Advertorial

Terserang Sakit Perut Gara-Gara Masakan Manado Saat Operasi Trikora, Pasukan TNI AL Ini Terpaksa Membawa Koki dari Jawa

Agustinus Winardi
Moh. Habib Asyhad
Agustinus Winardi
,
Moh. Habib Asyhad

Tim Redaksi

Intisari-Online.com -Ada dua kekuatan udara yang dimiliki Perbangan TNI AL (Penerbal) yang dikerahkan untuk mendukung Operasi Trikora guna merebut Irian Barat dari tangan Belanda (1960-1963).

Dua kekuatan itu adalah Skuadron 100 dan Flight Udara 300.

Dalam Operasi Trikora, Skadron 100 yang bermarkas di Pangkalan Udara AL Morokembangan (Pualam), Surabaya dan dikomandani Mayor Barata mengerahkan enam pesawat Gannet.

Sementara Flight Udara 300 yang bertugas memberikan dukungan logistik dan SAR mengerahkan dua pesawat trasnpor Grumman UF-2 Albaross.

Dalam misi Trikora dari sisi komando tempur, kekuatan Skuadron 100 dan 300 berada di bawah Angkatan Tugas Amfibi 17 (ATA-17) yang terwadahi ke dalam Kesatuan Udara Angkatan Laut 16.

Secara taktis Kesatuan Udara Angkatan Laut 16 berada di bawah komando Panglima Udara Mandala Leo Watimena.

Baca juga:Ketika Kapal Selam TNI AL RI Nagabanda Dihajar Habis-habisan oleh Kapal Perang Belanda hingga Nyaris Karam

Sesuai dengan rencana Operasi Trikora, pergerakkan taktis kekuatan Gannet disusul hingga hari H+1 Operasi Jayawijaya digelar.

Pada H-60 sebelum Operasi Jayawijaya digelar, Satuan gugus Aju Skuadron 100 telah diberangkatkan ke Lapangan Udara Liang, Ambon, yang akan difungsikan sebagai pangkalan depan.

Untuk mengangkut semua peralatan dan logistik yang diperlukan satu Kapal Angkut Tank (LST).

Pada H-40, pesawat gannet diterbangkan dari Pualam ke Liang, H-7 sejumlah Gannet digerakkan menuju Morotai dan bersama kekuatan TU-16 TNI AU siap melakukan misi perlindungan (air cover) armada Operasi Jayawijaya yang akan digelar pada 12 Agustus 1962.

Dari sekian tahap operasi tempur yang harus dilaksanakan, kesulitan pertama bukan datang dari pesawat tempur atau para awaknya, melainkan dari kondisi Pangkalan Udara Aju yang belum siap seperti di Liang, Ambon dan Mapanget, Manado.

Baca juga:Gila! Ketika Menggelar Operasi Trikora, Kopaska Ternyata Menyiapkan Pasukan Bunuh Diri Menggunakan 'Torpedo Manusia'

Komandan Skadron 100 yang saat itu dijabat oleh Mayor Hamimi, menugaskan pilot Gannet yang baru saja menyelesaikan tugas pelatihan konversi, Kapten Amin Singgih, ke Ambon guna menyiapkan pangkalan bagi pesawat-pesawat Gannet.

Kapten Singgih berangkat ke Liang disertai prajurit Penerbal Sersan JC Seleky yang berasal dari Ambon.

Ketika tiba di bekas pangkalan udara Jepang semasa PD II itu kondisinya ternyata tidak terawat.

Hampir semua kawasan pangkalan ditumbuhi rumput tinggi dan landasan pacu yang tersisa nyaris tak bisa dipakai lagi.Hanya tersisa satu gubuk kecil reot dan nyaris ambruk.

Untuk menyiasati keadaan dan harus bekerja keras seperti peladang, Kapten Singgih dan Sersan JC Seleky menginap di mess TNI AL, (sekarang Lantamal IX) Halong, Ambon. Jarak antara Halong dan Liang cukup jauh sekitar 57 km.

Baca juga:Kisah Ajaib di Balik Jatuhnya Pesawat Dakota AURI yang Ditembak oleh Pesawat Tempur Belanda pada Operasi Trikora

Setiap pagi hingga sore, dibantu penduduk setempat yang merupakan pendatang dari Buton, Sulawesi Tenggara, pilot dan awak Gannet itu bekerja keras membangun pangkalan menggunakan peralatan terbatas.

Tak hanya peralatan kerja yang terbatas makanan juga seadanya.

Untuk makan siang para pekerja baik Kapten Singgih maupun Seleky bersiasat memanfaatkan buah kelapa yang dipetik dari pohon-pohon kelapa di sekitarnya.

Bahan bangunan yang seharusnya menggunakan batu atau kayu keras diganti dengan bahan-bahan yang berada di sekitarnya, khususnya pohon sagu.

Pembangunan fasilitas standar pangkalan, seperti kantor dan gudang, memanfaatkan pelepah kayu sagu yang berbatang keras (gaba-gaba) seperti telah digunakan para pendatang Buton untuk membangun rumah-rumahnya.

