Advertorial
Intisari-online.com—Ada orang baik yang dihargai dan dihormati. Namun ada juga orang baik yang malam dimanfaatkan kebaikannya.
Bagaimana membedakannya?
Mula-mula mari jawab pertanyaan ini:
1. Apakah Anda merasa sulit berkata tidak pada permintaan orang lain, bahkan ketika permintaan itu sulit Anda penuhi?
2. Apakah Anda sering merasa diri Anda kurang dihargai sekalipun sudah berbuat kebaikan?
(Baca juga:Bola Salju Bernama ‘Kebaikan’, Tentang Sebuah Kebaikan akan Membawa Kebaikan yang Lain)
3. Apakah Anda dimanfaatkan dalam pekerjaan bahkan dalam hubungan personal?
4. Apakah Anda sering memaklumi apa yang dikatakan dan diinginkan orang lain, sekalipun dalam hari Anda tidak setuju?
5. Apakah kebaikan dan kerelaan hati Anda sering tidak bisa Anda batasi?
6. Apakah Anda takut ditolak jika Anda tidak mengiyakan permintaan orang lain itu?
7. Apakah Anda selalu mendahulukan kepentingan orang lain dibanding diri sendiri?
Jika Anda menjawab “ya” untuk beberapa pertanyaan di atas, kemungkinan besar Anda adalah orang terlalu baik.
Tentu saja tidak ada yang salah menjadi orang yang terlalu baik, malah sangat bagus.
Namun, jangan sampai kebaikan hati Anda malah dimanfaatkan orang-orang yang tidak punya hati.
Menurut Psychologytoday.com, kebaikan itu harus dihargai dengan hormat dan tulus. Jadi ketika Anda melakukan kebaikan karena “takut” atau hanya karena ingin menyenangkan orang lain, itu bukan kebaikan nan tulus namanya.
Begini agar kita dapat terus berbuat baik tanpa motivasi yang salah, dan pastinya, tidak dimanfaatkan oleh orang yang kita tolong tadi.
(Baca juga:Bocah Gelandangan Filipina yang Memanfaatkan Lampu Restoran Cepat Saji untuk Belajar Itu Mendapat Beasiswa)
1. Melatih diri untuk menghargai diri sendiri terlebih dahulu.
Kita tidak harus menyenangkan semua orang dalam hidup kita. Ingatlah, berbuat baik itu akan membuat kita semakin bahagia, bukan semakin dimanfaatkan.
2. Ubah perilaku “terlalu baik” menjadi kebaikan yang tulus tanpa pamrih.
Kita harus tahu, ada perbedaan antara “orang baik yang tulus” dengan “orang baik yang terpaksa”.
3. Menjadi baik pada orang lain berarti bersikap baik pada mereka sesuai dengan kemampuan kita.
Kita tidak perlu memaksakan diri untuk menjadi orang lain demi menyenangkan orang lain.
4. Jangan berusaha menyenangkan orang dan jangan berusaha menyenangkan siapa pun setiap waktu.
Tidak ada seorang pun yang sanggup melakukan itu, jadi tak perlu bersusah hati untuk melakukannya.
Batasan yang kita buat untuk berlaku baik pada orang lain akan menolong kita menganali siapa yang patut kita berikan kebaikan atau tidak.
5. Belajar untuk berkata tidak, tanpa merasa bersalah atau merasa buruk.
Kita berhak untuk berkata tidak ketika kita tidak mampu melakukannya.
6. Kita tidak bertanggung jawab untuk perasaan semua orang.
Kadang kita mengiyakan segala sesuatu karena kita takut orang lain merasa buruk dan tersinggung dengan keputusan kita.
Kita mungkin peduli pada perasaan orang itu, tapi cobalah juga memikirkan diri sendiri. Berpikirlah dengan penuh hikmat dan bijaksana. Anda tidak harus menjadi juru selamat bagi semua orang.
(Baca juga:Makin Banyak Anak Menyalahgunakan Laxatif demi Menurunkan Berat Badan)
7. Kenali orang yang memanfaatkan kebaikan kita dan lebih baik tegas terhadap orang-orang model seperti itu.
Kesimpulannya adalah: tidak ada salahnya menawarkan kemurahan hati dan kebaikan kepada orang yang benar-benar membutuhkan kebaikan kita.
Ingatlah, kebaikan membuat dunia lebih baik. Namun, yang paling penting adalah memberikan kebaikan dan pertolongan dengan hikmat dan bijaksana sebab kita juga layak menerima ucapan terima kasih, apresiasi, dan hormat dan orang lain.