Advertorial
Intisari-Online.com -Setelah Proklamasi Kemerdekaan RI dikumandangkan pada 17 Agustus 1945, pemerintah RI yang masih sangat muda belum memiliki Angkatan Udara (AURI) tapi memiliki sejumlah pesawat terbang peninggalan Jepang.
Presiden Soekarno (Bung Karno) sendiri saat itu sudah memerintahkan untuk dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) untuk mempersatukan para pejuang yang kemudian pada 5 Oktober 1945 berubah nama menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
Komandan sementara dan sekaligus Kepala Staf TKR dipimpim oleh Urip Sumohardjo yang pernah menjadi perwira KNIL berpangkat mayor.
TKR kemudian dengan cepat dibentuk di tiap kota, dan khusus untuk membentuk TKR di Yogyakarta, Bung Karno memerintahkan mantan tentara Belanda yang juga seorang penerbang, Suryadi Suryadarma yang saat itu ada di Bandung, untuk berangkat ke Yogya.
Ketika Berada di Yogyakarta, Suryadi Suryadarma mendapat informasi bahwa banyak pesawat-pesawat tempur Jepang ditinggalkan dan berada di sejumlah lokasi seperti Madiun, Semarang, Malang, Yogyakarta dan lainnya.
Suryadarma lalu menemui Urip untuk memberi tahu tentang banyaknya pesawat Jepang yang ditinggalkan, jika dimanfaatkan bisa untuk membentuk TKR Udara.
Urip lalu menyampaikan ide ke Menteri Pertahanan Sultan HB IX perlunya dibentuk TKR Udara dan ternyata disetujui.
Suryadarma sendiri kemudian dipercaya untuk memimpin TKR Udara sekaligus mengembangkannya.
Setelah TKR Udara dibentuk, Suryadarma lalu menghubungi rekan lamanya yang merupakan penerbang lulusan Sekolah Penerbangan Militer Belanda dan memiliki ijasah Groot Militair Brevet (GMB), Agustinus Adisutjipto, untuk ikut membangun kekuatan udara.
Tapi meski memiliki ijasah sebagai penerbang, Adisutjipto selama tiga tahun pendudukan Jepang sudah’menganggur’ dan malah pekerja pada perusahaan bus di Salatiga yang dikelola Jepang.
Selama tiga tahun tidak menerbangkan pesawat jelas akan beresiko tinggi jika Adisutjipto disuruh menerbangkan pesawat lagi secara tiba-tiba.
Berbekal pengalaman sebagai penerbang di era kolonial Belanda, Adisutjipto pun bersedia membantu Suryadarma dan mereka kemudian berangkat ke Yogyakarta.
Baca juga:Leo Wattimena, Pilot Sangar AURI yang dapat Medali Bintang Sakti Justru Sebelum Berperang
Di lapangan udara Maguwo, Adisutjipto bersama sejumlah teknisi pesawat mantan KNIL bertugas menghidupkan pesawat peninggalan Jepang jenis Churen.
Setelah mesin Churen hidup tapi belum diterbangkan, Adisutjipto kemudian dikirim ke Lapangan Udara Ciberureum, Bandung untuk menerbangkan pesawat jenis Nishikoren yang sudah berhasil dibenahi oleh para teknisi mantan KNIL dan dalam kondisi siap terbang.
Ketika sudah tiba di Cibeureum, Adisutjipto berusaha keras memahami cara menerbangkan pesawat Nishikoren karena merupakan pesawat tempur yang baru pertama kali dilihatnya.
Adisutjipto sebenarnya dilanda kebingungan karena selain merasa sangat asing, Nishikoren juga tidak memiliki selembar panduan sama sekali dan dokumen apapun karena sudah hilang.
Apalagi tulisan-tulisan pada kokpit Nishikoren menggunakan huruf kanji Jepang dan sulit sekali dipahami.
Tapi setelah sekian lama berusaha memahami cara menerbangkan Nishikoren dengan melakukan tes mesin dan menjalankan pesawat di darat (ground test), akhirnya Adisutjipto, meski bermodal nekat, bisa menerbang pesawat yang sudah berlogo Bendera Merah Putih itu pada 10 Oktober 1945.
Tidak hanya sukses menerbangkan pesawat Nishikoren, Adisutjipto juga berhasil menerbangkan Churen di Yogyakarta pada 27-28 Oktober 1945.
Atas prestasinya yang luar biasa itu, Adisutjipto pun menjadi orang pertama di Indonesia yang berhasil menerbangkan pesawat tempur.
(Sumber : Bapak Angkatan Udara Suryadi Suryadarma, Penerbit Buku Kompas, 2017).
Baca juga:Tragis, Sibuk Main Ponsel, Ibu Ini Tak Sadar Anak-anaknya Tenggelam di Pantai