Anda termasuk tahan malu. Seperti air di punggung bebek, hal-hal yang memalukan demikian saja jatuh terlepas dari memori Anda. Lantaran "kulit tebal" Anda itu, situasi yang paling memalukan pun dapat Anda hadapi tanpa masalah.
Walaupun kedengarannya sangat menyenangkan punya perisai yang demikian kuat melindungi Anda, hidup sebenarnya terdiri atas untaian pelbagai emosi. Namun Anda takut mengalaminya.
Padahal untuk dapat merasa bahagia, kita perlu merasakan dulu pelbagai pengalaman emosi yang pahit, termasuk rasa malu tadi. Tanggalkan perisai itu, karena di balik kegagahan dan ketabahan itu, sebenarnya tersembunyi jiwa yang halus dan peka.
40 - 55:
Walaupun jarang merasa canggung, kadang-kadang ketenangan Anda luntur juga. Mungkin Anda dapat dengan lancar berbicara di depan umum, menyapa orang-orang yang belum dikenal tanpa canggung, mengatur rumah tangga dengan cekatan, atau bahkan main mata ...!
Tapi begitu menerima pujian, Anda segera salah tingkah. Masalahnya, Anda terlalu rendah hati. Padahal pujian itu juga membawa kebahagiaan bagi sang pemberi. Maka belajarlah dapat menerima pujian, meski bukan berarti Anda lalu menjadi sombong.
Sejauh wajah Anda cuma merona merah, tak apalah, untuk mengingatkan orang lain bahwa ada pribadi menarik di balik wajah yang tersipu-sipu itu.
56 atau lebih:
Mudah-mudahan ini tidak membuat Anda malu, tapi wajah Anda demikian sering merona merah, mirip lampu pengatur lalu lintas!
Walaupun kepribadian yang amat pemalu itu sering membawa kesegaran (karena mengingatkan orang pada anak-anak), sifat pemalu yang berlebihan juga dapat mengesalkan orang lain.
Orang-orang di sekeliling Anda jadi canggung dan tidak nyaman. Himpunlah keberanian, Anda pun bakal mampu menjadi pemimpin. Tentu dibutuhkan latihan untuk belajar menguasai rasa malu yang gampang sekali muncul itu. Namun begitu muka merah itu jadi masa lalu, percayalah, hidup Anda bakal berubah menjadi merah jambu! (SMC/Gde)
(Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Maret 1998)
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR