Advertorial
Intisari-Online.com - "Urusi dulu sesuatu yang paling dasar di dalam dirimu, yaitu seks," pesan Vatsyayana, penyusun buku Kamasutra.
--
Mulla Nasruddin berkelakar, "Sadarkah kita akan pentingnya peran ranjang dalam hidup manusia?
Kita lahir di atas ranjang, dan mati pun di atasnya.
Jika mati karena kecelakaan di tengah jalan raya, jasad kita pun di-"ranjang"-kan.
Antara titik kelahiran dan kematian, masa yang disebut hidup atau kehidupan pun lebih dari sepertiganya, kita lewati di atas ranjang."
Saya baru sadar. Betul juga, ranjang sungguh sangat penting.
Perhatian yang kita berikan selama ini sungguh tidak proporsional.
Kitab-kitab dan karya sastra un banyak membicarakan kehidupan di luar ranjang.
Jarang yang membicarakan kehidupan di atas ranjang.
Kama Sutra bukan hanya bicara tentang kehidupan di atas ranjang.
Namun juga bicara tentang persiapan menuju ranjang dan kehidupan setelah turun dari ranjang.
(Baca juga: Kepala Pundak Lutut Kaki dalam Kama Sutra)
Kama Sutra, oleh sebab itu, menyentuh keseluruhan hidup manusia.
Tidak heran bila leluhur kita yang hidup dalam wilayah peradaban Sindhu, Hindu, Indies, Indo, Hindia, India, atau apa pun sebutannya, menerima kama (nafsu) sebagai an integral part of life, bagian tak terpisahkan dari hidup manusia.
Lalu, disusunlah sutra (pedoman) yang berkaitan dengannya sebagai sesuatu yang suci.
Bagi kita yang tinggal dalam wilayah peradaban itu, Kama Sutra adalah "kitab suci".
Dalam pengertiannya secara generik, Kama Sutra bukanlah milik sebuah negara yang kita sebut India.
(Baca juga: Keajaiban Kama Sutra Tidak Semata Soal Posisi Seks)
Namun, milik keseluruhan wilayah peradaban, yang oleh para pedagang dari Timur Tengah zaman dahulu disebut Hindustan.
Wilayah luas yang mencakup Gandhaar (sekarang Qandahar dan merupakan bagian dari Afghanistan) hingga perbatasan Astraalaya (sekarang Australia) betul-betul merupakan wilayah peradaban, dan bukan sebuah negara atau imperium.
Negara-negara yang ada di wilayah peradaban ini bebas, merdeka, termasuk Kepulauan Nusantara.
Maka, tidak heran pula bila di Jawa dan Bali masih bisa ditemukan lontar-lontar kuno yang bicara tentang kama.
Secara kolektif lontar-lontar itu pun dapat disebut Kama Sutra.
Sayangnya, tidak komplet. Banyak bagian yang sudah hilang.
Sementara itu, karya dunia yang kita sebut Kama Sutra masih relatif lengkap dan ditemukan lontarnya di Bhaarat (kini India).
Vatsyayana, yang sering kita temukan namanya tertera di atas kulit buku Kama Sutra dan memben kesan seolah ia penulisnya, sesungguhnya tidak pernah mengklaim sebagai penulis.
la hanya mengaku dirinya sebagai editor, penyusun.
Kita tidak banyak tahu tentangVatsyayana, siapa dia, tinggal di mana.
Secara samar-samar kita hanya tahu, barangkali dia hidup pada 1.700 - 1.800 tahun lalu.
Secara implisit, sang penyusun pun mengaku bahwa karyanya lahir dari kegehsahan diri.
Kegelisahan melihat keadaan muda-mudi Bhaarat zaman itu.
Dengan jumlah penduduknya sekitar 10 - 15 juta dan tanah yang lumayan subur, keadaan Bhaarat waktu itu mirip dengan Swis atau negeri-negeri Skandinavia masa kini.
Untuk memahami latar belakang penyusunan Kama Sutra oleh Vatsyayana, kita boleh menoleh sebentar ke Swis atau salah satu negara di Skandinavia.
Inilah negara paling makmur di dunia, jauh lebih sejahtera dari Amerika Serikat.
Namun, tingkat kematiannya akibat bunuh diri pun jauh berada di atas Amerika Serikat, dan tertinggi di Eropa.
Kenapa? Ketika seorang gadis asal Swis diwawancarai oleh CNN, ia mengaku, "Kehidupan sebagaimana kita jaIani saat ini sudah kehilangan makna.
Untuk apa hidup?" Tidak ada tantangan.
Segalanya sudah tersedia, baik oleh orangtua maupun negara. Mau apa lagi?
Saat itu, di zaman Vatsyayana, muda-mudi Bhaarat pun menghadapi dilema serupa.
Maka mereka melarikan diri dari masyarakat.
Mereka menjadi petapa, menjadi biku. Keseimbangan sosial pun kacau.
Jumlah penduduk yang berusia lanjut dan sudah tidak produktif melebihi jumlah mereka yang masih muda dan produktif.
Keadaan serupa saat ini dihadapi oleh tetangga kita, Singapura.
Di tengah keadaan seperti itu, Vatsyayana mengingatkan zamannya bahwa "Manusia Dapat Memberi Makna pada Hidupnya".
Tidak perlu mencari makna ke mana-mana, karena makna ada di mana-mana.
Maka lahirlah sebuah falsafah, bukan filsafat yang kering, cara hidup yang penuh lembap.
Falsafah Kama Sutra.
Artikel ini ditulis oleh Anand Krishna di buku Healthy Sexual Life dengan judul ‘Neo Kama Sutra: Kebajikan Kuno Bagi Manusia Modern’.