Gubuk kecil yang nyaris ambruk diperbaiki lagi dan diberi atap seng, lalu dicat putih mengunakan cat yang dibawa dari Halong.

Baca juga:Hutomo ‘Tommy’ Mandala, Lahir saat Soeharto Jadi Panglima Mandala dalam Operasi Pembebasan Irian Barat

Puas dengan bangunan gubuk yang tegak lagi dan tampak gagah, yang kemudian digunakan sebagai kantor, para pekerja yang bergembira kemudian menamainya gedung putih (White House).

Peralatan standar, seperti balai-balai, meja dan kursi, dibuat sederhana dari bahan-bahan yang ada di sekitarnya.

Untuk kebutuhan air bersih, dialirkan air dari lereng pegunungan menggunakan pipa-pipa batang bambu.

Setelah bekerja keras dengan peralatan sederhana dan bahan-bahan yang juga sederhana, dan kondisi pangkalan Liang siap didarati Gannet, Kapten Singgih pun kembali ke Surabaya untuk mengambil Gannet yang nantinya akan diterbangkannya sendiri.

Dua pesawat Gannet yang diterbangkan ke Liang, selain dipiloti oleh Kapten Singgih juga diterbangkan rekan sejawatnya yang masih perwira remaja tapi berpengalaman, Letnan TDV Situmeang.

Baca juga:Saat Pembebasan Irian Barat, Amerika Ternyata Sempat Melarang Indonesia Menggunakan Pesawat Hercules

Setelah pesawat Gannet mendarat selamat dan berpangkalan tetap di Liang, logistik dan perlengkapan lainnya menyusul tiba diangkut kapal LST.

Hingga kondisi siap operasi untuk melaksanakan misi tempur, terdapat enam Gannet yang bersiaga di Liang.

Dalam kondisi siap tempur pada H-5, diterima berita bahwa Operasi Jayawijaya ditunda sehubungan adanya perundingan untuk menyelesaikan masalah Irian Barat di PBB, New York.

Ketika berita bahwa masalah Irian Barat bisa diselesaikan secara damai, kekuatan Gannet pun harus ditarik dari garis depan.

Sesuai dengan perkembangan situasi yang makin melunak, pesawat-pesawat Gannet pun dipindahkan lagi penempatannya ke Mapanget, Manado atau sekarang dikenal sebagai Bandara Sam Ratulangi.

Bagi Amin Singgih yang sekali lagi mendapat tugas untuk membuka pangkalan baru, ia tahu betul apa saja yang harus dilakukan.

Tantangan di Mapanget memang tidak seberat Liang, tapi tetap saja harus memanfaatkan lingkungan sekitar.

Misalnya, untuk kebutuhan air minum menggunakan air sungai yang jernih sehingga bisa dimanfaatkan juga untuk mandi.

Ketika para kru darat dan awak udara mulai menetap di Mapanget, muncul masalah baru karena baik kru darat maupun udara kebanyakan dari Jawa.

Mereka tidak bisa menyantap makanan yang dimasak koki Manado karena dirasa terlalu pedas.

Untuk mengatasi masalah itu koki Jawa pun didatangkan sehingga semua personel yang berada di Mapanget tidak lagi mengalami sakit perut dan susah makan tapi selalu dalam kondisi siap tempur.

Baca juga:Ketika Tommy Soeharto yang Waktu Itu Masih Lajang Memberi Wejangan tentang Perkawinan dan Balapan

Mereka masih memiliki tugas untuk melindungi Armada Angkatan Tugas Amfibi yang masih bersiaga di Teluk Peleng hingga Irian Barat diserahkan oleh Belanda kepada Indonesia.

Ketika Irian Barat akhirnya benar-benar kembali ke pangkuan RI, pesawat-pesawat Gannet kembali ditarik ke Liang.

Tapi ada satu pesawat Gannet yang karena alasan teknis terpaksa ditinggal di Mapanget dan satu lagi diterbangkan ke Surabaya untuk perawatan besar.

Untuk mengambil Gannet yang ditinggalkan dan telah menjalani perbaikan, dikirim satu pesawat Gannet dengan dua awak dan teknisi yang berangkat dari Liang pada 23 Agustus 1962.

Pada malam harinya dua pesawat Gannet terbang dari Mapanget menuju Liang sekaligus melaksanakan latihan terbang malam.

Tapi hanya satu pesawat Gannet, yang dipiloti Kapten Amin Singgih, yang berhasil mendarat di Liang.

Satu pesawat Gannet lainnya yang dipiloti Kapten A. Boediarto dan Letnan Bachtiar Jahya tak pernah mendarat di Liang dan kemudian dinyatakan hilang.

Usaha pencarian besar-besaran pun dilaksanakan. Namun hingga awak dan pesawat Skadron 100 ditarik kembali ke Pualam, Surabaya, pesawat Gannet yang mengalami nasib nahas belum ditemukan.

Sekitar satu tahun kemudian, kerangka pesawat beserta awaknya ditemukan oleh pencari damar di salah satu lereng gunung di pulau Ambon.

Evakuasi untuk mengangkat jenasah kedua awak kemudian dilakukan dan keduanya pun dimakamkan sebagai pahlawan yang gugur di medan tugas.

Artikel Terkait