Para pendekar itu duduk bersimpuh berhadapan, sedang para peserta mengelilingi arena. Bila permainan dimulai, mereka saling berebut duluan.
Biasanya anak-anak kecil yang terampil, bisa main dulu. Itulah sebabnya terkadang ada seorang lawan yang besar lagi pintar melawan orang yang kecil lagi ilmunya belum seberapa. Tetapi adakalanya mereka dengan cepat mencari lawan yang setanding.
Bila dua lawan sudah berhadapan, mereka bercelana kolor hitam dengan sarung dililit di pinggang tak berbaju, tapi berikat kepala hitam. Salah seorang memulai mencambuk dengan memegangi sarung di pinggang lawannya, sementara itu tetabuhan yang terdiri dari gambang dan kendal dipukul.
Keduanya mulai menari-nari, sambil mengejek-ejek seperti mau meruntuhkan lawannya itu dengan ejekan saja.
Begitu cambuk berkelebat, bunyinya kadang seperti tembakan, dan bila kena, maka lawan yang dikenai itu cuma mengatakan, “Ah, belum apa-apa! Ayo coba sekali lagi!”
Maka mereka pun mulai lagi untuk pukulan kedua sampai ketiga kali, barulah berhenti mencambuk. Lawan yang hendak dicambuk juga memegang cambuk untuk menghindari.
Dulu, sebelum dilarang, orang mengisi cambuk dengan paku dan benda tajam lainnya, hingga jika cambuk itu mengenai punggung tentu saja segera mengeluarkan darah. Tetapi anehnya, karena kepandaian ilmu mereka, darah itu disapu dengan tangannya, dan luka itu pun tertutup kembali.
Kekejaman demikian akhirnya dilarang, karena banyak anak yang belum mampu memiliki ilmunya jatuh sebagai korban.
Baca juga: 5 Tradisi Pernikahan Aneh di Afrika, Salah Satunya Pengantin Didampingi di Malam Pertamanya
Upacara Tiban sendiri berlangsung dua hari, pada hari terakhir para jagoan turun bertanding dengan serunya.
Source | : | intisari |
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR