Advertorial
Intisari-Online.com – Nama Si Jagur tak bisa lepas dari sejarah panjang ibukota tercinta, Jakarta, yang Juni tahun ini genap berumur 491 tahun. Puluhan tahun dia "berhasil menghamili" ratusan, bahkan mungkin ribuan perempuan di negeri ini.
Tentu saja, tanpa pernah dimintai pertanggungjawaban. Ini memang bukan cerita kriminal karena si Jagur hanyalah sebuah meriam sundut.
Namun jika Anda perempuan, sebaiknya memang berhati-hati menghadapi Si Jagur. Jangan coba-coba "menunggangi" meriam peninggalan zaman kolonial itu. Soalnya, tongkrongan Si Jagur kerap diidentikkan dengan keperkasaan laki-laki.
Kata yang empunya cerita, ketika "masih muda" dan "perkasa", Si Jagur sering dianggap sebagai obat mujarab buat wanita-wanita bersuami yang sudah lama merindukan momongan.
Bagaimana nasibnya sekarang? Tampaknya sudah berbeda 180°. Mungkin lantaran siang-malam dibiarkan kepanasan dan kedinginan di halaman Museum Sejarah Jakarta di Jln. Taman Fatahillah, pesona Si Jagur mulai meluntur.
Barangkali juga, seiring bertambahnya usia - seperti juga manusia - Si Jagur dianggap sudah kehilangan keperkasaan. Impotenkah dia? Cuma Si jagur sendiri yang bisa menjawab.
Asal usul tak jelas
Salah satu daya tarik paling memikat dari meriam ini, justru ketidakjelasan asal-usulnya. Cerita yang muncul perihal Si Jagur bisa bermacam-macam. Ada yang bilang dia sebenarnya meriam kepunyaan Portugis yang direbut Belanda setelah berhasil menguasai Selat Malaka pada 1641.
Meriam itu kemudian diboyong ke Batavia. Tetapi ketika Belanda diserang Inggris dan bentengnya diluluh-lantakkan, saking beratnya, Si Jagur tidak bisa diselamatkan. la ditinggalkan sendirian.
Bukan hanya itu kisah di balik keberadaan sang meriam sundut. Jika versi ini benar adanya, masih ada kisah lainnya. Yakni, Si Jagur ternyata punya pasangan tempur bernama Ki Amuk, yang ditempatkan di Museum Banten Lama, Serang.
Ki Amuk sebelumnya tersimpan di sebelah utara pintu masuk Pelabuhan Karanghantu. Tempat itu dulunya pusat kekuatan pasukan tempur Kesultanan Banten dalam menghadang musuh.
Baca juga: Rumitnya Cara Menembakkan Meriam Legendaris Si Jagur Saat Perang Melawan Belanda
Julukan Ki Amuk diberikan karena benda tersebut mencerminkan kedahsyatan seseorang, saat mengamuk. Kekuatannya bisa meluluh lantakkan apa pun yang ada di depannya. Meriam itu, katanya, merupakan hadiah Raden Fatah dari Kerajaan Demak.
Saat Banten diduduki Belanda, Si Jagur dan Ki Amuk pernah disandingkan. Seusai perang, kedua meriam berusaha diangkut ke Batavia dengan menggunakan dua buah truk. Namun Ki Amuk rupanya betul ngambek. la tidak sudi dibawa ke Batavia, sehingga truk yang mengangkutnya mogok.
Walau sudah lama diperbaiki, mesin truk tersebut masih tetap tidak bisa dihidupkan lagi. Akhirnya Ki Amuk diturunkan. Anehnya, setelah tidak mengikutsertakan Ki Amuk, truk tersebut bisa berjalan lagi.
Beda dengan Si Jagur yang terlihat senang hati hendak dibawa ke kampung halamannya. Mungkin karena merasa "berasal" dari Batavia, truk yang mengangkut Si Jagur sama sekali tidak mengalami rintangan sedikit pun. Si Jagur bisa selamat sampai di Batavia.
Lahir dari rahim sendiri
Terbuat dari coran besi, meriam sundut Si Jagur beratnya sekitar 3,5 ton. Panjang larasnya 3,85 m dan diameternya sekitar 25 cm.
Baca juga: Mengapa Penghormatan Tertinggi di Angkatan Laut Dilakukan dengan Tembakan Meriam Sebanyak 21 Kali?
Pada salah satu sisinya, terdapat tulisan dalam bahasa Latin yang berbunyi: Ex me Ipsa renata Sum, yang artinya kurang lebih "dari saya sendiri aku dilahirkan kembali". Si Jagur memang diperkirakan berasal dari 16 meriam kecil yang dilebur menjadi satu.
Yang agak unik dan menjadi cerita yang amat kontroversial tentang meriam ini, bagian pangkalnya berbentuk kepalan tangan kanan. Tetapi posisi jempolnya dijepit jari telunjuk dan jari tengah.
Bentuk seperti itu oleh banyak orang diidentikkan sebagai simbol atau lambang sanggama. Dalam istilah yang sopan disebut "lambang kesuburan".
Masih menurut cerita. Ada yang percaya bahwa Si Jagur yang juga dijuluki Kiai Setama itu mempunyai pasangan (kali ini bukan pasangan tempur di medan perang, tapi pasangan tempur "di tempat tidur") di Solo yang dijuluki Nyai Setama.
Konon, jika kedua meriam itu disandingkan, ceritanya bakal "seru". Entah apa yang dimaksudkan "seru" di sini.
