Advertorial

Nikmatnya Naik Kendaraan Umum: dari Kepanasan, Berdesak-desakan, hingga Menikmati Kebahagiaan Orang Lain

Moh Habib Asyhad

Editor

Intisari-Online.com -Naik kendaraan umum seperti bus atau mikrolet tentu tebih banyak menguras tenaga dibandingkan dengan naik mobil pribadi.

Namun, bagi Prof. Dr.James Danandjaja, Guru Besar pada Fakultas Ilmu-ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, di sini justru kenikmatannya.

Sebagai seorang pegawai negeri yang belum go public, sejak dulu transportasi saya tergantung kendaraan umum.

(Baca juga:Di Kota Madrid Kamu Pria Dilarang Duduk Mengangkang di Angkutan Umum, Alasannya Banyak Kita Temui di Indonesia)

Begini cerita Prof. James:

Keakraban dengan kendaraan umum, seperti bus, mikrolet KAB dan sejenisnya, menjadi lebih kental lagi sejak saya tinggal di Depok.

Soalnya, sekali jalan saja saya harus tukar kendaraan tiga sampai empat kali dari Depok ke kampus di Salemba dan Rawamangun!

Memang sangat menguras tenaga. Tidak heran kalau ini sering mendatangkan rasa iba pada kawan-kawan yang sudah lebih mantap ekonominya.

Walaupun demikian, ini sama sekali tidak membuat saya merasa susah atau kurang harga diri. Walau dukanya tidak sedikit, tapi hikmahnya masih lebih banyak.

Tubuh tetap ramping

Memang gara-gara itu saya pernah terlambat seperempat jam waktu harus menguji dalam sidang promosi seorang doktor dari Fakultas Sastra.

Waktu itu saya merasa sangat malu, karena seumur hidup baru kali itu saya terlambat.

Tambahan ada rekan yang tidak percaya kalau perjalanan saya itu bisa sampai dua jam, karena dia sendiri dengan mobil pribadinya cuma 75 menit!

Namun, dengan harus banyak 'berolahraga' ini saya jadi tak perlu ke slimming centre yang mahal itu untuk merampingkan tubuh.

Bahkan sejak pindah ke Depok, semua celana panjang saya jadi kedodoran. Ikat pinggang harus dikencangkan, sehingga bentuk celana kelihatan seperti baggy pant, yang sedang trendy itu.

Hikmah lain sebagai pelanggan kendaraan umum adalah adanya pengalaman-pengalaman menarik yang sangat berguna untuk menambah wawasan saya, sebagai peminat ilmu sosial dan budaya.

Pernah sewaktu berada dalam KAB, terjadi dialog antara pak supir dengan kawannya yang duduk di sebelahnya.

"Ee Nen, tahu nggak, entai sore gua mau beli SDSB, ah!"

"Emangnya mimpi apa semalem? Kok, mendadak jadi kecanduan SDSB??" komentar kawan bicaranya.

"Begini, dalam hidup gua sebagai supir, baru pagi ini ada murid sekolah yang mau bayar lebih dari seratus perak! Ini kan jarang kejadian. Mestinya ini pertanda bakal kena lotre!" katanya dengan penuh keyakinan.

Selama ini rupanya para siswa maupun mahasiswa dirasakan sangat merugikan para supir. Karena walau harga BBM sudah naik, mereka masih tetap diperbolehkan membayar Rp 100,00.

Tidak heran kalau di kendaraan umum, seperti bus, sering ada sticker yang ditempelkan di pintu masuk.

Sticker itu bergambarkan seorang pemuda sambil bergelantungan di bus, merayu seorang gadis yang juga tidak kebagian duduk. Di situ tertulis: "Tampang ....!?! ngakunya pelajar, biar bayar cepek!"

Rupanya fungsi sticker ini adalah semacam protes sosial. Namun, sindiran ini nampaknya juga tidak mempan dan dicuekin saja.

Lain Depok lain Jakarta

Dari hasil pengamatan selama ini, terasa sekali ada perbedaan di antara penumpang kendaraan umum ukuran kecil (seperti mikrolet), di Jakarta dengan yang di Depok.

Di Jakarta, penumpang mikrolet akan protes kalau dijejal seperti sardencis. Sedangkan penumpang mikrolet atau KAB di Depok malah senang berdesak-desakan.

Rupanya ini memang sifat petani desa yang berjiwa komunal, yang lebih mementingkan kepentingan orang lain daripada kepentingan individual.

Sedangkan bila dibandingkan dengan di luar negeri, terasa ada perbedaan sikap dari para penumpangnya.

Di AS misalnya, pria biasanya akan memberikan empat duduknya pada wanita, sedangkan di Jakarta hal itu tidak terjadi.

Bahkan sering terjadi penumpang pria di Jakarta tetap duduk walau di sebelahnya berdiri seorang wanita hamil.

Hal yang menarik lain, banyak wanita yang walau di dalam bus terasa sumpek dan panas akan marah jika ada yang membuka jendela bus atau mikrolet.

Jika yang tua mungkin takut angin. Tapi bagaimana yang muda? Mungkin mereka khawatir rambutnya rusak diacak-acak angin.

Yang juga menjengkelkan bila ada wanita duduk di mikrolet dalam posisi serong, dengan kedua kakinya dirapatkan. Tanpa memikirkan sikap duduknya itu jadi menyita tempat duduk penumpang lam.

Bagi penumpang pria, yang menarik adalah yang kecanduan merokok. Ada yang mungkin merasa 'berdosa' sehingga rokoknya disembunyikan di bawah tempat duduk.

Namun, banyak juga yang cuek saja. Jangan-jangan karena sifat kolektifnya, dia juga ingin orang lain sama-sama menghirup asap rokoknya!

Ramai-ramai dibayari

Tapi pada hari Sabtu, 4 Agustus 1990, ada satu pengalaman unik yang tak terlupakan terjadi di atas bus Miniarta jurusan Depok - Pasar Minggu.

Di hari yang bertepatan dengan pengumuman hasil ujian UMPTN itu, saya menumpang bus itu untuk ke kampus UI di Salemba. Saya merasa heran, kok ongkos tidak ditagih-tagih.

Waktu itu saya duduk di deretan kursi paling belakang. Di samping saya duduk seorang pria setengah baya. Wajahnya tampak berseri-seri penuh kebahagiaan.

la nampak senang jika ada orang yang ditolak kondektur karena mau bayar ongkos. Setelah didesak penumpang, akhirnya si kondektur buka rahasia.

"Soalnya, sudah ada yang bayarinl" jelas si kondektur. Penumpang jadi penasaran ingin tahu siapa sang dermawan tersebut.

Ternyata, si bapak yang duduk di sebelah saya itulah yang membayari semua ongkos penumpang bus itu.

"Saya sedang bayar kaul, Pak! Berkat kurnia Allah, anak saya diterima di UI!" kata bapak itu menjelaskan.

Lebih Ianjut ia bercerita, bahwa anaknya yang kelima, lelaki satu-satunya, telah diterima di jurusan arsitektur Fakultas Teknik UI.

Rupanya bapak ini ingin membagi kebahagiaannya hari itu kepada orang lain. Ia semakin bahagia waktu ada seorang tentara muda, yang mengatakan bahwa Rp 250,00 itu baginya sangat banyak dan merasa bersyukur ada yang mau menyumbangkannya.

Semua penumpang nampaknya terharu dengan adegan ini. Saya pun merasa beruntung, karena dapat ikut merasakan kebahagiaan seorang ayah.

Pengalaman ini takkan saya peroleh bila saya naik mobil pribadi. Paling tidak itulah hikmah naik kendaraan urnum, yang tidak akan kita alami kalau naik BMW pribadi.

Itulah nikmatinya menggunakan angkutan umum.

(Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Oktober 1990)

Artikel Terkait