(Baca juga: (Foto) Di Tangan Pria Ini, 2 Ton Limbah Elektronik Disulap Menjadi Studio Foto Menakjubkan, Lihat Hasilnya!)
Mengangkat gerabah Bayat
Mahasiswa semester VIII itu menambahkan, potensi Bayat tidak hanya terletak pada jenis tanahnya, tetapi juga cara pengolahan yang unik. Warga biasa menggunakan alat putaran dengan teknik miring. Teknik yang berbeda dengan pembuatan gerabah pada umumnya.
Konon teknik ini sudah ada sejak nenek moyang. Sidik ingin teknik putaran miring tetap bertahan di tengah perkembangan gerabah atau keramik era ini.
"Warga di Bayat biasa pakai putaran miring, kalau biasanya kan datar. Mungkin zaman dulu pembuat gerabah adalah para wanita yang pakai kain jarik untuk rok. Jadi kedua kakinya tidak bisa terbuka leluasa seperti kalau pakai celana," ucap Sidik.
(Baca juga: Jangan Sampai Lupa! 5 Makanan Ini Tidak Punya Tanggal Kedaluwarsa, Lho!)
Menurut dia, teknik ini sejatinya menjadi daya tarik wisatawan untuk datang ke Bayat. Dia pun bermimpi, jika lulus kuliah nanti, akan kembali ke kampung halamannya itu untuk mengembangkan gerabah agar mempunyai nilai seni dan nilai jual yang tinggi.
Sejauh ini Sidik sudah menghasilkan ratusan karya keramik, selain dekoratif dan instalasi, Sidik juga mulai menerima pesanan peralatan makan (table ware), seperti mangkok, cangkir, dan gelas.
Sebelumnya Sidik sudah kerap mengikuti berbagai pameran fine art dan menjadi pemateri workshop.
"Saya memproduksi table ware, kadang-kadang fine art, dan akhir-akhir ini banyak mengerjakan order proyek limited edition, biasanya untuk kebutuhan kafe atau personal. Semua bahan glasir food grade, kecuali timbal, hanya untuk fine art," imbuhnya.
(Baca juga: Aneh, Puluhan Ribu Biota Laut Menyelimuti Pantai di Inggris, Fenomena Apakah Ini?)
Sidik menjual produknya dengan harga paling murah Rp 30.000 per buah. Meski pemasaran baru sebatas melalui media sosial, pesanan sudah datang dari berbagai daerah, seperti Bali dan Belanda.
Penghargaan UNESCO
Sidik bersyukur masuk kriteria UNESCO untuk mendapatkan pendampingan sebagai salah satu pemuda kreatif. Setelah menerima penghargaan itu, dia banyak dibantu dalam hal pengelolaan atau manajemen bisnis.
Terlebih lagi, sejauh ini Sidik masih terkendala dengan pemakaian tungku yang masih eksperimen sehingga kurang maksimal. Hasil gerabah akan lebih bagus jika menggunakan tungku konvensional, tetapi harganya mahal, sekitar Rp 20 juta per unit.
(Baca juga: Agar Otak Tetap Sehat dan Kinerjanya Terus Tajam Hingga Usia Senja, Ini Tipsnya untuk Anda Semua!)
(Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Di Tangan Sidik, Gerabah Bayat "Naik Kelas" dan Raih Penghargaan UNESCO")
Penulis | : | Tatik Ariyani |
Editor | : | Tatik Ariyani |
KOMENTAR