Advertorial

Rupiah Tembus Rp14 Ribu per Dolar AS, Bisnis AS Tidak Terus Naik, Justru Ekonomi Indonesia Lebih Baik

Adrie Saputra
Adrie Saputra
,
Mentari DP

Tim Redaksi

Kurs rupiah kembali melemah terhadap dolar AS akhir-akhir ini. Wajar jika banyak orang khawatir. Namun faktanya ekonomi Indonesia arahnya lebih baik.
Kurs rupiah kembali melemah terhadap dolar AS akhir-akhir ini. Wajar jika banyak orang khawatir. Namun faktanya ekonomi Indonesia arahnya lebih baik.

Intisari-Online.com - Kurs rupiah kembali melemah terhadap dolar AS akhir-akhir ini.

Wajar jika banyak orang khawatir.

Kurs rupiah terhadap mata uang Paman Trump, untuk menyebut istilah baru selain Paman Sam, masih melemah.

Hari ini (27/8/2018), 1 dolar AS setara dengan Rp14.572.

Baca juga:Lulus dari 4 Jurusan Kuliah Ini Dijamin Mudah Dapatkan Kerjaan

Fluktuasi nilai tukar rupiah belakangan ini patut dicermati.

Jika rupiah terus melemah, efek beruntunnya harus diperhatikan oleh para investor dan pengambil kebijakan ekonomi Indonesia.

Termasuk masyarakat Indonesia yang bertransaksi dengan rupiah di dalam negeri.

Agar kamu memahami situasi ini dengan kepala dingin, mari kita ikuti penjelasan dari dua pakar ekonomi dan investasi kepada HaloMoney.co.id, beberapa waktu lalu.

Kedua pakar ekonomi tersebut adalah Budi Hikmat, investment strategist dan wealth educator Bahana TCW Investment Management dan Arif Budimanta, pakar ekonomi yang kini menjabat Wakil Ketua Umum Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN), salah satu lembaga yang memberikan pendapat ekonomi kepada Presiden Joko Widodo.

Budi Hikmat, Investment Strategist dan Wealth Educator Bahana TCW Investment Management

Mengapa rupiah terus tertekan dan berimbas pada bursa saham Indonesia sejak Februari 2018 lalu?

Pelemahan rupiah memang sangat besar pengaruhnya pada bursa saham Indonesia.

Ketika rupiah melemah seperti terjadi tahun 2013, saat itu tertekan hingga 26 persen, itu sangat menekan aset saham dan surat utang negara.

Di dua tahun terakhir di 2016 dan 2017 ketika rupiah stabil, kinerja kedua aset tersebut sangat baik.

Sepanjang tahun ini hingga 27 April, rupiah melemah 2 persen, kedua aset tersebut dalam posisi minus, masing-masing minus 6,9 persen (bursa) dan 0,9 persen (surat utang negara).

Ini frame work yang saya gunakan untuk melihat situasi.

Data terbaru masih saya elaborasi untuk macro update awal Juli 2018.

Mengapa rupiah terus melemah?

Akibat faktor eksternal atau internal?

Baca juga:Kurs Ringgit Juga Anjlok, Ekonomi Malaysia Melemah, Ekonomi Indonesia Kok Malah Tumbuh Pesat?

Kebijakan stimulus tax cut di Amerika yang dibuat oleh Presiden Trump ini seperti menyiram bensin kepada sesuatu yang sedang terbakar karena ekonomi AS sedang menguat.

Inilah yang membuat the Fed meningkatkan suku bunga acuannya.

The Fed sejak akhir 2015 sudah mengurangi stimulus dan menaikkan suku bunganya. Tadinya dipertahankan mendekati 0 persen.

Tahun ini diperkirakan The Fed akan menaikkan dua atau tiga kali lagi sehingga menjadi empat kali sejalan dengan penurunan tingkat pengangguran dan kenaikan upah pekerja AS.

Selain meningkatkan suku bunga, the Fed mengurangi stimulus lainnya yakni mengurangi quantitative. Kita tahu setelah krisis 2008, the Fed melonggarkan likuiditas dengan membeli surat utang negara dan korporasi di AS.

Langkah ini disebut quantitative easing dengan tujuan agar likuiditas di AS meningkat.

Ini alasan mengapa ekonomi global saat ini membaik, dimotori oleh Amerika, China, Eropa. Akibatnya harga komoditas seperti energi meningkat.

Sehingga kondisi ini harus disikapi pemerintah dan investor.

Bagaimana prospek ekonomi AS benarkah akan terus membaik?

Proyeknya bisa kita lihat dari leading indicator.

Ini yang jarang dibahas di banyak pertemuan.

Yaitu yield spread obligasi AS yang short term dan long term ternyata menipis.

Ini menandakan siklus bisnis di Amerika tidak akan terus naik tinggi.

Polanya, tren yield spread yang positif mengawali penguatan ekonomi, demikian pula sebaliknya, jika trendnya negatif, maka ekonomi AS akan melambat.

Dengan yield spread di AS yang menipis, diduga ekonomi AS tidak terlalu ekspansif sehingga The Fed diduga tidak akan terlalu tinggi dari proyeksi pertumbuhan ekonomi AS.

Jelas tidak mungkin suku bunga the Fed akan melebihi pertumbuhan ekonomi AS karena itu akan membunuh pertumbuhan ekonomi AS.

Baca juga:Harga Kondom Jutaan Rupiah, Berhubungan Intim dengan Aman Jadi 'Kemewahan' bagi Warga Venezuela

Ini pula yang melandasi kondisi dolar AS ke depan yang diduga tidak terlalu kuat.

Investor tentu akan memindahkan asetnya ke negara-negara yang memberikan peluang pertumbuhan yang lebih baik.

Tapi mengapa investor asing masih keluar dari pasar keuangan RI?

Sejak Mei 2017 asing menunjukkan outflow (aliran uang keluar dari pasar keuangan Indonesia). Tahun ini setelah sempat naik, namun kemudian terus turun.

Ini sangat terkait dengan keraguan investor asing terkait dengan polemik penurunan daya beli yang terjadi sejak tahun lalu.

Tetapi di obligasi justru terjadi inflow (uang masuk) dari investor asing hingga mencapai angka tertinggi Rp 880 triliun.

Ini terjadi setelah kenaikan peringkat (rating upgrade) terhadap surat utang negara. Namun mulai berubah sejak Januari setelah terjadi perubahan yield obligasi di AS.

Kemudian di April terjadi penurunan lagi akibat penurunan nilai tukar rupiah.

Investor menduga mendekati pemilu, kebijakan pemerintah akan cenderung populis dalam bentuk menahan subsidi energi padahal harga minyak dunia sedang naik.

Di masa lalu, kebijakan populis ini cenderung membuat rupiah melemah.

Jadi secara umum investor saham meragukan kecepatan pemulihan ekonomi, dan kembali melemah karena ada risiko nilai tukar rupiah.

Pelemahan nilai tukar rupiah ini karena ada rotasi aset para investor yang diduga dipindah ke negara lain.

Bagaimana sebaiknya kebijakan pemerintah mengatasi harga minyak?

Ujian bagi pemerintah sekarang ialah harus tanggap mengantisipasi harga minyak karena ini berkorelasi dengan defisit neraca minyak.

Pemerintah harus mempercepat reformasi di sektor energi dan transportasi.

Kita harus mendorong teknologi dan sistem transportasi yang tidak tergantung pada minyak yang mempengaruhi pergerakan rupiah.

Forecast consensus Bloomberg di akhir 2018, rupiah kembali menguat karena pelemahan rupiah sekarang terkait dengan musim emiten menyiapkan cash dividend untuk investor asing.

Seperti Telkom harus membayar dividen kepada Singtel selaku pemegang saham terbesar Telkomsel.

Penjelasan lengkap, termasuk pengaturan lalu lintas devisa, baca di blog HaloMoney.co.id.

Baca juga:Bertaruh Nyawa, 21 Orang Ini Hadapi 10.000 Musuh dalam Pertempuran Saragarhi

Arif Budimanta, Wakil Ketua Komisi Ekonomi dan Industri Indonesia (KEIN)

Rupiah terus melemah, apakah fundamental ekonomi kita sedang dalam trend negatif?

Dari sisi neraca, posisi defisit neraca keuangan kita relatif lebih baik dalam tiga tahun terakhir. Dari sisi fundamental juga bukan suatu masalah.

Maksud saya track ekonomi kita mengarah lebih baik.

Memang tantangan kita dalam membuat current account surplus adalah dalam primary income, jasa, dan neraca perdagangan.

Momentum menguatnya dolar AS ini sebenarnya sangat baik sekali untuk meningkatkan daya saing ekspor kita.

Dengan tren kenaikan suku bunga Amerika Serikat secara bertahap, karena ekonominya membaik, dalam konteks ini kita harus melihat sebagai sebuah peluang.

Sebab Amerika adalah salah satu mitra dagang penting Indonesia sehingga diplomasi perdagangan kita ke Amerika harus kita perkuat.

Misalnya sawit.

Kita harus bisa ekspor sawit ke AS dan mengatakan minyak sawit kita adalah renewable resources.

Ini paling penting sehingga kuota kita lebih bagus dan hambatan produk kita ke AS lebih mudah dan longgar.

Mengapa sektor jasa sejak dulu sampai sekarang selalu defisit?

Sektor yang selalu menjadi faktor pengurang dalam current account memang adalah jasa. Ini adalah PR lama kita sejak dulu.

Sekarang pemerintah sedang bangun infrastruktur, pelabuhan, itu sebenarnya untuk menekan agar neraca jasa kita bisa lebih baik.

Baca juga:Bangga! Untuk Pertama Kalinya, Indonesia Masuk Negara dengan GDP Lebih Dari 1 Triliun Dolar

Misalnya di sektor jasa ini adalah pelayaran dari luar negeri sehingga butuh dolar.

Ini terjadi dari dulu sampai sekarang sehingga kebutuhan dolar di dalam negeri cukup tinggi untuk membayar jasa perusahaan asing yang jasanya digunakan untuk perdagangan internasional.

Ini yang harus dikurangi.

Menurut pandangan kami, kita harus memanfaatkan kebijakan yang ada di dunia seperti One Belt One Road (OBOR) disatukan dengan poros maritim Indonesia.

Ini bisa mengurangi pembayaran dolar di sektor jasa.

Dari dulu jasa dalam negeri belum siap juga ya untuk menopang perdagangan internasional?

Tidak selalu karena bukan masalah siap atau tidak siap perusahaan dalam negeri, tapi pelaku usaha selalu melihat dari sisi ekonomisnya.

Misalnya dari sisi pelayaran, belum tentu perusahaan dalam negeri lebih murah dari perusahaan pelayaran global yang melayani perdagangan antar negara.

Di sinilah diplomasi perdagangan kita harus bergerak untuk menekan defisit di sektor jasa dalam current account.

Misalnya kita memperkuat pelabuhan yang paling dekat dengan jalur OBOR atau jalur perdagangan dengan 64 negara yang dimotori China.

Apakah Priok atau di Kalimantan dan Sulawesi?

Sehingga pemerintah akan memprioritaskan industri yang ada di sekitar pelabuhan tersebut.

Neraca perdagangan kita dengan China masih negatif sehingga OBOR harus dimanfaatkan untuk mempersempit defisit neraca perdangan.

Bahkan seharusnya bisa seimbang, tidak defisit lagi.

Dan China kita tahu juga membawa uang mereka.

Tidak harus membangun di Jawa dalam konteks OBOR ini, mengapa tidak di luar Jawa yang dekat dengan jalur OBOR. (Bambang Priyo Jatmiko)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Rupiah Terus Melemah, Simak Penjelasan Dua Ekonom Ini"

Baca juga:Lulus dari 4 Jurusan Kuliah Ini Dijamin Mudah Dapatkan Kerjaan

Artikel Terkait