Advertorial
Intisari-Online.com - Di kawasan pedesaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), ketika musim kemarau tiba akan ditandai dengan pohon-pohon jati yang meranggas daunnya dan juga rumpun bambu yang tampak mengering.
Daun-daun bambu kering yang jatuh menumpuk dan di DIY disebut ‘uwuh’ itu biasanya dikumpulkan dan kemudian dibakar saat sore hari.
Kegiatan membakar daun bambu yang kemudian dikenal dengan nama ‘ngobong uwuh’ itu akan tambah meriah jika disertai acara membakar singkong.
Tapi jika tak ada singkong, hewan beruas berbadan raksasa dan beracun yang di DIY disebut kolojengking /ketonggeng (kalajengking) pun bisa dibakar dan disantap karena rasanya lezat dan gurih.
Di musim kemarau, kolojengking banyak bersarang di lubang-lubang tanah di bawah rumpun bambu dan untuk menangkap sebenarnya cukup mudah.
Baca juga:London Diserang Wabah Ulat Bulu Beracun yang Bisa Sebabkan Kematian
Caranya dengan menggunakan lidi dari daun kelapa yang masih muda lalu diikat ujungnya berbentuk lingkaran kecil. setelah itu batang lidi dimasukan ke lingkaran itu.
Lingkaran lidi yang merupakan jebakan itu kemudian dimasukkan ke dalam liang tempat kolojengking bersarang.
Biasanya kolojengking akan mencapit lidi itu sehingga ketika lidi ditarik kakinya langsung terjerat.
Di kawasan DIY, kolojengking merupakan kalajengking bertubuh raksasa karena bisa sebesar telunjuk jari orang dewasa dan tampak sangat mengerikan.
Kolojengking memiliki racun yang berada di ujung ekornya dan para penangkap kolojengking diwanti-wanti jangan sampai disengat karena akan merasakan sakit yang luar biasa.
Tapi setelah ekor yang beracun dilepas dengan cara dipotong, kolojengking menjadi binatang tidak berbahaya.
Lalu bisa dibakar dan dimakan langsung karena rasanya mirip belalang goreng.
Sejauh pengalaman penulis yang pernah berburu kolojengking, yang paling berbahaya adalah yang sudah berwarna kebiru-biruan seperti bersinar karena racunnya bisa mematikan.
Tapi setelah ekornya dilepas dan dibuang, kolojengking raksasa berwarna kebiru-biruan itu enak juga ketika dimakan sambil ‘ngobong uwuh’ dan menunggu matangnya singkong bakar