Dalam Perang Kilat (130 jam) tahun 1967, pihak Israel bahikan berhasil merebut wilayah Mesir di Sinai, wilayah Yordania di lembah barat S. Yordan, dan wilayah Suriah di dataran tinggi Golan, yang luas keseluruhannya sama dengan 4x seluas wilayah Israel semula.
Meskipun PBB dalam resolusinya No. 242 tahun 1967 telah berseru kepada Israel, agar Israel menarik mundur pasukannya dari wilayah-wilayah yang didudukinya itu, tetapi hingga tahun 1973, Israel tetap tak mau melaksanakannya.
Hal inilah yang menyebabkan Presiden Anwar Sadat dari Mesir pada bulan Oktober 1973 yang baru lalu kemudian memilih jalan kekerasan lagi untuk menembus jalan buntu di atas.
Nasib Pengungsi Arab Palestina
Sementara itu kelahiran negara Israel dan perang-perang yang kemudian mengikutinya itu, telah menimbulkan bencana bagi ribuan penduduk Arab Palestina.
Teror dan ancaman maut memaksa mereka kemudian meninggalkan kampung halamannya dan tanah airnya, untuk mengungsi menyelamatkan diri ke negara-negara tetangga terdekat seperti Yordania, Suriah, Libanon, Mesir dan Iain-lain. Jumlah pengungsi Arab Palestina itu tiap tahun terus meningkat.
Menurut laporan PBB tahun 1952, jumlah pengungsi Arab Palestina di Libanon ada 105.000 orang, di Gaza (daerah Mesir) ada 200.000 orang, dan di Yordania ada 460.000 orang, suatu jumlah yang sama dengan 40% dari penduduk negeri itu sendiri.
Pada tahun 1955, seluruh jumlah pengungsi tersebut telah meningkat menjadi 912.000 orang. Dan setelah terjadinya perang 1967, jumlah tersebut telah menanjak menjadi 1.200.000 orang! Ini berarti separo lebih dari penduduk Arab Palestina kini telah menjadi pengungsi.
Kehidupan orang-orang Arab Palestina dalam pengungsian amat menyedihkan. Mereka harus hidup di tenda-tenda sempit bersama keluarganya dan bahkan bersama binatang-binatang ternaknya.
Kesempatan kerja sedikit sekali di pengungsian itu, sehingga sebagian besar mereka terpaksa hidup menganggur. Mereka memperoleh bantuan pangan dari PBB, tetapi jumlahnya terlalu sedikit, sekedar tidak mati kelaparan.
Mereka semuanya masih merindukan untuk kemhali pulang ke tanah airnya, ke kampung halamannya, dan ke sawah-ladangnya. Tetapi untuk itu, mereka tak sudi kalau harus hidup di bawah kekuasaan Israel, yang telah merampas tanah airnya, kemerdekaannya, dan harta miliknya.
Dari bayi-bayi yang dilahirkan dan dibesarkan dalam tenda-tenda pengungsian sejak tahun 1948 itu, kini telah tumbuh menjadi dewasa, menjadi generasi baru Arab Palestina.
Generasi baru ini dibesarkan dalam penderitaan dan dalam asuhan orang tua mereka yang memendam dendam kepada Israel. Di mata mereka mi, Zionisme Israel dipandangnya sebagai sumber dari segala malapetaka dan penderitaan bangsanya.
Karena itu bisa dipahami kalau dari generasi baru ini kemudian lahir gerilyawan Palestina yang militan dan fanatik seperti Yaser Arafat, Dr. Habbas, Leila Kalid dan Iain-lain. Mereka berjuang untuk kebebasan dan kemerdekaan bangsa dan tanah airnya, suatu hal yang wajar.
Hanya saja cara-cara mereka berjuang, kadang-kadang ada yang terlalu extreem, sehingga tidak bisa diterima oleh opini dunia.
Namun demikian, masalah Palestina dan perdamaian di kawasan itu, kiranya tak mungkin bisa dipecahkan, selama hak-hak dan nasib bangsa Arab Palestina tersebut belum diperlakukan secara adil.
Ini adalah salah satu tugas Konperensi Geneva yang sekarang sedang berlangsung, untuk meme cahkannya. (Drs. Moehkardi – Intisari Maret 1974)
BACA JUGA:Dengan Kapal yang Masih Bersandar di Pelabuhan, Mesir Berhasil Luluh Lantakkan Kapal Perang Israel
Source | : | intisari |
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR