Bahkan untuk masanya sendiri.
Di akhir tulisannya, ia pun mengingatkan para pembaca, "Yang penting adalah praktik, bagaimana kau melakoni semua ini.
Setelah dipelajari, buku ini pun harus kau buang ....
Terjemahkan apa yang telah kau pelajari dalam hidup sehari-hari."
Barangkali, dialah penulis "kitab suci" yang tidak memiliki beban ego.
Ia berasal dari wilayah peradaban Sindhu, Hindu, Indies, India, Indo, Hindia - wilayah kita semua.
Sayang sekali, hanya sebagian kecil di antara kita yang masih memiliki rasa bangga terhadap budaya asal kita.
Budaya yang melahirkan Vatsyayana, Mpu Tantular, Sukarno, dan Romo Mangun.
Budaya yang melahirkan para pemikir dan negarawan seperti Ki Hajar Dewantara, Syahrir, M. Hatta, Moh. Natsir, dan Kasimo.
Budaya yang sudah ada sebelum lahirnya agama-agama.
Dari budaya asal itu pula yang masih dipahami di zaman La Galigo, Bundo Kanduang, Ronggowarsito, dan Mangkunagoro - kita memperoleh cara untuk meniti jalan ke dalam diri, untuk menemukan jati diri.
Vatsyayana menyebutnya samadhi – keseimbangan yang diperoleh lewat dhyana, hidup berkesadaran.
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR