Advertorial

Perempuan Ini Telah Mewawancarai 100 Pemerkosa di India, Beginilah Kenyataan yang Ia Dapat

Moh Habib Asyhad

Editor

Pandey bahkan mengaku hampir lupa bahwa mereka adalah para pemerkosa telah merenggut kehormatan para perempuan.
Pandey bahkan mengaku hampir lupa bahwa mereka adalah para pemerkosa telah merenggut kehormatan para perempuan.

Intisari-Online.com -Di India, banyak yang menganggap mereka sebagai “monster”.

Madhumati Pandey baru berusia 22 tahuh ketika ia pertama kali berkunjung ke Penjara Tihar di New Delhi untuk bertemu dan mewawancarai terpidana perkosaan di India.

Dan selama tiga tahun terakhir, ia telah berhasil mewawancarai 100 pemerkosa untuk penelitian doktoralnya di departemen kriminologi di Anglia Ruskin University di Inggris.

(Baca juga:Tak Hanya Dihukum Mati, Jasad Pemerkosa dan Pembunuh Bocah Perempuan 3 Tahun Ini Juga Digantung dengan Derek)

Semua ini bermula pada 2013 lalu. Mula-mula hanya sebagai proyek percontohan sebagai respon atas kasus pemerkosaan dan pembunuhan sekelompok geng terhadap seorang perempuan yang sekarang dikenal dengan “Nirbhaya” alias “Tak Kenal Takut”.

Rincian kasus ini: seorang mahasiswa kedokteran diserang dalam perjalanan pulang bersama seorang teman setelah menonton Life of Pi.

Menurut laporan National Crime Records Bureu, sekitar 34.651 perempuan dilaporkan diperkosa pada 2015—laporan terbaru soal kasus pemerkosaan di India.

Kasus Nirbhaya membuat ribuan orang India turun ke jalanan untuk memprotes meluasnya budaya pemerkosaan dan kekerasan terhadap perempuan pada 2012. Tahun itu, aktivis-aktivis gender menempatkan India sebagai tempat terburuk bagi perempuan, di antara negara-negara G-20.

India bahkan dianggap lebih buruk dibanding Arab Saudi di mana para perempuan biasa hidup di bawah pengawasan para lelaki.

“Semua orang memikirkan hal yang sama,” ujar Pandey, yang pada saat itu berada di Inggris, menyelesaikan pendidikan masternya.

“Mengapa mereka melakukan itu? Kami menganggap mereka sebagai monster, kami pikir tidak ada manusia yang bisa melakukan hal seperti itu—kecuali monster.”

Protes tersebut membuat kasus pemerkosan menjadi isu nasional, yang sebelumnya dianggap tabu di India.

(Baca juga:Gadis India dengan Kulit Bersisik Ini Mengingatkan Kita pada Sosok Jambunada di Serial Mahkota Mayangkara)

Pandey, yang tumbuh di New Delhi, melihat kotanya dalam cahaya baru setelah terjadinya protes Nirbhaya.

“Saya berpikir, apa yang mendorong para lelaki itu (untuk memperkosa)? Keadaan seperti apa yang menciptakan laki-laki model seperti itu? Saya pikir, harus bertanya langsung pada sumbernya.”

Sejak saat itu, ia telah menghabiskan beberapa minggu berbicara dengan para pemerkosa di Penjara Tihar. Sebagian besar para lelaki yang ditemuinya itu tidak berpendidikan. Hanya segelintir yang lulus SMA. Banyak pula yang putus sekolah.

“Ketika saya melakukan penelitian, saya yakin orang-orang ini adalah monster.

Tapi ketika Anda berbicara dengan mereka, Anda akan menyadari bahwa mereka bukan orang yang seperti itu, mereka benar-benar orang biasa. Apa yang telah mereka lakukan adalah karena kondisi mendidik mereka seperti itu.”

