Penulis
Intisari-Online.com- Perempuan dengan nama lengkap Surastri Karma Trimurti ini memiliki kisah hidup yang begitu berwarna terkait perjuangannya dalam sejarah bangsa Indonesia. Dia beberapa kali masuk penjara pada masa penjajahan Belanda dan Jepang.
Trimurti sendiri lahir di Boyolali, Surakarta, pada 11 Mei 1912, berayahkan seorang Wedana. Setamat Sekolah Ongko Loro, Trimurti melanjutkan ke Sekolah Guru, Ia lulus dengan nilai terbaik dan diangkat sebagai guru, antara lain di Banyumas.
Baca Juga : 8 Mobil Esemka Lolos Uji, Begini Kondisi Pabriknya di Boyolali
Di sinilah ia mulai berorganisasi dengan menjadi anggota Rukun Wanita dan mengikuti rapat-rapat Budi Utomo.
Pada Februari dan Maret 1933, Partindo yang dipimpin Soekarno aktif melakukan rapat umum di Jawa Tengah. Trimurti bersama temannya, Suprapti yang juga guru, mesti berangkat naik dokar dari Banyumas ke Purwokerto untuk mendengarkan pidato Bung Karno.
Aksi Trimurti dan kawan-kawan rupanya membuat geram penjajah.
Baca Juga : Pelaku Pembunuhan Wanita yang Mayatnya Dibuang di Waduk Cengklik, Boyolali Ditangkap! Inikah Motifnya?
SAYUTI MELIK TEMAN SEPERJUANGAN YANG KELAK JADI TEMAN HIDUP
Sejak Juli 1933, Pemerintah Hindia Belanda melarang pegawai pemerintah menjadi anggota Partindo dan PNI-Baru (Pendidikan). Apa boleh buat, demi perjuangan, Trimurti muda memilih berhenti menjadi guru, lalu ia mengikuti kursus kader Partindo di Bandung.
Baca Juga : Asal-usul dan Sejarah Halloween: Ketika Orang Irlandia Berimigrasi ke Amerika
Sejak itu, namanya mulai masuk daftar pengawasan PID (polisi rahasia kolonial). Ketika Soekarno ditangkap Belanda pada 1 Agustus, Fikiran Ra'jat berhenti terbit.
Bersama Sanusi Pane, Trimurti kemudian mengajar di Perguruan Rakjat di Pasirkaliki, Bandung. Namun di sini pun ia terkena larangan mengajar. Pemerintah Kolonial Belanda menuduhnya sebagai penghasut para murid.
Baca Juga : Tewas Dalam Kecelakaan Helikopter, Siapakah Pemilik Leicester City Vichai Srivaddhanaprabha?
Trimurti yang gerah terus di rumah, lalu menerbitkan majalah berbahasa Jawa, Bedug, kemudian berganti nama menjadi Terompet. Merasa tak bebas bergerak jika terus tinggal di rumah orangtua, Trimurti pindah ke Yogya.
Bersama temannya, Sri Panggihan, ia mendirikan majalah Suara Marhaeni. Saat itu ia mulai menambahkan nama Trimurti di belakang namanya sehingga menjadi S.K Trimurti.
Baca Juga : 1 dari 5 Kasus Luka Bakar yang Menimpa Anak-anak Disebabkan oleh Sup dan Mi Instan
Tahun 1936, karena membuat pamflet antipenjajahan, Trimurti dipenjara 9 bulan di Penjara Bulu, Semarang. Di dalam bui ia merasa sebal, menyaksikan perbedaan perlakuan antara bumiputera dengan orang Eropa.
Pada 1937 Trimurti berkenalan dengan seorang pejuang eks Digul, Sayuti Melik yang kelak menjadi suaminya dan menikah menikah di Solo pada 19 Juli 1938. Belakangan, Sayuti Melik diingat orang sebagai pengetik naskah Proklamasi.
Baca Juga : Aneh, Satu Tempat Ini Tidak Pernah Lagi Dipetakan oleh Google Earth AS Selama 8 Tahun, Ada Apa Gerangan?
Sebelum Jepang mendarat di P. Jawa, Trimurti bekerja di surat kabar Sinar Selatan yang dipimpin seorang warga Jepang. Masalah muncul ketika Trimurti memuat artikel kiriman seseorang yang dianggap meresahkan, bertajuk "Pertikaian Tentara Jepang dan Tiongkok".
MENYUSUI BAYI DARI BALIK PENJARA
Baca Juga : Pidato Pangeran Andrew Sukses Bikin Tamu Undangan Menangis di Pernikahan Putri Eugenie
Pada 11 April 1939 lahir putra pertama mereka. Saat putranya hampir berumur 5 bulan, barulah datang surat keputusan pengadilan untuk mengeksekusi Trimurti. Tak ada pilihan, ia terpaksa membawa bayinya ikut "masuk penjara". Belakangan diketahui, penulis artikel itu adalah Sayuti Melik.
Bulan Juni 1942 putra kedua lahir. Pada masa pendudukan Jepang ini, Sayuti sempat ditangkap karena menerbitkan majalah Sinar Baru. Setelah itu Trimurti menyusul masuk bui, keduanya sempat merasakan siksaan tentara Jepang.
Baru setelah Jepang kalah, Trimurti dan suaminya bebas. Pascakemerdekaan, Trimurti ditugasi oleh Komite Nasional Indonesia untuk menggelorakan semangat rakyat di Semarang.
Trimurti menjadi Menteri Perburuhan di Kabinet Amir Sjarifuddin, setelah sebelumnya memimpin Partai Buruh. Trimurti dikenal kritis dan berwawasan jauh ke depan.
Tulisan-tulisannya pun selalu berpihak kepada perempuan dan rakyat miskin. Dia memutuskan kuliah lagi di Fakultas Ekonomi Ul, meski ketika itu usianya sudah merambah 41.
Baca Juga : Untuk Bisa Beli Jam Tangan Ronaldo Ini Buruh di Jakarta Mesti Kerja 534 Tahun
Tahun 1959 Soekarno hendak menunjuk Trimurti menjadi Menteri Sosial. Namun di luar dugaan, Trimurti menolak dengan alasan ingin berkonsentrasi menyelesaikan kuliah.
Begitulah perempuan kelahiran Boyolali itu pernah menolak jadi menteri demi pendidikan yang tengah ditempuhnya.
(Artikel digubah dari tulisan AsviWarman Adam yang pernah tayang di Intisari Online pada17 Agustus 2017 dengan judul asli 'SK. Trimurti, Saksi Mata Proklamasi yang Pernah Menolak Menjadi Menteri dan Pernah Menyusui dari Balik Bui')
Baca Juga : SK. Trimurti, Saksi Mata Proklamasi yang Pernah Menolak Menjadi Menteri dan Pernah Menyusui dari Balik Bui