Di mata siswa penerbang, sosok IP memang merupakan individu yang sempurna, cakap, dapat berbuat apa saja, dominan dan malah sebagian akan lebih dikenal callsign-nya dari pada nama aslinya.
Misalnya seorang instruktur bernama Kapten Agung ‘Sharky’ Sasongkojati , sebagai pilot tempur dan instruktur terbang akan lebih dikenal dengan panggilan callsign ‘Sharky’ dibandingkan nama aslinya.
Tapi sosok yang ‘menakutkan’ dan sekaligus berwibawa bagi para siswa Sekbang itu sebenarnya juga seorang manusia biasa.
Karena alasan tugas dan tanggung jawabnya lah maka para IP itu harus berbuat yang terbaik.
Baca juga: Ruang Udara Papua jadi Jalur Penerbangan Internasional, TNI AU Siagakan Skuadron Tempur
Mereka bahkan punya prinsip, lebih baik menyelamatkan nyawa siswa sejak dini daripada mencelakakan di kemudian hari.
Maka tidak mengehrankan jika sosok IP itu menpunyai ritme kehidupan yang unik, bahkan seolah mengabaikan keluarga dan keselamatan jiwanya dalam menyelesaikan tugas.
Pasalnya seorang IP akan ikut was-was, takut, galau dan cemas manakala siswanya terbang memasuki tahap terbang solo (sendirian), khususnya untuk yang pertama kalinya.
Andaikan sang siswa tidak bisa mendarat, hilang atau celaka, orang pertama yang harus bertanggung jawab adalah instrukturnya.
Dalam kehidupan nyata, IP mempunyai jadwal yang sangat ketat terkait penugasan.
Begitu ketatnya jadwal IP hingga timbul pertanyaan, kapan waktu untuk keluarga.
Apalagi jika siswa mulai menjalani terbang navigasi keluar kota yang kadang sampai dua minggu. Pasalnya seorang IP harus tetap mendampingi siswanya secara ketat dan disiplin.
Nmaun, yang pasti para IP akan merasa sangat berbahagia ketika semua siswa berhasil lulus dan menjadi penerbang-penerbang mumpuni TNI AU di kemudian harinya.
Source | : | dari berbagai sumber |
Penulis | : | Agustinus Winardi |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR