Intisari-Online.com – Kringgg… Ibu meneleponku ke kantor. Kami berbicara di telepon benar-benar lama, luar biasa. Aku sudah lupa dengan sekelilingku. Ketika ingat, oh iya ini di kantor, maka aku pun memelankan suaraku. Kami berbicara ngalor-ngidul seperti tidak pernah bertemu saja, padahal jarak rumah kami hanya selemparan batu. Ya, begitulah.
Kemudian aku bertanya, “Bu, kapan-kapan kita ke Wonosari ya..”
“Ya, Ibu itu justru nunggu diajak je… Pengen banget ngomong mbok ya kalo kamu pulang ke Wonosari Ibu diajak-ajak.”
Wonosari, kampung suamiku. Kebetulan sekali, sejak kami menikah Bapak dan Ibuku belum pernah ke rumah besannya. Meski sang besan sudah sering kali ke rumah Bapak/Ibu. Bapak bahkan berharap sekali untuk bisa ke rumah besannya, namun hingga akhir hayatnya keinginan Bapak belum tercapai. Ahhh, pasti sekarang Bapak pun sudah tahu rumah besannya.
“Ya, udah Bu… nanti ya sekitar tahun 2018, kebetulan aku dapat cuti besar,” kataku.
“Iya wis, mumpung Ibu masih sehat,” jawab Ibu.
Sejenak mengobrol lagi. Telepon pun ditutup. Terngiang-ngiang ucapan Ibu, “Mumpung Ibu masih sehat.” Aku pikir-pikir, kita tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi esok hari, bulan depan, tahun depan, bahkan dua tahun lagi. Menunggu tahun 2018 itu ‘kan lama, meskipun bila kita jalani tidak akan terasa. Kita tidak akan tahu apa yang akan terjadi di tahun-tahun mendatang, mungkinkah aku bisa menjawab keinginan Ibu?
Sepanjang malam itu, terngiang-ngiang terus kalimat Ibu. Akhirnya aku bicarakan dengan suami dan memutuskan untuk tidak perlu berlama-lama
Esok paginya kutelepon Ibu.
“Bu, mau nggak kalau Natalan tidak di Jakarta, kita Natalan di kampung?” tanyaku.
“Maksudnya?”
“Iya, kita Natalan di Wonosari ya.. tapi ya namanya Natalan di kampung jangan disamakan di sini,” kataku lagi.
Source | : | - |
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Hery Prasetyo |
KOMENTAR