Advertorial
Intisari-Online.com – Pelat nomor muncul saat transisi dari kendaraan berkuda dan bermotor sekitar 1890 - 1910.
Negara bagian New York, Amerika Serikat, memberlakukannya sejak 1901.
Awalnya, pemilik kendaraan membuat sendiri pelat nomornya.
Yang pertama menerbitkan pelat nomor adalah negara bagian Massachusetts dan West Virginia, 1903.
(Baca juga: Kisah Pilu Marina Chapman: Dibuang ke Hutan, Dirawat Kera, Lalu Dijadikan Budak Seks)
Awalnya, pelat nomor kendaraan itu terbuat dari porselen yang dibakar atau keramik biasa yang tidak dibakar, sehingga gampang pecah.
Lalu dicoba bahan lain, di antaranya karton, kulit, plastik, tembaga, bahkan kedele.
Standarisasi pelat nomor baru dilakukan pada 1957, yakni seperti yang kini dipakai di negara Barat dengan ukuran 15 x 30 cm dan Uni Eropa 11 x 52 cm.
Sementara di Australia serta banyak negara Pasifik lain ukurannya lebih panjang dari model negara Barat, tapi lebih tinggi dari pelat nomor Uni Eropa.
Sedang di Indonesia, pada zaman Hindia Belanda, kendaraan belum terlalu banyak.
Sebagian besar berada di Pulau Jawa. Untuk memudahkan pendataan, pemerintah kolonial menerapkan tanda nomor kendaraan bermotor (TNKB) dengan menggunakan kode wilayah berdasarkan wilayah karesidenan.
Kini wilayah karesidenan itu diubah menjadi wilayah kabupaten beserta ibukotanya.
Agar seragam, pelat nomor diletakkan di bagian depan dan belakang kendaraan bermotor (ranmor).
(Baca juga: 7 Desa Ini Tersembunyi di Tempat yang Tak Terbayangkan, Salah Satunya Ada di Kawah Gunung Berapi)
Tanda nomor itu ditulis dalam dua baris. Kode wilayah berupa huruf, nomor polisi berupa angka, dan kode akhir wilayah diletakkan pada baris pertama.
Baris kedua menunjukkan bulan dan tahun masa berlaku.
Nomor itu ditentukan harus dibuat di atas pelat alumunium setebal 1 mm.
Ukuran pelat nomor untuk ranmor roda dua adalah 250 x 105 mm, sedangkan roda empat atau lebih adalah 395 x 135 mm.
Nomor polisi dan angka masa berlaku dibatasi oleh garis selebar 5 mm.
Pada sudut kanan atas dan kiri bawah terdapat tanda khusus cetakan lambang polisi lalu lintas.
Sedangkan di sisi kanan dan kiri tercetak tanda khusus Ditlantas Polri, menunjukkan hak paten pembuatan TNKB.
Untuk membedakan peruntukannya, ranmor milik pribadi yang bukan untuk umum atau sewa diberi warna dasar hitam dan tulisan putih.
Ranmor umum warna dasar kuning dengan tulisan hitam.
Sedang ranmor milik pemerintah warna dasar merah dan tulisan putih.
Sementara ranmor korps diplomatik negara asing warna dasar putih tulisan hitam.
Angka nomor polisi diberikan sesuai nomor urut pendaftaran di Kantor Bersama Samsat (Sistem Administrasi Manunggal di bawah Satu Atap).
Terdiri dari 1 - 4 angka, nomor ditaruh setelah kode wilayah. Kendaraan penumpang mendapat angka 1 - 1999, sepeda motor (2000 - 6999), bus (7000 - 7999), kendaraan beban (8000 - 9999).
Bila nomor urut pendaftaran telah habis dipakai, maka ranmor berikutnya kembali ke nomor awal, tapi diberi tanda pengenal huruf seri A - Z di belakang angka pendaftaran.
Seandainya huruf seri ini habis pula dipakai, maka digunakan dua huruf seri.
Khusus DKI Jakarta, bisa digunakan tiga huruf seri. Hal ini tampak pada sepeda motor, yang setiap hari jumlahnya terus bertambah.
(Dari peibagai sumber/Not – Intisari Juni 2007)
(Baca juga: Mengenal Panglima Burung yang Kabarnya Bakal Menikah dengan Titisan Nyi Roro Kidul)