Menurut Pandey, di rumah tangga di India, bahkan di keluarga yang berpendidikan lebih tinggi, perempuan sering terikat pada nilai-nilai tradisional.

“Laki-laki belajar ide palsu tentang maskulinitas, sementara para perempuan belajar bersikap patuh. Hal itu terjadi di hampir semua rumah (di India),” ujar Pandey.

Pandey mengatakan bahwa mendengar beberapa pemerkosa berbicara mengingatkannya pada kepercayaan yang dipegang secara umum yang seringkali dicurahkan, bahkan di rumah tangganya sendiri.

“Setelah Anda berbicara dengan (para pemerkosa), itu akan mengejutkan Anda—orang-orang ini punya kekuatan yang bisa membuat Anda merasa kasihan terhadap mereka. Dan itu tentu tak diharapkan oleh para perempuan,” tambah Pandey.

Pandey bahkan mengaku hampir lupa bahwa mereka adalah narapidana pemerkosaan yang telah merenggut kehormatan para perempuan.

Ia juga kaget ketika tahu bahwa orang-orang ini tidak sadar bahwa apa yang telah mereka lakukan adalah pemerkosaan.

Mereka tidak mengerti seperti apa batas-batasnya.

(Baca juga:Miris, 75 Persen Perempuan Liberia Merupakan Korban Pemerkosaan)

“Kemudian Anda bertanya pada diri sendiri, apakah hanya orang-orang ini? Ataukah pada sebagian besar laki-laki?” ujarnya.

Di India, kehidupan sosial dianggap masih sangat konservatif. Pendidikan seks tidak termasuk dalam kurikulum sekolah; legislator pendidikan merasa topik seperti itu bisa “merusak” generasi muda dan dianggap bertentangan dengan norma-norma tradisional.

Di India para orangtua tidak biasa menyebut penis, vagina, pemerkosa, atau seks. “Jika mereka tidak bisa melepas (kebiasaan) itu, bagaimana mereka bisa mendidik anak laki-laki mereka?” tanya Pandey.

Dalam wawancara, banyak lelaki yang membuat alasan atau memberikan pembenaran atas tindakan mereka. Banyak yang menolak bahwa yang mereka lakukan adalah pemerkosaan.

“Hanya ada tiga atau empat yang mengaku salah. Yang lainnya ada yang membuat pembenaran, menetralkan, bahkan ada yang menyalahkan para korban,” lanjutnya.

Dari sekian wawancara, ada satu narasumber yang menarik perhatian Pandey. Narasumber berusia 49 tahu itu membawa Pandey pada sebuah “perjalanan” yang tak terduga.

Ia mengungkapkan penyesalannya karena memperkosa gadis berusia 5 tahun.

“Ia bilang, ‘Iya, saya merasa buruk, saya menghancurkan hidupnya.’ Sekarang ia sudah tidak lagi perawan, tidak akan ada yang mau menikahnya. Lalu ia bilang, ‘Saya akan menerimanya, saya akan menikahnya saat saya keluar dari penjara,’” cerita Pandey.

Jawaban itu sangat mengejutkan Pandey sehingga membuatnya tertarik untuk mencari tahu si korban. Laki-laki itu sebelumnya telah memberi perincian seperti apa gadis itu dalam wawancara.

Ketika menemukan ibu gadis itu, Pandey akhirnya tahu bahwa keluarga gadis tersebut bahkan tidak diberi tahu bahwa pemerkosa putri mereka sudah dipenjara.

(Baca juga:Pria yang Gemar Konsumsi Pornografi Cenderung Lebih Feminis?)

Pandey berharap untuk mempublikasikan penelitiannya ini dalam beberapa bulan mendatang—meski ada beberapa orang yang berniat menghalanginya.

“Mereka pikir, inilah feminis lain. Mereka menganggap bahwa perempuan yang melakukan penelitian ini akan gagal memahami ide laki-laki,” pungkasnya.

Artikel Terkait