Advertorial

Falsafah Kama Sutra adalah Soal Cara Hidup yang Penuh Lembap

Ade Sulaeman

Editor

Berdasarkan perumpamaan itu, Vatsyayana mengajak kita untuk mengenali diri, untuk menemukan jati diri atau pusat di dalam diri – the centerpoint.
Berdasarkan perumpamaan itu, Vatsyayana mengajak kita untuk mengenali diri, untuk menemukan jati diri atau pusat di dalam diri – the centerpoint.

Intisari-Online.com – Vatsyayana penulis buku ‘Kama Sutra’ mengingatkan zamannya bahwa "Manusia Dapat Memberi Makna pada Hidupnya".

Tidak perlu mencari makna ke mana-mana, karena makna ada di mana-mana.

Maka lahirlah sebuah falsafah, bukan filsafat yang kering, cara hidup yang penuh lembap. Falsafah Kama Sutra.

Namun, kita harus menemukannya!

Persis seperti mentega atau krim di dalam susu - sudah ada namun tidak terlihat.

Susu harus di proses untuk mendapatkan krim atau mentega di dalamnya, dan proses inilah kehidupan.

Susu di dalam cawan Anda berasal dari seekor sapi.

Susu di dalam cawan saya pun berasal dan seekor sapi.

Lain sumber Anda (sapi Anda), lain pula sumber saya (sapi saya).

Namun, susu yang kita miliki sama, sama-sama bergizi dan memiliki khasiat yang sama pula.

(Baca juga: Penulis Buku Kama Sutra: Urusi Dulu Sesuatu yang Paling Dasar di Dalam Dirimu, yaitu Seks!)

Untuk memperoleh mentega, kita pun harus sama-sama mengolahnya.

Walau cara kita bisa beda, hasilnya akan sama lagi.

Berdasarkan perumpamaan itu, Vatsyayana mengajak kita untuk mengenali diri, untuk menemukan jati diri atau pusat di dalam diri – the centerpoint.

Banyak cara untuk menemukan jati diri. Namun, ada empat upaya utama.

Setiap upaya mewakili satu sudut, satu sisi kehidupan, yang barangkali berseberangan tetapi dapat dipertemukan.

(Baca juga: Kepala Pundak Lutut Kaki dalam Kama Sutra)

Pertama adalah kama (keinginan)- keinginan kuat, tunggal, untuk menemukan jati diri.

Sementara ini, keinginan kita masih bercabang. Terdorong oleh hawa nafsu, kita dapat menginginkan apa saja.

Perlahan, tanpa memaksa, kita harus mengarahkan keinginan itu kepada diri sendiri.

Dari sekian banyak keinginan, kita menjadikannya satu keinginan; keinginan untuk menemukan jati diri.

Kedua adalah artha, biasa diterjemahkan sebagai harta.

Sesungguhnya, artha juga berarti "makna" atau "arti", Temukan makna hidup!

Adakah uang atau harta itu yang memberi makna pada hidup kita?

Bila ya, berhati-hatilah.

Sebab, apa yang kita miliki saat ini tak mungkin kita miliki selamanya.

Jangankan uang, anggota keluarga pun pada suatu ketika akan meninggalkan kita, atau sebaliknya.

Bila terlalu percaya pada "kepemilikan" kita, maka hidup bisa menjadi sangat tidak berarti ketika apa yang saat ini masih kita miliki, tidak lagi menjadi milik kita.

Berusahalah untuk menemukan makna lain bagi hidup kita.

Barangkali itu "kebahagiaan" yang kita peroleh saat kita berbagi kebahagiaan.

Tidak berarti kita tidak boleh mencari uang.

Silakan mencari uang, menabung, menjadi kaya-raya, tetapi janganlah mempercayai harta kekayaan kita.

Kita pasti kecewa karena apa yang kita miliki hari ini, belum tentu masih kita miliki esok pagi.

Ketiga adalah dharma, kebajikan. Dalam bahasa sufi disebut syariat - pedoman perilaku.

Pedoman perilaku berdasarkan kesadaran, itulah dharma.

Jangan berbuat baik hanya karena kita dijanjikan sebuah kapling di surga.

Itu bukan kebajikan, tapi perdagangan belaka - jual-beli.

