“Hancur hati kami melihat anak perempuanku seperti itu. Aku tidak tahan lagi melihat penderitaanya. Tidak ada dokter di sini yang dapat mendiagnosa kondisinya,” cerita Jameelan.
Ditambahkan, dokter menyarankan mereka untuk membawa Afhseen ke Jinnah Post Graduate Medical Centre di Karachi. Tetapi mereka tidak punya uang atau sumber lainnya untuk pengobatan di sebuah rumah sakit besar.
Dilansir dari situs Mailonline, Afhseen terlahir sebagai bayi yang normal seperti 6 saudaranya yang lain. Hidupnya mulai berubah ketika ia berusia 8 bulan.
Menurut ibunya, saat usia 8 bulan ia terjatuh ke tanah saat bermain di luar rumah. Akibatnya, leher bayi itu terluka.
Kondisinya itu tidak diperhatikan benar oleh orangtuanya karena keterbatasan dana. Mereka hanya membawa Afhseen ke dukun tetapi kondisinya tidak membaik.
Semakin anak itu tumbuh besar, masalahnya semakin kompleks. Ia jadi tidak bisa menegakkan kepalanya dan sering mengeluh sakit pada lehernya.
Kemana-mana Afhseen harus digendong seperti seorang bayi. Orangtuanya bingung bagaimana kalau ia semakin tumbuh besar.
Baik Jameelan dan Jurio tidak memiliki pekerjaan tetap. Ekonomi keluarga itu ditanggung oleh anak tertua mereka, Mohamad Yaqoob (25 tahun), yang bekerja di sebuah toko dengan gaji sekitar Rp4 juta sebulan.
Kondisi Afhseen juga membuat keluarga mereka dijauhi tetangga. Kata ayahnya, orang-orang berkata buruk dan menertawakan dirinya.
“Ini benar-benar menyakitkan kami. Kami tidak dapat mentolerasi sikap dan diskriminasi masyarakat,” kata Allah Jurio.
Masyarakat juga menolak kemunculan putrinya, jadi ia berdiam di rumah saja. Sebenarnya orangtuanya ingin Afhseen sekolah tetapi tidak ada sekolah yang mau menerimanya.
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR