannya tidak akan hilang meski mungkin kualitasnya menurun atau tidak selancar dibandingkan dengan yang rajin berlatih.
(Shinta Teviningrum)
(Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Mei 1999)