Advertorial
Intisari-Online.com - Sebagai anggota militer yang dikenal sangat vokal karena berani bicara blak-blakan kendati suasana politik sedang tidak kondusif, Kemal Idris juga merupakan anggota militer yang berprestasi.
Ia menjadi sosok cukup berpengaruh dimulai dari Perang Kemerdekaan yakni sebagai komandan (Sainendan) PETA Jepang dan pengabdian awal di Divisi Siliwangi, Jawa Barat.
Saat di Divisi Siliwangi, Kemal memimpin Batalyon Kala Hitam dan turut dalam aksi Long March dari Yogyakarta menuju Jawa Barat.
Pasca Perang Kemerdekaan tepatnya 17 Oktober 1952, Kemal dikenal sebagai perwira yang paling kontroversial karena berani mengarahkan mulut meriam ke arah Istana Negara.
(Baca juga: Panglima Besar Jenderal Soedirman, Pahlawan Sejati yang Mendapat Pangkat Jenderal Penuh Justru Setelah Meninggal)
Berkat prestasi, keberanian, dan sifat loyalnya sebagai prajurit, tahun 1967 Mayor Jenderal Kemal Idris diangkat sebagai Pangkostrad menggantikan Mayjen Umar Wirahadikusumah.
Ketika menjabat Pangkostrad, Kemal Idris berperan besar dalam mendukung gerakan mahasiswa menentang Orde Lama.
Ia bekerjasama erat sekali dengan Mayjen Dharsono, Panglima Siliwangi dan Kolonel Sarwo Edhi Wibowo, komandan RPKAD untuk mematahkan usaha-usaha yang hendak mencegah timbulnya Orde Baru.
Kemal bahkan sering diminta berbicara di depan pertemuan para mahasiswa.
Jenderal vokal dan berani itu bertahan dua tahun sebagai Pangkostrad.
Ia kemudian menjabat sebagai Panglima Komando Antar Daerah untuk Kawasan Indonesia Timur.
Karier militer terakhir yang diembannya adalah Panglima Komando Wilayah Pertahanan (Pangkowilhan) dengan pangkat Letnan Jenderal.
Saat mundur dari dunia militer, dalam memoar bukunya, Bertarung Dalam Revolusi, ia mengatakan, “Barangkali karena sikap saya yang keras dan tak kenal kompromi, akhirnya saya tak disukai oleh sesama pendukung Orde Baru. Ada yang memasukkan laporan nggak bener kepada Pak Harto. Dan akhirnya saya harus rela meninggalkan jabatan militer saya.”
(Baca juga: Jalan Sunyi Jenderal Hoegeng, Jalannya Para Pemberani)
Pada September 1972 Kemal diangkat menjadi duta besar Yugoslavia merangkap Yunani.
Usai bertugas sebagai Dubes dan kembali ke Indonesia, kondisi politik Orde Baru sudah berubah banyak dan Kemal pun “menganggur”.
Sebenarnya Kemal telah ditawari jabatan sebagai petinggi BUMN dan calon anggota MPR/DPR.
Namun semua itu ditolak karena dianggap bukan kemampuannya.
Tapi Kemal tak mau tinggal diam. Ia melihat kota Jakarta yang kumuh dan penuh sampah, Kemal mendirikan PT Sarana Organtama Resik (SOR).
Usaha dari bawah dengan modal pribadi yang lalu berkembang besar dengan lebih dari 700 karyawan.
Sepak terjang dalam dunia kebersihan itu mengundang kekaguman sehingga muncul julukan sebagai “Jenderal Sampah”.
Julukan yang sebenarnya bertujuan untuk berkelakar yang diterima dengan lapang dada oleh Sang Jenderal yang sangat berjiwa besar itu.
Kemal Idris wafat karena usia tua (87 tahun) pada 28 Juli 2010 di Jakarta.