Baca juga: Kabarnya, Meriam Raksasa Korut Ini Sanggup Menghantam Korsel dari Perbatasan
Si Jagur pada mulanya ditempatkan di satu tempat di Jln. Cengkeh - Tongkol di Jakarta Kota. Letaknya tidak jauh dari makam Habib Husein bin Abubakar Alaydrus yang terletak di dalam Masjid Luar Batang.
Semasa hidupnya, habib yang berasal dari Hadramaut dan menjadi guru agama itu tinggal di dekat benteng VOC. Setiap hari, apalagi pada malam Jumat, makamnya banyak diziarahi pengunjung dari berbagai daerah.
"Ketika masih kecil, saya pernah beberapa kali berziarah ke sana, diajak ayah dan ibu," kenang Sukamto(60 tahun), penduduk Rengasdengklok, Karawang.
la mengungkapkan pengalamannya, usai melakukan ziarah, sepanjang jalan yang dilalui banyak dijumpai pedagang yang menjajakan hiasan khusus yang terbuat dari kertas warna-warni. Bentuknya mirip kaleng susu bubuk bergaris tengah sekitar 12 cm dan tinggi 15 cm.
Untuk pegangan, bagian tengahnya dipasangi bambu seukuran pensil dan panjangnya sekitar 20 cm.
Baca juga: Bukan Cuma Peluru Meriam, Peluru Pistol pun Bisa Meledak di Tempat
Kaum wanita yang mengharapkan memiliki anak, biasanya mengunjungi meriam Si Jagur seusai berziarah ke makam Habib Husein bin Abubakar Alaydrus. Berbekal hiasan kertas warna-warni dan sesajen bermacam-macam bunga, wanita yang mengharapkan kehamilan biasanya menaburkan bunga pada pangkal meriam yang berbentuk unik tersebut.
Tentu saja sambil menyampaikan harapannya. Sementara di sebelahnya, asap kemenyan di pedupaan mengepul menyebarkan aroma khas.
Tetapi, katanya lagi, agar lebih mujarab, wanita yang menginginkan segera memiliki momongan sebaiknya duduk di atas pangkal Si Jagur yang berbentuk "lambang kesuburan" itu. Percaya boleh, tidak pun tak apa-apa.
Pindah dan pindah lagi
Setelah lama bermukim di dekat jembatan Kota Intan, Pinangsia, Si Jagur akhirnya diselamatkan dan dibawa ke Museum Pusat yang terletak di Jin. Medan Merdeka Barat. Wahyono Martowikrido dalam kumpulan tulisannya di buku Cerita dari Gedung Area (Penerbit Kundika dan Masup Jakarta) mengungkapkan, masalah dihadapi ketika Si Jagur berusaha dimasukkan ke dalam museum.
Karena beratnya hampir sama dengan muatan sebuah truk, untuk mengangkatnya dibutuhkan banyak tenaga manusia.
Baca juga: Latihan Tembak Meriam di Natuna, 4 Anggota TNI Tewas dan 8 Orang Terluka
Untung muncul ide cemerlang dari seorang karyawan museum, bernama Naiman. Dengan cara menaruh Si Jagur di atas beberapa batang kayu yang berbentuk alu yang biasa digunakan untuk menumbuk padi, sehingga sang meriam sundut berhasil digeser setahap demi setahap.
Setelah beberapa langkah, batang kayu yang tertinggal kemudian diambil dan ditaruh pada deretan paling depan. Begitu seterusnya, sehingga tanpa bantuan banyak tenaga, Si Jagur dipindahkan ke dalam salah satu ruang di bagian belakang.
Pada masa pemerintahan Gubernur AH Sadikin (1966 - 1977), Si Jagur diminta pindah lagi ke halaman taman Museum Sejarah Jakarta. Namun karena lokasinya berada di dekat tempat berjualan para pedagang kaki lima, Si Jagur yang sudah "menghamili" banyak wanita itu, malah dijadikan tempat menjembreng (menjemur) pakaian.
Padahal, mestinya Si Jagur dijadikan ikon yang menjadi daya tarik museum. Karena setiap pengunjung, baik dari dalam maupun luar negeri, selalu menyempatkan diri melongok Si Jagur.
Nah, setelah mengalami perlakuan yang tidak menyadari arti sebuah peninggalan sejarah, pada bulan November 2004, Si Jagur dipindahkan lagi ke lokasi yang terletak di halaman depan museum.
Baca juga: Belasan Peluru Meriam Berusia 150 Tahun Ditemukan Pascabadai Matthew
Tempat itu merupakan tempat terakhir di mana ia kini bercokol. Selain letaknya lebih menonjol, sejak itu tidak ada lagi yang memperlakukannya sebagai tempat menjembreng pakaian.
Adapun yang memperlakukannya sebagai benda keramat, masih tetap ada, meski tak sekerap dulu. Misalnya masih ada saja ada orang yang sengaja meletakkan sesajen berupa bunga. Si Jagur yang di "usia muda" pernah sangat perkasa, kini mulai berkurang kharismanya sebagai lambang kesuburan.
Kepalan tangan yang berbentuk simbol sanggama memang masih ada, tetapi ibarat manusia, Si Jagur kini sudah tua, loyo, sehingga keperkasaannya diragukan.
Mungkin juga karena "saingannya" kini bejibun. Sekarang sudah banyak seksolog, androlog, dan sejenisnya yang siap memberikan jalan keluar. Zaman memang sudah berubah ya, Gur!
(Ditulis oleh Her Suganda. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Juni 2009)
Baca juga: Hanoi-Beijing Memanas, Kapal Kedua Negara Tembak-menembak Meriam Air