Berbuatlah baik karena kebaikan itu baik. Berbuatlah baik karena diri kita baik.

Berbuatlah baik karena kita sadar.

Orang yang berada pada jalur dharma tidak perlu dipaksa, diimingiimingi, juga tidak perlu diintimidasi, diteror, atau dipaksa untuk berbuat baik.

la akan selalu berusaha untuk berbuat baik karena sadar!

Keempat adalah moksha, kebebasan mutlak.

Kebebasan mutlak berarti "kebebasan dari" sekaligus "kebebasan untuk".

Kita bebas dari penjajahan, dan mestinya kita juga bebas untuk berpendapat.

Namun, ada rambu-rambu yang perlu ditaati, diperhatikan, dan tidak dilanggar.

Kenapa ada rambu-rambu?

Sebab, kita belum cukup sadar menggunakan "kebebasan untuk" dengan penuh tanggung jawab.

Barangkali memang karena itu, atau barangkali ada pihak-pihak yang merasa akan dirugikan, bila kita meraih "kebebasan untuk".

Lewat Kama Sutra, Vatsyayana, sang Begawan, hendak membebaskan kita dari perbudakan, dari belenggu yang menjerat.

Tuhan bukanlah yang menciptakan belenggu-belenggu itu, tapi masyarakatlah penciptanya.

Nilai-nilai yang mendasari suatu masyarakat semuanya dapat berubah. Tidak ada yang baku.

Vatsyayana mengajak kita untuk sepenuhnya menerima perubahan dan ikut berubah.

Dalam bahasa modern, inilah yang disebut Adequency Quotient - kemampuan untuk bertindak sesuai dengan tuntutan zaman, waktu, keadaan, budaya lokal, dan sebagainya.

Vatsyayana tidak percaya pada Intellectual Quotient, Emotional Quotient, Spiritual Quotient atau gabungan kedua atau ketiganya.

Ia menerima semuanya dan tidak berhenti pada ketiganya itu saja.

Ia pun menerima segala aspek kehidupan manusia, termasuk seks - dan lahirlah Kama Sutra sebagaimana dipahami oleh Vatsyayana.

Kama, artha, dharma, dan moksha harus bertemu, dan titik temu keempat upaya itulah tujuan hidup, itulah jati diri kita!

Titik temu itu adalah antara pasangan yang berseberangan.

Janganlah mempertemukan kama dengan artha, karena kedua titik itu masih segaris.

Pertemuan antara kama dan artha itulah yang selama ini terjadi - kita hanya berkeinginan untuk mengumpulkan uang, mencari keuntungan, dan menambah kepemilikan, entah itu berupa benda-benda yang bergerak atau tak bergerak.

Kama harus bertemu dengan moksha, itulah titik di seberangnya.

Berkeinginanlah untuk meraih kebebasan mutlak.

Kemudian artha harus bertemu dengan dharma – carilah harta sehingga Anda dapat berbuat baik, dapat berbagi dengan mereka yang berkurangan.

Berikan makna kepada hidup Anda dengan berbagi kebahagiaan, keceriaan, kedamaian, dan kasih.

Namun, selama ini kita menggabungkan dharma dengan moksha.

Berbuat baik, beramal saleh, untuk meraih kebebasan.

Kemudian kebebasan pun kita terjemahkan sebagai keselamatan bagi diri, jiwa, atau sebuah kapling di surga.

Bebas dari api neraka, itulah definisi kita tentang kebebasan.

Bebas dari penderitaan, entah fisik, mental, emosional atau apa yang kita anggap rohani.

Itu saja.

Padahal, roh atau batin melampaui suka dan duka.

Roh atau batin adalah napas-Nya yang ditiupkan-Nya ke dalam "apa yang kita sebut diri kita".

Penderitaan fisik, mental, maupun emosional semata-mata karena kita tidak mau menerima perubahan.

Setelah digunakan selama puluhan tahun, kendaraan bernama badan sudah pasti mengalami kerusakan.

Itu wajar dan normal. Terimalah kewajaran itu.

Artikel ini ditulis oleh Anand Krishna di buku Healthy Sexual Life dengan judul ‘Neo Kama Sutra: Kebajikan Kuno Bagi Manusia Modern’.

Artikel Terkait