Di akhir dari abad ke-18, para dokter bersuara lantang mengenai risiko korset yang desainnya membatasi gerak.
Nah, dari sini, korset yang tidak membatasi gerak diperkenalkan. Selanjutnya, memasuki abad ke-19, terjadi revolusi besar-besaran pakaian dalam.
Tuntutan dokter didukung penuh para konsumen yang tentunya para wanita. Mereka menginginkan korset yang lebih kecil, tidak membatasi gerak, lebih praktis, serta gampang dikenakan sehingga memudahkan mereka bernapas.
Bentuk pakaian dalam yang mereka inginkan berupa bentuk yang saat ini kita kenal dengan nama brassiere (di Indonesia dikenal dengan sebutan BH) yang dalam bahasa Prancis berarti sokongan.
Itulah masa penting dalam sejarah pakaian dalam.
Selama Perang Dunia I mulai banyak wanita yang bekerja. Mereka membutuhkan pakaian dalam yang praktis.
BH menjadi pilihan paling nyaman sesuai kondisi dan lingkungan tempat kerja mereka.
(Baca juga: Berencana Memberi Hadiah Lingerie Seksi? Ini Tipsnya!)
(Baca juga: Shoya Imada, Pencuri Pakaian Dalam Wanita yang Memiliki 600 Lingerie di Rumahnya)
Pembuatannya lebih bersifat fungsional dan fokusnya makin jelas, yakni lebih sebagai pendukung penampilan.
Seiring dengan berubahnya tren, pakaian dalam juga berkembang menjadi lebih praktis, dapat dipakai sesuai kebutuhan.
Mirip tata rias, lingerie pun tak dapat dipisahkan dari wanita.
Nah, sekarang dada-dada rata tidak lagi menjadi pilihan. Pakaian dalam saat ini lebih menonjolkan sisi-sisi femininitas.
Bahkan di Jakarta mulai diperkenalkan BH sesuai ukuran dan bentuk payudara yang lebih spesifik dari pemiliknya. (Dari pelbagai sumber/Nis)
(Artikel ini pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Desember 2006)
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR