Inggit sebenarnya bisa tidak ikut ke tempat pembuangan. Namun wanita yang hanya bisa membaca (tidak bisa menulis) ini keukeuh menemani suaminya ke mana pun, meski ke ujung dunia.
Saat di pengasingan di Ende, Soekarno terjangkit malaria.
Saat itu, kondisi psikis Soekarno sangat lemah. Berkali-kali ia mengeluh kepada Inggit.
Ia pernah berucap keinginan untuk membuat taktik berpura-pura bekerja sama dengan pemerintah agar segera kembali ke Jawa.
Inggit sebaliknya menolak dan menegur suaminya.
“Kus, kamu ini bagaimana? Baru mendapatkan ujian sekecil ini sudah tak kuat. Bagaimana nanti jika jadi pemimpin? Cobaan pasti lebih berganda. Mestinya Kus bisa lebih sabar dari kami. Masak calon pemimpin berjiwa selemah ini? Percayalah, ini bukan untuk selamanya, ini hanya sementara. Buktikan tak lama lagi kita pasti keluar dari pulau terpencil ini. Nggit yakin itu, sebab Tuhan tak akan mungkin terus-menerus menguji hambaNya. Dia masih sayang kepada kita. Percayalah.”
Semangat Soekarno yang hampir padam pun menyala kembali.
Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Bengkulu akhirnya menjadi ujian terberat bagi kisah cinta keduanya.
Ketika Soekarno diasingkan di Bengkulu, hadirlah sosok Fatimah dalam kehidupan keduanya.
Fatimah lahir pada 5 Februari 1923 dari pasangan Hassan Din dan Siti Khatidjah.
Ketika Soekarno diasingkan di Bengkulu, Fatimah sering bermain ke rumah Soekarno karena ia adalah kawan sepermainan anak angkat Soekarno.
Fatimah juga akrab dengan Inggit, bahkan Inggit menganggap Fatimah seperti anaknya sendiri.
Penulis | : | Intisari Online |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR